Chapter 7

5 2 6
                                    

Setahun yang lalu

Lucien Noventa melangkah masuk ke ruang kerja Edward Van Brausten. Sang pemilik tengah sibuk dengan meja gambarnya. Dengan wajah pucat dan mata hijaunya, Lucien hampir terlihat seperti ular. Rambut putih panjang seperti milik kakaknya yang tak lain adalah istri Edward, disisir rapi kebelakang dan dibiarkan terurai menambah kesan angker penampilannya yang glamor dan eksentrik dengan mantel hitam panjang.

“Lucien, aku senang kau datang. Alangkah baiknya jika kita berbicara di ruang tengah. Xander akan mempersiapkan tehnya,” sapa Edward. Ia tak terbiasa bekerja sambil berbincang.

“Tehku bisa menunggu, Ed. Aku datang untuk sesuatu yang lebih penting.” Perlahan sang tamu menutup pintunya. “Aku rasa akan lebih nyaman membicarakannya di sini.”

Sang arsitek masih sibuk dengan sketsanya, sikapnya yang agak acuh memancing Lucien. Ia mendekati meja kerja di belakang Edward, mengambil sebuah pigura dengan foto Stephan kecil. Dipandanginya foto tersebut dan bertanya.

“Apa kabar junior, Ed?”

“Dia baik.”

“Seberapa baik?”

“Cukup baik untuk tidak membuat masalah bagi keluarga.”

Lucien terkekeh merasa Ed sedang menyindirnya.

“Stephan adalah anak yang sangat baik,” ujarnya dingin. “Bukankah ia terlalu baik untuk ukuran keluarga kita?”

“Dia hanya melaksanakan tugasnya.”

“Aku dengar ia berhasil membujukmu mengadopsi seorang gadis miskin ….”

“Mensponsori pendidikannya, Lu.” Edward memotong cepat.

“Waw, luar biasa. Bahkan ia berhasil membuatmu baik juga.”

Edward berhenti bekerja dan berbalik. “Kau dapat perhatianku. Apa masalahmu?”

“Bukan aku, Ed.” Mata licik Lucien menyipit dan ia tersenyum tanpa memperlihatkan gigi-giginya. “Kita sedang membicarakan keponakanku, Phan.”

Edward melipat tangan di depan perutnya.

“Phan belajar dan bekerja dengan baik. seorang jenius yang ulet. Ia membuat relasi dengan banyak orang. Seorang pilantropi, sering mengadakan kegiatan sosial. Aku yakin suatu saat ia akan melampaui yang terhebat di antara kita. Dia sempurna.”

“Masalahnya adalah Phan terlalu baik pada semua orang hingga golongan sosial menengah ke bawah pun ia perlakukan dengan sangat baik. Semua orang menyukainya, ia tak punya musuh.”

“Kau bicara omong kosong, Lu. Tidak ada orang yang tidak punya musuh,” tepis Ed.

“Itulah yang kumaksud, semakin banyak yang dikenalnya, semakin sulit untuk mengenali musuhnya.”

Edward mengernyitkan dahinya. Ia merasa sosok di depannya sudah memenuhi syarat sebagai musuh. “Berhenti bicara aneh, Lu. Apa yang kau inginkan?”

“Waktu, beri aku waktu bersama keponakanku. Aku akan membuatnya sadar jalan hidup seperti apa yang harus ia tempuh.”

“Kau tahu itu mustahil. Menjauhlah dari putraku.”

Edward tidak sedetikpun melepaskan pandangannya ke mata ular berwujud manusia di depannya. Tak terhitung berapa banyak bisnis ilegal yang dilakoni adik iparnya itu. Ia tak akan rela jika Stephan, sebagai satu-satunya ahli waris, mengikuti jejak Lucien.
***

Brigitte menolak untuk berhenti menghubungi Stephan sebelum teleponnya diangkat. Ia tidak menghiraukan Nue yang telah siap menghujaninya dengan pertanyaan sejak mereka meninggalkan rumah Irisviel. Akhirnya panggilan itu terjawab.

“Sudah kau sampaikan, Bri?” tanya Stephan dari seberang sana.

