Prolog

26 6 12
                                    

We stole every moment we had to make the other one feel bad
We hoped that we could be what we knew
If we turn back time
Could we learn to live right?
Shiver – Lucy Rose 

At every instant and from every side,
Resound the call of love:
We are going to sky, who wants to come with us?
We have gone to heaven, we have been the friends of the angels,
And now we will go back there, for there is our country.
Another city – Rumi

***

DISCLAIMER

Cerita ini pernah diposting dan diterbitkan dengan judul yang sama dengan nama pena penulis Realia oleh penerbit Emedia.

The City ditulis ulang dan diperbaharui dengan akun Aecha Devara sebagai dan nama pena kedua di Wattpad

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

The City ditulis ulang dan diperbaharui dengan akun Aecha Devara sebagai dan nama pena kedua di Wattpad.

Banyak bagian yang akan direvisi, ditambah dan dikurangi sehingga akan berbeda dengan versi original tanpa mengubah alur.

Hope you enjoy this new version of The City 😁😁

***

Persembahan

For the seekers
For the lovers 

***
Prolog

“Ayah, katanya dulu manusia tinggal di surga?” Tangan kanan bocah sepuluh tahun itu menggandeng tangan ayahnya, sementara tangan yang lain memegang erat robot anjing kecil kesayangannya. Mereka berdua dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumah.

“Ya, dulu leluhur kita tinggal di sana, lalu dikirim ke bumi hingga sekarang.”

“Surga itu seperti apa Yah?”

Sang ayah tertawa kecil, “Entahlah Nak, ingatan manusia tentang tempat tersebut sudah dihapus. Surga adalah sebuah program komputer yang belum terinstal di memori manusia. Tak ada manusia hidup yang tahu keadaan di sana.” Ayah mengusap lembut rambut anaknya sambil tetap berjalan. “Apakah kau penasaran, Nak? Dengan bagaimana rasanya hidup di surga?”

“Tidak, Yah. Aku hanya penasaran bagaimana dulu leluhur kita menyesuaikan diri hidup di dunia ini setelah sebelumnya tinggal di surga.”

“Pertanyaan bagus, Nak. Jawabannya sangat mudah, manusia tidak perlu menyesuaikan diri. Bumi adalah tempat yang diciptakan khusus untuk kita.”

Bocah tersebut memandang ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Manusia memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki makhluk lainnya dalam menjaga bumi.”

“Apa itu Ayah?”

“Kau suka Tinker Bell , Nak?”

“Sedikit, Yah.”

“Apa kau tahu peri jenis apa Tinker Bell itu?”

“Hmm… “ Si bocah berusaha mengingat. “Peri pengrajin, Yah!”

“Betul sekali. Jika dibandingkan dengan peri, manusia adalah Tinker Bell.”

Bocah itu diam, ia membayangkan peri-peri yang beterbangan ke sana kemari. Sang ayah terkekeh memahami apa yang dipikirkan anaknya.

“Lupakan serbuk pixy , Nak. Tinker Bell adalah peri yang tidak bisa membuat keajaiban secara langsung. Ia hanya bisa membuat alat-alat yang akan mempermudah pekerjaannya dan peri-peri lainnya.”

Mata bocah itu membulat, ia mulai mengerti.
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang