34 - Langit

1.1K 182 10
                                    

Mata yang terpejam itu perlahan terbuka, menyesuaikan cahaya yang memasuki retinanya, memandangi nabastala dengan kapas-kapas awan menggantung yang bergerak sebab tiupan angin.

Sembari menikmati semilir angin yang menerpa ranting-ranting dan dedaunan pohon, pemuda dengan kamera digital yang tergeletak di pangkuannya itu senantiasa mendongak, pandangannya menerawang birunya angkasa.

Sampai ketika, sebuah dering dan getaran ponsel membuat atensinya tersita. Terdapat panggilan masuk, tetapi saat hendak ia jawab, panggilannya sudah mati terlebih dahulu, menampilkan notifikasi di layar kunci.

Gerry IPS 4
Dimana?
Dicari Pak Irham, ditunggu di ruang OSIS.

Begitu membaca notifikasi pesan tersebut, si empu segera beranjak meninggalkan tempatnya, untuk menemui pembina OSIS yang sedang mencari keberadaannya.

Ketika tengah berjalan di koridor, perhatiannya sempat beralih sebab mendengar suara tawa keras yang familier.

Ternyata benar, begitu mendapati dari mana asal tawa itu, Elkano melihat Ivy yang duduk di bangku semen bersama teman kelasnya, bukan Celine dan Clara, melainkan anak laki-laki yang tak Elkano kenali. Gadis itu dengan bebas tertawa, merangkul serta melayangkan tinju, terlihat sangat akrab dan santai, padahal mereka lawan jenis.

Tak memperhatikan lebih lanjut, Elkano kembali fokus pada jalannya menuju ruang OSIS.

Ngomong-ngomong, soal Ivy, mereka terakhir kali mengobrol pada saat di ruang OSIS sore itu, setelahnya, Elkano mendapat pesan teks dari Ivy, tetapi tak pemuda itu tanggapi dan hanya berakhir ia baca.

Entah mungkin karena masih marah atau apa, setelah itu Elkano tak lagi dihubungi oleh Ivy, gadis itu juga terlihat sibuk dengan dunianya sendiri seolah mereka hanya sebatas kenal nama seperti sebelumnya. Elkano tak masalah. Bukankah itu artinya bagus jika Ivy berhenti dan kembali fokus pada urusannya sendiri?

Iya, egonya berkata jika tak masalah, padahal hatinya merasa kebalikannya.

"Vy, crush lo lewat barusan, kok lo diem aja? Nggak ngreog kayak biasanya? Buruan kejar sana, keburu ilang ntar!" ujar Zaidan yang melihat kepergian Elkano yang barusaja lewat.

Tawa yang terulas di wajah Ivy pun langsung meluntur ketika mendengar ucapan Zaidan. Ivy tahu, dia nggak buta kok, dia juga sadar kalau Elkano barusaja lewat, tapi Ivy memilih untuk pura-pura tidak melihat, daripada harus bertengkar dengan hatinya lagi, toh untuk apa dikejar jika tidak juga tergapai?

"Tenang aja, langit nggak bakal ilang, tapi sampai kapanpun dikejar, langit juga nggak bakal tergapai," sahut Ivy, menyeringai tipis, membuat Zaidan merinding seketika.

"Bangsat, kenapa nih jadi begini?" maki Zaidan, betulan berdiri semua bulu kuduknya. Mendekati Ivy, pemuda itu memegang dahi Ivy untuk memeriksa suhu tubuhnya, mungkin sedikit demam, makanya jadi melantur.

"Lo ngapain, setan?!" semprot Ivy, menepis tangan Zaidan.

Pemuda itu langsung gelagapan. "Y-ya elo habisnya jadi horror, tiba-tiba bilang gitu."

"Emang bener 'kan?"

"Iya juga sih, tapi manusia mana yang kurang kerjaan mau ngejar langit?"

Ivy mengeratkan giginya, geram. "Itu kiasan, bodoh!" makinya.

Mengembuskan napas berat, Ivy mendongakkan wajah, menatap hamparan langit yang biru. Dersik angin yang menerpa, membawa helai anak rambutnya ikut terbawa ke arah angin berembus.

"Emang lo udah nggak suka Elkano lagi?" tanya Zaidan tiba-tiba, membuat Ivy menoleh.

"Kepo banget lo, Tong," sahut Ivy.

Renjana Where stories live. Discover now