“Ya, sudah!” jawab Bri pendek.

“Terima kasih.”

“Di mana kau sekarang?”

“Kantor Balai kota.”

“Phan, pergi dari sana sekarang!”

“Tidak, ada yang harus aku selesaikan.”

“Phan, besok pagi, kota itu akan ….”

“Aku tahu, dihancurkan, ya! Sepertinya semua orang sudah tahu tentang hal ini kecuali aku dan keluargaku.”

“Apa yang kau lakukan di sana?”

“Mencoba memperbaiki. Akan kulakukan apa yang aku bisa.”

“Phan, kau gila! Bahkan tunanganmu pun gila!”

“Ah ya! Aku dan Eve adalah pasangan serasi, terima kasih.”

“Kau tahu apa yang kau bicarakan, kan? Iris tidak terlihat normal.”

“Yah, apa boleh buat kan? Jika saja dulu aku tahu mungkin aku akan memilihmu jadi ….”

“Diam kau! Tidak ada hubungannya denganku.”

Okay.”

“Phan, kau sedang dalam bahaya.”

“Kurasa tidak, kau akan membantuku kan?”

Nue yang ikut mendengar sambil tetap menyetir melemparkan pandangan ‘oh tentu tidak jika itu akan membuatku dikeluarkan dari dewan muda.

“Ya, kami akan membantu mengeluarkanmu dari kota.” Bri menjawab tegas.

“Tidak perlu, aku akan keluar besok.”

“Kau … akan … mati!” Bri menjeda dan menekan tiap kata yang ia ucapkan.

“Tidak, Aku akan tetap hidup … dalam ingatanmu.”

Klik! Gadis itu menutup ponselnya dengan kasar.

Mobil mereka tiba di tempat yang diminta Bri, gedung olah raga. Adik tunggal Nue itu segera turun dan langsung menuju tempat yang ingin ia datangi sedari tadi. Sanggar tinju yang menyediakan sansak. Begitu melihat objek yang sangat dirindukannya, ia bergegas mendekat. Tanpa melakukan pemanasan terlebih dahulu, tanpa membebat tangan dengan perban dan memakai sarung tinju, ia langsung memukuli dan menendang benda berbentuk bantal guling yang tergantung. Sesekali berteriak garang menakuti pengunjung lain. Seluruh emosi dan tekanan yang ia rasakan karena kota, Phan, dan tunangannya, ia lampiaskan.

Nue hanya menggeleng dan tak mampu menghentikan. Emosi adalah energi negatif yang sangat besar dan harus dikeluarkan. Menahannya hanya akan menciptakan ledakan amarah tak terkendali yang akan menjadi masalah nantinya. Toh tidak akan terlalu lama, Bri hanya bertahan lima belas menit hingga buku-buku jari tangannya memerah dan terasa perih. Nue memberikan air mineral dan membebat jari-jari adiknya yang mulai membengkak.

“Sudah puas?” tanya Nue dibalas gelengan kepala Bri. Pemuda itu pun lanjut memasangkan sarung tinju di kepalan tangan Bri. Memasangkan pelindung siku dan lutut, hingga pelindung kepala. Bri siap untuk ronde kedua.

“Hari yang buruk eh, Bri?! sapa salah seorang pelanggan yang mengenali mereka. Lima menit kemudian pemuda itu terkapar di arena tinju. K.O setelah duel satu lawan satu dengan Bri. Nue merasa kasihan tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan seperti ini bahkan Bri bisa membunuhnya jika mau.

Kedua kakak beradik itu duduk bersandar di bawah arena tinju. Gelanggang olah raga sudah semakin sepi.

“Ayo pulang!” ajak Nue.

“Si brengsek itu tidak bisa hilang dari kepalaku,” ujar Bri, wajahnya tertutup handuk kecil.

“Kau hanya perlu sedikit waktu.”

“Dulu dia tidak seperti itu. Phan berubah sejak bertemu gadis itu.”

“Maksudmu tunangannya?” tanya Nue.

“Bukan. Gadis itu … Rihanna Myers.”
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang