Chapter 10

2 1 4
                                    

Tiga tahun yang lalu.

Liburan semester tiga kembali dihabiskan Stephan sendirian di kamar. Bahkan ketika ayahnya juga di rumah. Biasanya Stephan begitu bersemangat ketika sekedar berbincang hingga bermain game konsol dengan ayahnya. Edward yang menyadari kejanggalan tersebut pun memanggilnya. Ia berencana menjadikan acara minum teh siang itu menjadi obrolan ringan antara ayah dan anak yang telah lama tak bersua. Edward duduk di kursi beranda yang menghadap ke taman. Xander telah menyiapkan teh Darjeling  kesukaan Stephan dan beberapa kudapan ringan. Tak lama Stephan bergabung, masih mengenakan kaus lengan pendek dan topi bisbol.

“Lepaskan topi itu, Nak,” sapa Edward. “Aku tahu kau membuat keributan baru-baru ini di kampus. Kepala institusi meneleponku langsung tentang hal itu.”

Stephan melepaskan topinya dengan malas dan meletakkaknya begitu saja di tepi meja. Edward melirik sebal pada benda itu namun urung berkomentar. Ia tak ingin menghancurkan mood putranya yang kelihatan sudah kacau. Bagian bawah mata kanan Stephan membengkak dan berwarna biru kehitaman. Ada bekas sobekan di bibir pemuda itu dan kedua sudutnya terluka. Poni rambutnya dibiarkan memanjang untuk menutupi bekas sulutan rokok. Edward hanya bisa menggeleng. Memang sudah hal yang wajar jika anak laki-laki berkelahi. Namun ia tidak pernah merasa putranya berpikiran begitu pendek. Ia sama sekali tidak percaya ketika mendengar penyebab perkelahian tersebut adalah wanita.

Edward mendengkus kesal karena Stephan urung bicara.

“Ada yang ingin kau katakan, Nak?”

“Apapun yang Ayah dengar, itu salah. Aku hanya membela diri,” jawab Stephan. “Aku bahkan mencoba menolong gadis itu.”

Begitu lega hati Edward mendengarnya. Namun ia mencondongkan badan ke depan dan memberi tatapan yang kurang lebih berarti, ‘katakan padaku lebih lanjut tentang hal ini.’

Stephan membuang muka menghindari tatapan ayahnya. “Aku penasaran, Yah. Apakah aku bisa memiliki hidup normal seperti orang-orang kebanyakan?”

“Apa maksudmu? Hidup kita sudah sangat nor ...”

“Membosankan, Yah.”

Edward berjengit kaget dan memandang heran, “Kau tidak membiarkan mereka memukulimu kan?”

Stephan menaikkan kedua alisnya dan menarik kedua sudut bibirnya ke belakang. Edward kembali menggeleng. Andai saja Stephan masih kelas dua sekolah menengah atas, ia akan sangat senang menasihatinya habis-habisan. 

“Keadaan normal bagi laba-laba adalah kekacauan bagi semut, Nak,” ujar Edward. “Kau harus tahu posisimu …”

Stephan buru-buru mengangguk pertanda ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu dan mencari topik baru, “Bagaimana dengan kota?”

“Tidak akan kukatakan jika kau tak berjanji untuk membantuku.” Edward meminum tehnya.

“Aku bukan planner , Yah.”

“Aku juga bukan. Kau tidak perlu menjadi planner untuk membangun sebuah kota, tapi kau bisa menjadi salah satunya jika mau berusaha. Planologi adalah ilmu seluas samudera yang sedalam mata kaki. Kau perlu menguasai banyak hal. Tidak perlu terlalu mendalam, hanya perlu menyesuaikan dengan apa yang kau butuhkan.”

“Samudera itu akan menjadi sedalam leherku jika banyak yang ku butuhkan,” sahut Stephan.

Edward terkekeh, “Adakah software yang bisa digunakan kelak jika kota sudah berdiri?”

“Hmm… Aku berpikir tentang kecerdasan buatan. Mungkin aku bisa membuat AI yang bisa memandu penduduk kota atau menjaga keamanan.”

“Kedengarannya menarik.”

“Sekarang mungkin belum memungkinkan, tapi aku bisa mengusahakannya untuk setahun atau dua tahun kemudian.” Stephan berpikir sejenak, “Programnya harus menggunakan suara wanita agar terdengar sopan dalam membantu.”

“Baiklah …”

“Dan aku harus memilih namanya. Namanya harus Lyla!”

“Tunggu, di mana aku pernah mendengar nama itu … Hmm …” Edward mencoba mengingat-ingat. “Ah, aku ingat sekarang, bukankah ia adalah asisten Miguel O’Hara?”

Stephan tersenyum untuk pertama kalinya. Ia senang ayahnya masih mengingat karakter game yang pernah mereka mainkan bersama.

“Hahaha … Kapan-kapan kita harus bermain game itu lagi. Apa judulnya?”

Spiderman 2099.”

“Ya itu dia, aku akan mencoba menjadi tokoh utamanya.”

“Tidak, Ayah. Berikutnya kita akan bermain Death Stranding .”

“Aha, Baiklah. Kuserahkan program itu padamu,” jelas Edward. “Pembangunan kota berjalan lancar. Kanal dan katerdal bawah tanah sudah selesai dibangun. Bagian atas akan dibuat sesuai dengan rancanganku.”

“Seberapa luas katerdalnya?”

“Tiga kali lapangan bola.”

“Perlukah seluas itu, Yah?”

“Tentu, jika ingin kota bebas banjir hingga dua puluh tahun ke depan. Tempat itu dialiri setidaknya lima aliran sungai yang mengalir dari hulu. Sedangkan tanahnya tidak menyerap air dengan baik. Kita  perlu banyak saluran air buatan. Kau tahu bukan aku yang memilih tempat itu. Aku lebih memilih tempat yang dikelilingi gunung-gunung dan bukit-bukit. Aku tidak paham kenapa pemerintah begitu terobsesi pada laut. Kenapa kota itu harus berada di tepi laut.”

“Bagaimana dengan kereta bawah tanah?”

“Lintasannya sudah selesai. Untuk saat ini kita hanya perlu satu lapisan. Katerdal berada 22 meter dibawah tanah. Kita masih bisa membangun dua tingkat jalur kereta lagi.”

“Bagaimana kalian mengangkut bahan bangunannya?”

“Tentu saja pesawat dan kapal laut. Kita sudah memiliki bandara dan pelabuhan.”

“Laut ternyata sangat membantu,” ledek Stephan. 

“Terima kasih!”
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang