Chapter 12

2 1 4
                                    

Ayo pulang!” ajak Nue lagi.

Bri mengangguk dan menuju ruang ganti. Ia segera mandi dan mengganti bajunya lalu menyusul Nue yang menunggu di mobil.

“Aku tidak mau pulang dulu,” ujar Bri setelah menutup pintu mobil.

“Mau kemana?” tanya Nue. Baginya tak masalah karena masih terlalu sore untuk tidur.

“Rumah Van Brausten.”

“Aww … Bri … Ayolah!” protes Nue. “Kenapa tak sekalian ke rumah Lucien Noventa?”

“Ide bagus, kita ke sana jika rumah orang tua Phan kosong.”

Nue menggeleng tak percaya sarkasme darinya dianggap serius oleh Bri.

“Baiklah, tapi kita beli makanan dulu,” tawar Nue.

Drive thru!”

“Ok!”

Mobil sport berwarna kuning menyala itu pun melaju. Melewati restoran cepat saji untuk membeli burger dan chicken wing dengan schezuan sauce. Makan malam kakak beradik itu dilakukan dalam mobil. Mereka tak ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi. Ketika mereka hampir mendekati rumah Edward Van Brausten, rumah itu sudah terlihat gelap dari kejauhan. Meskipun begitu, pintu gerbangnya terkunci rapat. Bri mencoba membuat panggilan telepon dan nomornya tidak tersambung.

Bri dan Nue yang sudah berada di luar mobil saling berpandangan beberapa saat lamanya.

“Jadi, mau langsung ke rumah Lucien?” tawar Nue.

Bri menggeleng, “Kita masuk.” Ia berlari ke samping rumah diikuti Nue. Di bagian itu ada dinding yang yang bisa dengan mudah dilompati. Spot favorit Stephan ketika melarikan diri. Bri berjalan lebih dulu, langkahnya berjingkat-jingkat menembus kegelapan taman. Nue menjaga jarak dan berjalan lebih waspada. Keadaan rumah yang gelap bukan berarti rumah itu kosong.

Bri berhasil masuk lewat pintu samping. Ia masuk ke ruang tengah dan melihat gagang telepon rumah tergantung. Karena itulah panggilan teleponnya tidak tersambung. Nue menyalakan lampu membuat Bri terlonjak kaget.

“Apa yang kau lakukan?”

“Memanggil polisi,” jawab Nue memegang ponsel milik adiknya di dekat telinga. “Rumah ini terlalu besar untuk kita periksa sendiri Bri.”

Bri berkacak pinggang tak terima keputusan kakaknya.

“Kita pergi ke rumah Lucien setelah polisi datang.”
***

Tiga tahun yang lalu

Randall Lockhart adalah ketua geng perundung Stephan. Meski kaya, orang tuanya belum sebanding dengan ayah Stephan dan para koleganya. Hari ini tidak seperti biasanya, ia makan siang di kantin dengan Rihanna Myers. Tentu saja mereka dikelilingi para anggota geng.

“Kukatakan padamu, berurusan dengan orang kaya itu menyebalkan. Kau akan menyesalinya.” Rihan menikmati kentang gorengnya. “Mereka akan memanfaat kalian habis-habisan.”

“Yang kau katakan bertolak belakang sekali dengan sebelumnya,” sahut Randall. Wajahnya sama lebar dengan tubuhnya yang gempal.

“Tidak juga. Membuat relasi dengan orang-orang kaya itu penting. Mereka mempunyai banyak informasi dan kesempatan yang tidak dimiliki orang biasa macam kita. Kalian tahu kenapa orang kaya tidak mudah jatuh miskin?”

Para anggota geng menggeleng.

“Itu karena mereka dibantu oleh orang kaya lainnya. Masalah keuangan adalah hal yang paling mudah mereka atasi.”

Dari kejauan terlihat Stephan membawa nampan dan makanan, mencari bangku kosong. Randall yang melihatnya mengedikkan kepala ke depan. Rihan yang merasa itu adalah kode, memalingkan wajahnya. Begitu melihat Stephan, ia berteriak dan melambai.

“Hai anak orang kaya! Kami sedang membuat rencana untuk mengerjaimu lho!”

“Jangan dikatakan, bodoh!” bentak Randall murka.

“Biarkan saja, aku tidak suka main rahasia-rahasiaan, hehe…” jawab Rihan tanpa merasa bersalah.

“Siapa yang bertanya apa yang kau suka, heh?”

Merasa dipanggil, Stephan berjalan menuju mereka.

“Tuh dia ke sini kan!” ujar Rihan senang. Anggota yang lain mulai ciut karena masih teringat bagaimana rasanya dihajar Stephan.

Pemuda itu berhenti di depan meja mereka, diam sejenak sambil menatap lurus. Rihan nyengir sementara Randall dan anak buahnya pasang muka masam. Siap mengeluarkan kata-kata kasar.

“Oh, sudah penuh ya,” kata Stephan disambut ledakan tawa Rihan dan umpatan geram para anggota geng.

“Memang sudah penuh!”

“Dari sana juga kelihatan kan!”

“Kau mau meledek kami ya!”

“Gadis itu tadi melambai, kupikir masih ada tempat kosong di sini,” jelas Stephan dengan polosnya.

“Barusan dia berteriak mau mengerjaimu tahu!”

“Oh begitu.”

“Oh begitu apanya! Dasar Kutu Komputer.”

“Sudah, sudah!” Rihan mencoba melerai di sela-sela tawanya. “Bocah ini orang kaya lho, kalian tidak mau berteman dengannya?” tawar Rihan pada Randall.

Randall bangkit dan berhadapan dengan Stephan. Jarak mereka sedekat nampan yang dipegangi Stephan. Kontes saling tatap pun dimulai. Para anggota geng menyoraki bos mereka. Tak lama salah satu dosen yang kebetulan lewat depan kantin masuk dan mendekati mereka. Sorakan pun terhenti.

“Ada masalah, Lockhart dan Van Brausten?”

Keduanya spontan menjawab “Tidak, Pak!”

Randall kembali ke tempat duduknya sementara Stephan mencari tempat duduk kosong di sudut ruangan.

“Aku heran, bukankah laki-laki itu sangat mudah berteman,” sindir Rihan.
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang