Sopan Santun

107 14 8
                                    

Arthit kini sudah berada di depan stasiun Bekasi dengan sebuah ransel berukuran sedang berisi dua potong pakaian dan keperluannya yang lain. Hari ini ia melakukan perjalanan pulang ke Jakarta untuk meminta doa dari ayah dan bundanya, ia akan melaksanakan ujian akhir semester.

Stasiun Bekasi dipilihnya karena menurut pemuda Ruangroj, stasiun itu lebih dekat dengan rumahnya yang berada di perbatasan Bekasi-Jakarta.

"mbak Arthit?" seseorang berjaket hijau berhenti di depannya dan menanyakan nama Arthit.

Arthit agak tersentak karena bukan sekali dua kali ada orang asing yang memanggilnya dengan sebutan tersebut "iya, pak... Tapi saya cowok" jawab Arthit setelah memastikan nomor plat yang berada di aplikasi ojek-nya dengan motor yang berada tepat di depannya.

"eh, ya Tuhan gusti pangeran, maaf mas"

Arthit mengangguk maklum "gapapa, pak. Bapak bukan orang pertama yang manggil saya mbak, kok! Yaudah sini helm-nya" pinta Arthit.

☁☁☁

"yak, rumahnya yang ini" tunjuk Arthit pada tukang ojek yang membawanya, namun ia mengerutkan keningnya saat rumahnya terlihat ramai, dan ada sekitar lima mobil terparkir di sekitarnya.

"oh iya pak, makasih" usai membayar ojeknya, Arthit bertemu Chimon dan Pluem yang sedang membawa dua wadah lumayan besar berisikan lauk pauk "Chi!" Panggil Arthit, yang punya nama berhenti diikuti Pluem.

(kalau ada yang lupa atau gak nyadar, Pluem itu anak angkat TayNew, umurnya sekitar 3th diatas Arthit)

"kak Arthit! Kok gak ngabarin mau balik?" pekik Chimon riang, Arthit tersenyum "sengaja, gue mau bikin kejutan" Arthit kembali menilik rumahnya yang ramai "ada acara apa sih?"

Pluem membuka suara "acara keluarganya paman Singto..."

Eh? Sejak kapan ayah mau bikin acara beginian?~Pikirnya mengabaikan Pluem.

"...yaudah ah, ayok masuk aja! Berat tau!" ajak Chimon menyenggol pelan lengan Arthit.

Ketiganya kemudian masuk kedalam rumah, dan sejak saat itu pikiran Arthit terus merujuk kepada koleksi komik anime dan dan action figure yang ia susun rapi di meja belajarnya sebelum ditinggalkan serta buku-buku novel sejarah yang ia pajang apik di rak buku pemberian ayahnya. Selain buku, Arthit belum sempat membersihkan benda-benda kesayangannya itu lemari, karena ia belum sempat untuk menatanya.

"Arthit? Kok gak ngabarin kalo mau pulang? Bunda atau ayah kan bisa jemput kamu" sambut Krist saat melihat putranya datang "Chi, tolong taro belakang, langsung ditata, ya! Makasih nak" perintah Krist pada Chimon yang langsung dikerjakan.

Arthit tersenyum getir "aku sengaja, soalnya gak lama juga, lusa mau ke Jogja lagi" Krist mengangguk "sapa dulu tante sama om-nya, abis itu kamu bebersih deh" titah Krist lembut "temuin ayah kamu dulu, dia di kamar adek, maaf bunda mau ngurusin makanan dulu bentar" Krist menepuk pundak putranya pelan.

Selepas itu, Arthit menyapa asal dan berbasa-basi alakadarnya kepada sanak saudara yang ia temui sepanjang jalan ia melangkah ke kamar.

"kamar gue emang ga pernah dikunci soalnya biar ada yang bisa bersihin, tapi...Semoga aman, deh"

Makin Arthit mengambil langkah, makin tak tenang saja rasanya, pikiran Arthit dibuat semrawut oleh suara riuh anak-anak kecil, ia tak tahu suara-suara itu berasal dari kamarnya atau kamar kakak perempuannya.

"AAARRKKHHH! AYAH! BUNDA!!" Arthit berlari menuju sumber suara teriakan sang kakak, begitu Arthit menengok sang kakak, terlihat kembaran Arthit itu menangis tersedu-sedu memandangi pecahan kaca di depannya, sementara di sebelahnya ada anak kecil yang berdiri terdiam dan hampir menangis seperti Natcha.

Keluarga Macamana (Oneshoot)Where stories live. Discover now