05 - Bisa Apa? Bisa Modar

1.2K 183 4
                                    

Kayaknya untuk sebagian besar pelajar, buang hajat di sekolah itu sudah termasuk salah satu hal yang sangat-sangat dihindari. Bukan tanpa alasan, ada yang bilang nggak berani, takut dijahilin temannya atau sama "penghuni" kamar mandi, ada juga yang bilang, nggak terbiasa buang air besar di tempat umum, dan segala alasan lainnya lagi.

Tapi buat Ivy, alasan-alasan kayak begitu sama sekali nggak berlaku, apalagi kalau perut udah mules dan nggak bisa ditahan lagi. Seperti saat ini, gadis itu tengah bernapas lega sambil menepuk perut setelah membuang sisa ekskresinya.

Ketika ingin keluar dari toilet, rungunya tak sengaja mendengar suara langkah kaki yang datang bersama suara obrolan. Tangan Ivy yang hendak membuka pintu pun terurungkan lantaran mendengar namanya disebut dalam topik obrolan itu.

"Eh, lo tau nggak Ivy yang tomboy itu?"

"Siapa? Kak Ivy kelas sebelas yang katanya suka sama Kak Elkano itu, ya?"

Wah, ternyata lagi gibahin dia.

Menurunkan tangan dari kenop pintu, Ivy masih berdiam di dalam toilet, sengaja menguping pembicaraan gadis-gadis yang ia tebak adalah adik kelasnya.

"Iya, itu! Yang suka ngejar-ngejar Kak Elkano, padahal Kak Elkanonya nggak suka. Emang nggak tau diri banget ya dia, Kak Elkano perfect kayak gitu mana mungkin mau sama cewek tomboy kayak dia."

"Iya, kasian Kak Elkano, kelihatan risih banget digangguin kayak gitu, kata gue sih mendingan sama Kak Jingga, sama-sama pinter, Kak Jingga juga positif vibes banget nggak kayak Kak Ivy."

Ivy yang mendengar itu pun sudah mulai merasa panas, apalagi ketika dirinya dibanding-bandingkan dengan Jingga yang notabene-nya memang dekat dengan Elkano secara naturally, satu kelas lagi, tetapi Ivy masih bisa untuk sedikit bersabar, didengerin aja dulu.

"Udah gitu sama-sama famous karena berprestasi, bukan karena jadi begajulan kayak Ivy yang sering kena straf guru."

"Heem. Heran deh, gimana sih cara didik orang tuanya kok bisa anak ceweknya dibiarin kayak begitu?"

"Anak haram kali."

"Ih, mulut lo!"

Dan pada saat itu juga, Ivy sudah tidak lagi bisa menahan emosinya, dengan rahang mengeras dan tinju yang mengepal, gadis itu memutar kenop, keluar dari bilik toilet.

Dengan ekspresi tenang menghanyutkannya, Ivy tiba-tiba menyahuti pergosipan asik dua siswi kelas sepuluh itu.

"Gosipin siapa sih? Seru banget kayaknya, join dong," ujarnya, spontan membuat kedua siswi itu menoleh, kaget karena tiba-tiba ada Ivy di sana.

Seketika keduanya membeku di tempat dengan wajah pucat pasi. Sama-sama menelan ludah karena kepergok membicarakan hal yang tidak-tidak tentang Ivy.

"N-nggak ada kok, Kak!" sahut salah satu dari mereka tergagu, sembari menyenggol lengan temannya, isyarat untuk pergi dari sini.

Namun, ketika mereka hendak pergi, tiba-tiba Ivy bergeser dan menghadang langkah mereka, membuat keduanya tersentak kaget. Ekspresi Ivy yang tadinya santai kini berubah datar, tak bersahabat, menatap tajam dua gadis yang enggan menatapnya balik itu.

"Kenapa? Takut?" tanya Ivy, menyeringai kecil, sambil mendekatkan wajahnya untuk melakukan kontak mata, tetapi dihindari oleh mereka.

"Tadi kayaknya seru banget gibahin gue, bawa-bawa orang tua gue juga, kok sekarang diem? Mumpung gue di sini, bilang langsung sama gue sini," ujar Ivy sembari bersidekap.

Ketika dua gadis itu hanya menunduk, tak menyahut, Ivy berdecih pelan. "Kalau mau ngomongin orang tuh depan mukanya aja langsung, jangan di belakang, nanggung. Mental tempe. Gue ludahin muka lo, mau?"

Renjana Où les histoires vivent. Découvrez maintenant