Chapter 9

5 1 5
                                    

Tiga tahun yang lalu.
Stephan tak lagi dirundung, ia justru ditakuti dan semakin dijauhi. Namun diam-diam para perundungnya merencanakan sesuatu yang tidak terpuji padanya. Mereka ingin mencelakai Stephan dan membuatnya seolah kebetulan. Rihan mendengar rencana mereka ketika sedang melewati halaman belakang kampus. Tempat itu sebenarnya adalah jalan pintas bagi gadis itu sekaligus sebagai tempat berkumpul favorit mereka.

“Sudah hentikan saja, tidak akan berhasil!” sahut Rihan setelah tidak sengaja mendengar rencana geng yang pernah dihajar Stephan.

Mereka sontak kaget mendengarnya dan langsung merasa geram.

“Diam kau, dasar cewek sialan!” hardik seorang anggota.

“Serang tukang ikut campur itu!” sahut yang lain.

Dua orang menyerang Rihan sekaligus namun dengan mudah dilumpuhkan. Melihat salah seorang temannya tersungkur dan satu lagi terlihat tersiksa karena tangannya dipiting kebelakang. Anggota yang lain pun ciut.

“Kalian tidak berpikir aku lemah, kan?” tanya Rihan.

“Dasar iblis betina, kau selalu saja merusak rencana kami.”

“Iya, enyahlah dari sini. Tinggalkan saja kami. Urusi urusanmu sendiri.”

Para mahasiswa itu terus meneriaki dan mengusir Rihan.

“Kalian itu bodoh ya! Bocah itu anak orang kaya, kalian tidak akan bisa membuatnya celaka semudah itu.”

“Biarkan saja, tidak ada urusannya denganmu.”

Rihan melepaskan orang yang tadi dipitingnya. “Kalau kalian mau mengerjainya, cobalah bekerja sama dengan orang kaya lainnya yang tidak suka padanya. Dia pasti punya musuh kan?” Rihan mencoba memberi saran.

“Iya juga ya.”

“Jangan dengarkan kata-katanya! Kau lupa dia itu dipihak siapa?”

“Aku tidak di pihak siapa-siapa kok,” ujar Rihan polos disambut cibiran para anggota geng.

“Lalu kenapa kau menolongnya waktu itu?”

“Aku tidak menolong. Kalian salah paham. Aku hanya tidak suka melihat sesuatu berjalan membosankan. Aku ingin membuatnya menarik.”

“Benarkah?”

“Kenapa terdengar mencurigakan?”

“Dasar! Kalian itu terlalu bodoh. Dengan pikiran seperti itu tidak akan bisa menyentuh anak kaya itu.” Rihan bersiap pergi. “Sudah ya, di sini membosankan.”

“Tunggu!” ujar ketua geng yang dulu pernah menggerayangi Rihan. “Kau bilang tidak memihak siapa-siapa kan? Bagaimana kalau kau membantu kami?” tawarnya.

“Membantu apa?”

“Apa saja yang bisa kau lakukan, oh misalnya … membawa kami pada orang kaya lain yang membenci si Kutu Komputer.”

“Tentu. Hal itu tergantung pada seberapa besar yang bisa kau tawarkan.”
***

Lucien Noventa mengadakan pesta kecil malam itu. Tamunya adalah orang-orang yang merayakan kemenangan mereka atas Edward Van Brausten. Jumlah mereka tak banyak karena kebanyakan memilih bersembunyi. Menurut hemat mereka, sehari sebelum kehancuran musuh mereka bukan waktu yang tepat untuk merayakan kemenangan. Mereka adalah orang-orang yang tadinya berinvestasi pada pembangunan kota. Berharap kelak kota itu bisa menjadi Las Vegasnya negeri ini. Apalah daya ternyata Edward lebih memilih tempatnya dijadikan kota masa depan yang ramah lingkungan dan berteknologi tinggi.

Mereka tentu saja merasa tertipu karena harapan mereka jauh sebelum kota dibangun dikhianati Edward mentah-mentah. Tempat yang dibangun Edward bukanlah surga yang selama ini mereka dambakan. Yang mereka inginkan adalah sebuah tempat di mana darah dan peluh penduduknya menjadi emas yang mengisi pundi-pundi mereka. Nampaknya sebuah tempat yang dirancang untuk bertahan hingga lima puluh tahun ke depan itu tidak mampu meneteskan setitikpun tembaga bagi mereka.

Pesta itu berlangsung tenang. Masing-masing tamu menikmati minumannya sambil menikmati alunan musik yang berasal dari piawainya pemain lira di tengah ruangan. Lagu yang dimaikan pun sangat sesuai dengan suasana malam itu, Nearer My God to Thee.

Lucien duduk di kursi kesayangannya. Perapian yang menyala di belakangnya menjaganya tetap hangat. Ia tengah menunggu tamu spesial yang tak lama lagi tiba. Benar saja, baru lima menit menunggu, tamu itu datang. Ia melangkah anggun dengan gaun putih yang menutup leher hingga kaki. Ekor gaunnya yang berenda menyapu jalan yang dilewatinya. Rambut putih keperakannya ia biarkan tergerai. Sebuah tiara kecil berhias daun-daun dan bunga perak melingkar di belakang kepalanya. Sang pelayan yang mengantarnya mempersilahkan ia duduk di sebelah Lucien. 

“Tepat waktu seperti biasanya, Nona Irisviel Von Eizbern.”

Gadis itu diam tak bereaksi. Hingga seorang pelayan mengantar segelas minuman khusus untuknya.

“Di mana calon suamiku?” tanya Irisviel pada akhirnya.

“Di tempat seharusnya ia berada. Sesuai dengan rencana kita.”

“Dia ke sana hanya demi saudari angkatnya, sangat romantis.” Irisviel memegangi gelasnya terlalu kuat hingga pecah di tangannya. Beberapa pelayan berhamburan membersihkan pecahan gelas dan memeriksa tangannya. Gadis itu diam saja seolah orang-orang di sekelilingnya hanya angin sepoi-sepoi.

“Bersabarlah, besok kau akan bertemu dengannya.”

“Dia akan mati.”

“Mungkin.”

“Dia dan keluarganya akan mati. Itu yang kau rencanakan.”

“Tenanglah Iris, keponakanku masih hidup. Dia bisa saja terus hidup jika tidak bodoh.”

Para pelayan membebat memasang perban pada tangan Irisviel yang terluka karena pecahan gelas. Gadis itu mematung, pandangannya lurus ke depan. Lalu air mengalir dari kedua matanya membentuk sungai di pipi tirusnya tanpa berusaha diseka. Sebagai salah satu orang yang merencanakan hal ini, ia tidak pernah menyangka jika kehilangan rasanya akan sesakit ini.

“Aku tahu kau sangat mencintainya, Iris.” Lucien mencoba menghibur. “Tapi ia telah memilih jalannya sendiri. Jika kau mencintainya, kau harus rela melepaskannya.”
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang