Chapter 5

8 4 16
                                    

Stephan tengah menggigit sandwich di menara ATC (Air Traffic Controller ) lima menit setelah pesawat Airbus A400M  itu lepas landas. Dari kejauan ia masih bisa melihat pesawat itu berkelap-kelip melintas langit malam. Terpintas dalam pikirannya Anderson ada di dalam, secara harfiah sedang lari terbirit-birit meninggalkannya sendirian sebagai martir. Dalam waktu kurang dari dua belas jam kota akan dihancurkan, Rihan menghilang, dan keluarganya diculik. Biasanya dengan beban sebanyak itu orang tidak akan sempat memikirkan makan. Lain halnya dengan Stephan yang bertekad akan menyelesaikan semuanya sendirian, tanpa ayah, tanpa Xander, tanpa Rihan. Bergerak dengan perut kosong tentu bukan pilihan bagus. Begitu selesai melahap roti isi dan susu hangat yang ia siapkan sendiri dari bahan seadanya, ia segera melakukan langkah pertama.

Ia mencoba membuat panggilan dengan radio komunikasi. Tak sulit baginya menebak nomor pesawat dan penerbangan para pengungsi terakhir yang dibawa Anderson. Panggilannya dijawab kopilot yang kemudian langsung memanggil kepala keamanan ke ruang kokpit.

“Anderson brengsek, kau lari meninggalkanku sendirian ya?” sapa Stephan tanpa mengurangi nada sopan dalam suaranya.

Anderson tergelak mendengar sapaan bocah yang disebutnya ingusan dan pembawa masalah itu, “Syukurlah kau masih bernapas.”

“Bagaimana Klaus?”

“Dia baik, dia bersamaku saat ini.”

“Jeff?”

“Klaus bilang ia sudah menceritakannya padamu.”

“Bukan aku pelakunya.”

“Aku tahu. Jeff bukan satu-satunya yang bernasib malang.”

“Yah, salah satunya adalah saudari angkatku.”

Anderson diam selama beberapa saat, “Bagaimana ….”

“Jadi siapa pelakunya, Chief?”

“Sudah kami tangkap jika saja kami tahu. Dengar, aku turut berduka. Jika saja aku tahu Nona Myers …”

“Diterima!”

“Bisakah kau berhenti memotong kata-kataku?”

“Tidak, dan aku minta kau jelaskan situasinya.”

Kepala Anderson serasa berputar karena sebal. Stephan adalah bocah paling egois dan tidak sopan yang pernah ditemuinya. Ia bisa saja mengabaikan Stephan atau membentaknya seperti yang biasa ia lakukan pada anak buahnya. Entah kenapa ia tak berkutik jika sedang bicara dengan bocah itu. Mungkin karena jabatan ayahnya yang terlalu tinggi, atau keluarga ibunya yang terlalu kaya. Yang jelas kepala keamanan itu merasa akan mendapatkan konsekuensi besar jika mengabaikan Stephan.

“Jelaskan dengan singkat!” tegas Stephan sekali lagi.

“Laci ruang kerjaku.”

“Ok!” ujar Stephan pendek setelah Anderson menjawab sesuai permintaannya.

“Kau tidak ingin aku kembali?”

“Chief Anderson.”

“Ya?”

“Semoga kau menjadi petani kentang.”

Anderson membanting alat komunikasi yang ia pegang ke tempatnya, membuat pilot dan kopilot terhenyak kaget. Ia merasa dilecehkan. Wajahnya merah padam. Ia hendak kembali ke belakang ketika melihat Klaus ternyata mengikutinya dan mendengarkan percakapannya.

“Aku belum pernah melihatmu begitu sebelumya, Chief,” ujar Klaus ketika mereka sudah kembali ke kursi penumpang.

“Apa maksudmu?”

“Entahlah, kau terlihat … baik.”
***

Brigitte Davis membiarkan kakaknya, Nue Davis, mengendarai mobil sport dua pintu miliknya. Ia terlalu galau untuk menyetir, bukan karena panggilan dari Stephan, namun lebih karena apa yang harus ia lakukan berikutnya. Teman sejak kecil yang seringkali memakai identitas Nue ketika mendapat masalah itu telah membuat permintaan yang hampir mustahil untuk dilakukan, menemui dan berbicara dengan tunangannya, Irisviel. Tapi di sinilah ia, bersandar di jendela mobilnya sambil berusaha merangkai kata-kata yang akan ia sampaikan pada gadis yang baginya terlihat seperti peri dari negeri dongeng dibanding manusia.

“Jadi, kau ingin aku bertanya lebih dulu atau kau sendiri yang duluan bercerita?” Nue membuka percakapan. Diamnya Bri sejak mereka meninggalkan kota kemarin membuatnya khawatir. Bri yang biasa menata rambut pirangnya, sengaja membiarkanya terurai. Bola mata cokelat keemasan yang biasa memancarkan keceriaan seolah redup dan tiba-tiba saja mengajaknya berkunjung ke rumah keluarga Von Eizbern, pemilik perusahaan jurnalisme dan percetakan.

“Aku masih belum paham, Nue,” jawab Bri pada akhirnya, “Kenapa kita dipaksa keluar dari kota? Maksudku, kita bahkan baru beberapa bulan di sana ….”

“Satu tahun,” koreksi Nue.

“Ah ya! Aku terlalu merasa nyaman berada di sana hingga melupakan konsep waktu. Dan aku tidak melihat ada masalah di sana, jadi kenapa kita harus keluar?”

“Bri sayang, mereka bilang salah satu reaktornya rusak. Kau juga mendengarnya, kan?”

“Tapi aku masih tidak mempercayainya. Di sana tidak ada reaktor ….”

“Mereka baru membangunnya ….”

“Phan menghubungiku. Dia bilang tidak ada reaktor nuklir.” Bri memandang lekat-lekat kakaknya yang terlihat tampan meski hanya berkaus hitam dan memakai jeans kesayangannya. Rambut pirang dan mata cokelatnya sama sekali tidak mirip Stephan. “Ayahnya tidak pernah setuju dengan nuklir.”

“Hmm, mungkin itu salah satu alasan mereka dikeluarkan dari proyek.”

“Apa?” Ekspresi wajah Bri semakin terlihat bingung.

“Mungkin banyak yang tidak tahu. Tentu saja aku tahu, aku anggota baru dewan muda, karena itulah mereka memberiku tempat di kota.” Nue menjeda kalimatnya sejenak dan bersikap seolah-olah mencari alat penyadap sembari tetap menyetir. Hingga ia sadar tidak mungkin menghindari penyadapan karena privasi di internet hanyalah sebuah mitos. “Sekitar sebulan yang lalu, dewan agung memutuskan untuk menghentikan hubungan kerja dengan Edward Van Brausten. Sebagai gantinya, mereka memulai kerja sama dengan Lucien Noventa membangun pembangkit listrik tenaga nuklir.”

“Waw!” Mulut dan mata Bri sama-sama membulat. “Bukankah Lucien Noventa adalah adik ipar Tuan Edward?”

“Yup!”

“Sepertinya Phan tidak terlihat kalau ia mengetahui hal ini.”

“Bahkan mungkin Ayahnya juga belum mengetahui. Bagi Keluarga Van Brausten, mereka hanya sedang dirumahkan, dibebastugaskan, semacam itulah,” jelas Nue Davis. “Kau tahu sendiri hal-hal selalu terlihat … berbeda di atas sana, Bri.”

Bri memegangi kepalanya dengan kedua tangan, mengacak-acak rambutnya karena kata-kata yang ia siapkan untuk Irisviel tiba-tiba bertebaran tak karuan. “Apa lagi yang kau tahu, Nue?” tanya Bri yang merasa entah kenapa ia begitu jauh dari kakaknya akhir-akhir ini.

“Ada kesalahan di reaktornya. Lalu kita dievakuasi dan sepertinya itu keputusan tepat. Aku dengar terjadi ledakan di pelabuhan tadi pagi.”

“Ledakan?”

“Itu yang aku dengar.”

“Berapa lama mereka akan memperbaikinya? Kapan kita kembali ke sana? Kapan ….”

“Wowowow! Berhenti di situ.” Nue memotong rentetan pertanyaan Bri. “Kita, mungkin, tidak akan pernah kembali.”

“Apa maksudmu?”

“Mereka bilang radiasinya tidak terkendali dan tidak dapat diperbaiki lagi. Jadi … besok pagi, tepat ketika matahari terbit, pemerintah akan menghancurkan kota itu.”

Butuh beberapa detik bagi Bri untuk mencerna kata-kata itu. Ia tidak menyangka bicara dengan kakanya justru membuatnya semakin bingung. Dari rambut, tangannya ditarik ke depan menutup kedua matanya. “Kau pasti bercanda, kan?”

“Tidak, aku serius!”

Jantung Bri tiba-tiba berdebar kencang, napasnya menjadi cepat dan pandangan matanya ketakutan. Segera diraih ponselnya dan membuat panggilan ke nomor Stephan. Ia menunggu tak sabar hingga telepon diangkat. Ia begitu bersemangat hingga setengah berteriak ketika mendengar suara Stephan dari seberang sana. Namun hatinya mencelos kecewa karena suara itu hanyalah rekaman mesin penjawab otomatis. Ia mencoba tenang dan bicara ketika setelah bunyi pip, “Phan, ini Bri. Kau harus segera pergi dari tempat itu, sekarang! Reaktor nuklir rusak di dekat pelabuhan dan besok kota akan dihancurkan!”

Kali ini Nue yang memandang Bri dengan tatapan tak percaya. Namun ia masih sempat terkekeh, “Kau pasti bercanda, kan?”

“Tidak, aku serius!” jawab Bri sambil menutup teleponnya.

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang