37.0 | Un-understandable

2.6K 446 152
                                    

Asahi tidak mengerti dengan semua yang terjadi saat ini.

Hal terakhir yang ia ingat sebelum siuman adalah, ayahnya menangis-nangis seraya mendekapnya. Itu adalah saat di mana dirinya berada di ambang batas kesadaran sebelum benar-benar pingsan. Asahi tak bisa melihatnya karena tubuhnya sudah tak kuat walau untuk sekedar membuka mata, tapi ia ingat betul bagaimana rasanya.

Itu bukan mimpi, bukan juga semata-mata khalayannya, ia yakin.

Dan ia semakin yakin saat menyadari bahwa dirinya tengah berada di ranjang rumah sakit, lengkap dengan jarum infus yang tertusuk di kulit dan juga perban-perban yang tertempel di sana sini.

Sang ayah menyelamatkannya kali ini dan membawanya ke rumah sakit.

Tapi ... Kenapa?

Kenapa ayahnya melakukan itu? Bukankah sang ayah yang paling menginginkannya mati? Bukankan dia juga yang ingin membunuhnya malam itu?

Asahi berusaha menghancurkan kepalanya sendiri untuk membantu mempercepat kematiannya. Ia tak tahan jika harus merasakan sakit lebih lama lagi. Ia tak mengerti juga kenapa sang ayah malah menghentikan pukulannya saat itu dan justru menolongnya.

Apakah ayahnya telah menyesali semua perbuatannya? Apakah penderitaannya kini akan berakhir? Akankan pada akhirnya ia akan disayangi?

Asahi takut berharap. Ia takut berharap lagi. Ia takut kecewa pada harapannya untuk yang kesekian kali.

Tapi ... Ayahnya mendekapnya, benar-benar mendekapnya, untuk pertama kali. Itu adalah sesuatu yang selalu ia dambakan sejak kecil, khayalan yang dulu hanya mampu ia lukis pada kertas-kertas gambarnya.

Ia ingin berharap lagi. Itu secercah harapan untuknya.

Namun, harapan itu mulai kembali runtuh ketika sang ayah berusaha membawanya pulang pagi ini.

Tangan hangat yang mendekapnya malam kemarin, kembali menjadi tangan kasar yang biasa menyakitinya.

Ayahnya tak mengucapkan satu kata pun sejak ia dibawa keluar dari bangsalnya. Tangan kekar sang ayah hanya terus menarik dan mencengkram lengan kurusnya di sepanjang lorong hingga ke tempat parkir. Tak peduli jika anaknya yang masih lemas itu dapat terjatuh kapan saja.

Asahi tak mengerti, ayahnya tak berbicara sepatah katapun meski ia bertanya. Ayahnya juga tak mengidahkan permintaannya untuk berhenti sebentar saat ia merasa tak lagi kuat berjalan. Ayahnya bahkan tak menatapnya dan hanya terus memandang lurus ke depan.

Pria itu kini telah berada di sebelahnya, tengah menyetiri mobil dengan tidak keruan.

Asahi telah meremat safety belt-nya berkali-kali karena sang ayah terus menyalip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi.

TINN!

TINN!

Klakson dari kendaraan-kendaraan di sekitar terus terdengar, memperingatkan ayahnya yang hampir menyerempet kendaraan-kendaraan itu.

"Hentikan, Appa ...."

Asahi memanggil ayahnya dengan lirih, berkali-kali. Berusaha meminta sang ayah untuk memelankan lajunya.

Tapi, seolah ingin mengajak mati bersama, ayahnya justru semakin menginjak gas.

Asahi berusaha menahan napas saat mobil itu semakin melaju dengan kecepatan tinggi, tangannya mulai bergetar meremat handle di atasnya. Ia takut.

Asahi menatap sang ayah dengan penuh permohonan. Matanya mulai berair, ia sangat takut, tapi ayahnya tetap mengabaikannya.

Kini, Asahi dapat melihat mata pria itu memerah, bibirnya terkatup rapat, dan tangannya mencengram stir di depannya dengan begitu kuat hingga urat-urat tangannya seolah ingin mencuat keluar. Asahi kembali tak mengerti dengan keadaan ini.

Sloth Bear | AsahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang