Chapter 4

10 3 14
                                    

Di apartemen Brigitte yang tak jauh dari pelabuhan dan bandara, Stephan mandi dan mengganti bajunya. Ia kabur dari pelabuhan setelah membius Klaus. Meskipun sebenarnya Stephan tidak ingin meninggalkan Klaus sendirian, ia juga tidak ingin bertemu dengan Chief Roger Anderson. Tidak sebelum ia mengetahui apa yang terjadi pada Jeff dan kota ini. Ia tak punya petunjuk apapun.

Sempat terpikir untuk bertemu Anderson langsung dan mengaku bahwa ia tidak tahu menahu tentang Jeff. Tapi ia tidak dapat melupakan fakta bahwa ada yang menyuruh Jeff menangkapnya dalam keadaan tidak sadar. Siapa lagi yang dapat melakukannya selain atasan Jeff sendiri. Oleh karena itu Stephan memutar otak untuk mencari cara yang harus dilakukan. Ia tidak punya banyak waktu. Di kota yang sudah tidak ada penghuninya ini, tak butuh waktu lama bagi Chief untuk menemukannya.

Stephan menghubungi Xander, tidak terhubung sama sekali seolah nomornya telah diblokir di mesin penerima telepon kediamannya sendiri. Ia tak berani menghubungi saluran pribadi ibunya yang dapat dipastikan panik setengah mati mengkhawatirkannya. Lalu ia pun memutuskan untuk menelepon ayahnya. Tak lama setelah nada tunggu terdengar, telepon diangkat. Stephan bersorak lega namun perasaan tersebut buyar setelah mendengar suara di seberang sana bukanlah ayahnya.

“Hallo, lama tak berjumpa Phan sayang. Bagaimana kabarmu?” Suara berat yang dikenal baik Stephan terdengar lambat dan tanpa sadar membuat bulu kuduknya berdiri. Ia melihat kembali layar ponsel untuk memastikan nomor yang ia hubungi adalah milik ayahnya. Begitu dilihatnya tulisan ‘Ayah’, ia kembali meletakkan telepon di dekat telinganya.

“Di mana Ayahku, Paman? Aku ingin bicara dengannya,” tanya Stephan tanpa menyapa.

“Aku senang kau masih mengenali suaraku, Nak. Sayangnya, Ayahmu tidak dapat menerima panggilan ini.”

“Dengan segala hormat, Paman. Di mana Ayah?” Stephan mencoba tetap tenang meskipun ia tahu sesuatu yang tidak menyenangkan mungkin terjadi jika ponsel ayahnya telah berpindah tangan.

“Katakan, Phan. Apa kau sudah menghubungi Xander?”

Mendengar hal itu Stephan menelan ludahnya.

“Sedikit saran, mungkin kau harus mulai memikirkan apa yang terjadi di rumah sendiri sebelum berkeliaran di dalam kota yang akan segera dihancurkan.”
***

Empat tahun yang lalu

Liburan musim panas setelah tahun pertamanya di perguruan tinggi, Stephan mengurung diri di perpustakaan pribadi dalam rumahnya. Ia berdalih ingin membaca buku-buku yang dapat menunjang kuliahnya. Xander, mengetahui majikan muda tersebut bukanlah seorang kutu buku yang suka menghabiskan waktunya sendirian, masuk lima jam kemudian. Benar saja, Stephan terhenyak kaget saat tepergok Xander sedang bermalas-malasan di tengah tumpukan buku-buku yang ia buat sebagai tembok.

Xander tersenyum ketika Stephan merubuhkan satu sisi temboknya secara tidak sengaja.

“Maaf Xander, aku bisa menjelaskan …,” ujar Stephan salah tingkah.

“Biarkan saja, Tuan Muda. Saya yang akan membereskannya.”

Pelayan berusia lima puluh tahun itu mengambil posisi duduk di samping Stephan. Alih-alih membereskan, ia hanya duduk bersila sambil menatap majikan kecilnya.

“Anda sering melakukannya, bukan?” tanya Xander.

“Eh, apa maksudmu?”

“Membangun sesuatu.” Xander menyadari bangunan buku-buku itu membentuk pola tertentu.

“Tidak juga, kau lihat aku baru saja menghancurkannya,” jawab Stephan malu-malu.

“Ada masalah, Tuan Muda?”

“Tidak, semuanya baik-baik saja.” Kebohongan Stephan terlihat jelas dari gerak geriknya. Hanya saja Xander tidak ingin memaksanya untuk bicara.

“Syukurlah jika semua baik-baik saja. Apakah anda merencanakan untuk pergi ke suatu tempat selama liburan, Tuan?”

“Tidak, aku akan tinggal di rumah saja.”

“Sangat disayangkan. Jika anda memang merencanakan untuk tetap tinggal, mungkin lebih baik mengundang beberapa teman kuliah anda untuk tinggal beberapa hari di sini.” Xander mencoba memberikan saran. “Saya yakin Tuan dan Nyonya besar tidak akan keberatan.”

Xander tentu saja tidak menyebutkan teman-teman Stephan yang berasal dari keluarga kaya raya lainnya. Tanpa diundang pun mereka akan tetap datang. Hal yang sama berlaku untuk majikannya. Menjaga relasi adalah hal penting dalam aristrokasi.

“Bukan ide bagus, Xander.” Stephan menjawab malas. “Tidak sesuai dugaanku, mempunyai teman di kampus ternyata tidak mudah.”

“Saya yakin tidak sesulit itu.”

Stephan memandang Xander dengan mata sendu seolah malas menjelaskan.

“Mereka tidak lari terbirit-birit saat melihat anda kan?”

“Lebih buruk.”

“Saya dengar anda cukup populer dikalangan dosen.”

“Xander, jika ada satu orang yang tidak mengenaliku, aku akan sangat terkejut,” ujar Stephan disambut tawa sang kepala pelayan.

“Sepertinya kuliah di universitas biasa bukan keputusan yang tepat. Meskipun di semester awal anda terlihat menikmatinya.” 

“Yah, banyak yang terjadi, Xander. Dan aku belum ingin membicarakannya.” Stephan terpekur melihat buku-buku yang berserakan. “Aku merasa telah merusak banyak hal.”

Xander mulai memunguti beberapa buku dan menumpuknya sambil terus bicara.

“Anda mengingatkan saya pada Tuan Besar. Beliau juga suka membangun segala sesuatu sesuai keinginnanya. Ada kalanya ia juga menghancurkan karyanya, baik sengaja maupun tidak.” Xander berhenti sebentar dan menatap dalam-dalam mata biru Stephan yang sayu. “Saya rasa menghancurkan sesuatu itu bukan masalah besar. Karena setelah itu, kita bisa membangunnya kembali, bahkan yang lebih baik dari sebelumnya.”
***

Klaus terbangun kaget setelah seseorang menyiram wajahnya dengan air dingin.

“Kau lengah, Klaus. Sudah ku bilang lebih baik membuatnya pingsan terlebih dulu.” Anderson duduk di sofa tempat Stephan duduk beberapa menit lalu. “Kurasa ia tidak sempat meminum obat biusnya,” lanjutnya sembari menyingkirkan pecahan-pecahan gelas dengan ujung sol depan sepatunya.

Masih tersengal-sengal dan membersihkan wajahnya, Klaus berusaha mengingat apa yang terjadi hingga ia tidak sadarkan diri. Sayangnya ia tidak ingat apapun setelah menceritakan tentang Jeff pada pemuda yang mengaku bernama Nue.

“Bagaimana Jeff?”

“Tidak tertolong,” jawab Anderson pendek.

“Kau yakin bocah tadi yang melakukannya?”

“Entahlah, Klaus. Keadaan semakin tidak terkendali. Kita harus segera pergi dari sini jika tidak ingin jadi korban selanjutnya.”

Klaus memegangi kepalanya yang pening. Ia masih tidak percaya tamu yang ia undang tega membiusnya. Meskipun ia sendiri telah memasukkan obat penenang lebih dulu dalam tehnya. Bagaimanapun ia hanyalah seorang kepala bagian pemeliharaan yang menerima perintah dari Anderson. Ia lebih memilih kompromi dibandingkan membuat orang lain mengikuti perintahnya secara paksa.

“Kita pergi sekarang!” perintah Anderson. Ia menyalakan alat komunikasi dan memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan pesawat di lintasan. Dari jendela kantor Klaus, terlihat matahari mulai ditelan permukaan laut diujung sana. Klaus dan Anderson sama-sama terpaku hingga muncul kilatan cahaya hijau selama tiga detik yang berasal dari matahari, cahaya itu menusuk bak pedang ke langit sebelum dipenuhi kegelapan sepenuhnya. Begitulah cara sang surya mengucapkan selamat tinggal pada para pelaut. Nampaknya pemandangan itu bukan hal baru bagi kepala keamanan dan kepala pemeliharaan tersebut, tapi mungkin akan jadi pemandangan terakhir yang mereka lihat dari kota itu.

Chief Anderson melangkah lebih dulu sementara Klaus mencoba bangkit.

“Apa tidak sebaiknya kita membawa pemuda itu? Dia masih terlihat sangat muda.”

“Berhenti mengkhawatirkan orang lain, Klaus.”

“Tapi bukankah itu tidak adil. Setidaknya kita bisa menjelaskan situasinya lebih dulu. Membawanya secara paksa terdengar sia-sia untukku.”

“Kau lihat situasinya, Klaus. Tidak akan mudah menjelaskan hal itu padanya. Lagi pula ia adalah putra sang arsitek. Pasti akan sangat sulit baginya untuk menerima keadaan ini,” ujar Anderson tak ingin berdebat lebih lanjut. “Kau pikir setelah kita bicara padanya ia akan menurut dan ikut begitu saja? Aku berani bertaruh bocah nekat itu akan memilih tinggal di sini.”

“Roger, tempat ini akan dihancurkan dalam waktu 12 jam! Jika kita tidak membawanya, ia akan ….”

“Akan apa, Klaus? Kau bersikap seolah sudah mengenalnya dengan baik. Tinggallah di sini jika kau mengkhawatirkannya.” Chief Anderson berlalu tanpa menoleh lagi, “Aku sudah muak berurusan dengan bocah ingusan pembawa masalah itu.”
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang