Chapter 14

4 1 3
                                    

Bri dan Nue berdiri di samping mobil mereka. Rumah Van Brausten sudah dikepung polisi. Beberapa orang sudah masuk dan memeriksa bagian dalam.

“Kuhargai pemberitahuan kalian,” ucap seorang polisi pada Bri dan Nue, “Kondisi rumah memang sudah kosong, tapi tidak ada tanda-tanda penculikan atau pencurian. Mereka bisa saja sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat.”

“Gagang telepon mereka menggantung,” sahut Bri. Ia sudah merasa bahwa menelepon polisi bukanlah ide bagus.

“Tidak menjelaskan apapun, Nona. Kami juga tidak bisa melakukan pemeriksaan di rumah Lucien Noventa seperti permintaanmu. Tidak selama kau tidak punya bukti.”

“Baik, Pak. Terima kasih sudah datang. Kami mohon maaf telah memanggil kalian. Kami berharap pihak kepolisisan bersedia memeriksa kasus ini lebih lanjut,” pinta Nue.

“Akan kami lihat apa yang bisa kami lakukan.”

“Baiklah, kami akan pulang dan membuat laporan besok pagi.”
Mereka berdua berpamitan dan meninggalkan kediaman Van Brausten.

“Aku tak yakin kita akan menemukan orang tua Phan di rumah Lucien. Jika ini penculikan, pasti sudah direncanakan.” Nue membuka percakapan.

“Kita harus melakukan sesuatu!” Bri mencoba menghubungi Stephan.
Teleponnya tersambung dan Bri menjelaskan apa yang sudah terjadi dengan singkat tapi mendetail.

“Aku mengerti Bri, Terima kasih,” jawab Stephan. “Ku hargai usaha kalian. Mungkin akan butuh waktu hingga orang tuaku di temukan. Tapi aku yakin mereka baik-baik saja selama kota masih berdiri.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak ada yang tahu di mana keluargaku, Bri. Mungkin saja saat ini mereka juga sedang berada di kota. Jika kau bersedia, tolong hubungi pihak yang bisa membantu. Pihak yang bisa menghentikan penghancuran kota. Sampaikan pada mereka masih ada beberapa warga sipil yang terjebak di sini.”

“Apa? Kupikir tempat itu sudah kosong.”

“Tiga orang teman lama ku … tidak sengaja menemuiku di sini. Sekarang kami sedang bersama di balai kota.”

“Baik, akan ku coba.” Bri menutup teleponnya.

“Mencoba apa, Bri?” ledek sang kakak. “Mencoba menghubungi presiden?”
***

Jam 08:00, Sepuluh jam sebelum penghancuran, Stephan selesai mempelajari catatan Rihan beserta peta katerdal dan jalur kereta bawah tanah. Ia menyelipkan buku catatan Rihan di bagian depan jaketnya lalu bersiap-siap. Ruang server ia kunci rapat karena proses pengaktifan program masih berlangsung. Ia hanya membawa barang seperlunya saja termasuk gulungan denah katerdal dan jalur kereta. Sebelum pergi, ia kembali memeriksa Randall, Mark, dan Jill.

“Aku pergi sekarang, Kalian hati-hati di sini ya!” pamit Stephan.

“Gimana mau hati-hati kalau terikat gini, dasar bodoh!” sahut Randall.

“Bos, kita menyerah saja. Aku tidak mau di sini apalagi dalam keadaan terikat,” rayu Jill.

“Baiklah.” Randal mengalah. “Kutu Komputer, kami menyerah. Izinkan kami ikut. Akan ku ceritakan tujuan kami sembari berjalan.”

“Kalian lebih aman berada di sini.” Stephan menolak halus.

“Tidak, jika tetap di sini apalagi tidak bisa bergerak. Kami akan mati,” jelas Randall diikuti anggukan Mark dan Jill.

“Kenapa?”

“Kau mungkin tidak tahu, tapi rumor mengatakan ada hewan-hewan buas aneh yang berkeliaran di kota ini.”

Seketika Stephan teringat dengan ular berkepala dua yang menyerangnya. “Oh jadi itu!”

“Apanya?” tanya Randall.

“Tadi sore aku sempat diserang ular berkepala dua. Untungnya aku bisa menusuk kepala satunya,” cerita Stephan yang disambut pandangan ‘psikopat macam apa kau ini?’ para perundungnya.

“Tapi kepala yang satu lagi ditembak. Bukankah itu pekerjaan kalian?” tanya Stephan.

“Kami tidak tahu. Kami masuk lewat pintu tiga dan langsung menuju Balai kota.”

“Oh, rupanya kalian yang telah membuka gerbang tiga. Kupikir hewan aneh itu berasal dari hutan. Lihat, pintunya masih terbuka selebar itu.” Stephan menunjuk monitor.

“Waaah, maaf! Aku lupa menutupnya kembali,” sahut Mark dibalas tatapan ‘dasar kau ini!’  Randall dan Jill.

Stephan menepuk dahinya, “Repot juga sih kalau hewan hutan masuk kota, lebih repot lagi kalau hewan aneh dari kota keluar ke hutan. Tapi paling tidak kita masih punya jalan keluar jika terjadi apa-apa. Pintu tiga adalah tiket keluar kita.”

“Ayo lepaskan kami sebelum ular berkepala dua itu datang lagi,” pinta Randall.

“Janji tidak akan mengkhianatiku?”

“Kami berjanji tidak akan membuat keadaan tambah rumit. Kau puas?”

Deal!” Stephan melepaskan ikatan mereka.

“Apalagi yang kalian tahu tentang hewan buas?”

“Entahlah, aku hanya tahu ada anjing besar yang berkeliaran di jalur kereta bawah tanah,” jawab Randall.

“Yang aku dengar serigala,” sambung Jill.

“Kalau ada hewan itu berarti kita butuh pistol bius. Kalau tidak salah ada di laboratorium biologi. Kita ke sana sebelum turun.” Stephan membuat rencana.

Randall dan anak buahnya saling berpandangan.

“Kalian tidak berpikir hewan-hewan itu berasal dari sana kan?”

“Kemungkinannya selalu ada.”

“Menurutku sih tidak, karena laboratorium itu digunakan untuk mempersiapkan bahan pangan dibanding penelitian. Tapi kalau kalian takut ya kita langsung turun saja ya,” ajak Stephan.

“Kami tidak takut!” ujar Randal dan anak buahnya serempak.

“Baiklah, kita gunakan yang kita punya saja. Aku yakin kalian membawa senjata.”

Stephan memberikan pengarahan singkat. Ia juga memasangkan sebuah alat semacam gelang di pergelangan tangan mereka. Alat itu bisa digunakan untuk mengontrol kamera-kamera stickman di seantero kota. Tidak lupa masing-masing membawa drone. Ketika semua sudah siap, mereka pun mulai bergerak.
***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang