Chapter 6

10 3 10
                                    

Stephan berjalan bosan melewati kota senja itu. Lampu-lampu jalan otomatis menyala, bahkan tepian trotoar bersinar karena terbuat dari fosfor yang bisa memancarkan cahaya ketika gelap. Dahulu, bagian yang menyala adalah trotoar yang bagian atasnya dipasangi panel penangkap sinar matahari. Karena terlalu boros pemakaian, mereka berhenti menyalakan lampu panel di atas jalan. Untuk menambah energi, Smartflower   buatan Austria dipasang di tempat terbuka karena mampu memberikan energi empat puluh persen lebih banyak daripada bentuk panel konvensional. 

Sebuah bayangan menyusup di belakangnya, Bayangan yang dipercaya Stephan sebagai Rihan yang datang lagi.

“Sudah kubilang, kau harus lari. Masih ada waktu untuk keluar dari sini,” bisiknya.

Stephan tidak berani menoleh, ia hanya memvisualisasikan Rihan memakai blus putih dipadu rok tujuh perdelapan dengan sepatu kulit berpotongan tinggi hingga menutupi bagian atas pergelangan kakinya. Baju kesayangannya saat bekerja.

“Tidak, aku akan tinggal. Orang-orang itu perlu belajar untuk memperbaiki sesuatu daripada menghancurkannya begitu saja,” jawab Stephan lirih. “Lagipula aku baru saja membuat perjanjian dengan iblis.”

Yang ia maksud perjanjian dengan iblis adalah kesepakatan yang telah ia buat dengan Lucien Noventa, pamannya. Melalui percakapan telepon di apartemen Brigitte sekitar satu jam yang lalu, sang paman mengatakan pada Stephan bahwa keluarnya ‘baik-baik saja’ dan meminta Stephan untuk segera bergabung. Kenyataannya mereka tengah disekap entah di mana. Video yang dikirimkan melalui ponsel ayahnya menunjukkan ayah, ibu, dan ketua pelayan mereka, Xander tengah duduk di lantai dan saling memunggungi satu sama lain. Tangan dan kaki mereka diikat, mata ditutup kain hitam dan mulut disumpal.

Lucien Noventa adalah adik kandung Lorelaine Van Brausten, ibu dari Stephan. Sayangnya mereka berdua hanya berbagi kesamaan genetik dan penampilan. Satu-satunya paman yang ia miliki itu sama sekali tidak memiliki kebaikan hati ibunya. Sudah menjadi rahasia umum kalau sang paman adalah saingan bisnis ayahnya yang siap menjegalnya kapanpun. Bertolak belakang dengan ayahnya yang memilih jalan hidup baik-baik dan menghindari masalah, pamannya terang-terangan memilih menjadi mafia dan pedagang gelap. Sangat mudah bagi Lucien untuk mendapatkan banyak uang. Namun gaya hidupnya yang menjunjung tinggi hedonisme membuat usaha-usaha yang ia miliki kerap kali gulung tikar dan ia memiliki banyak hutang. Anehnya Stephan tidak pernah sekalipun melihat pamannya terpuruk atau jatuh miskin.

“Apa yang kau katakan pada Lucien?” tanya bayangan Rihan.

“Kami bertaruh. Jika aku berhasil meyakinkan pemerintah untuk tidak menghancurkan kota, keluarga kita akan dilepaskan seperti sedia kala.”

“Jika tidak?”

“Kami semua, termasuk Xander, akan menyusulmu ketika matahari terbit.”
***

Bayangan Rihan tiba-tiba menghilang. Sebagai gantinya, sesuatu bergerak cepat di semak-semak. Stephan menoleh dan ia sempat menangkap kilatan cahaya dari kulit makhluk yang tadi melintas di belakangnya. Masih berselimut semak-semak, makhluk yang berjalan cepat dan mendesis itu seperti merayap di atas tanah, meninggalkan lintasan yang cukup besar. Stephan tak pernah ingat jika ayahnya pernah meletakkan ular di kota. Ia bersiap dengan pisaunya ketika melihat lagi makhluk itu mendahuluinya. Sesuai perkiraanya, makhluk besar itu sengaja menyalip agar bisa menyerang dari depan. Dalam hati Stephan mengakui makhluk ini lebih bermartabat daripada para kolega ayahnya yang hanya berani menusuk dari belakang.

Seekor kobra yang diameter tubuhnya tak kurang dari tiga puluh senti dengan kepala sebesar manusia. Dengan tenaga dorong tubuhnya yang panjang, kepala itu bergerak dari bawah dan menyerang Stephan dari atas. Waktu seolah melambat hingga Stephan bisa melihat jelas ketika ular itu membuka mulutnya, menampilkan rahang-rahang dan lidahnya yang terbelah. Beruntung ia berhasil menusuk leher ular yang mirip sendok terbalik itu tepat di bagian leher.

Kepala itu berhenti bergerak membuat Stephan bernapas lega. Namun tiba-tiba muncul kepala lain yang datang dari sebelah kirinya. Kontan saja Stephan kaget dan tidak sempat bereaksi, ia baru akan mengangkat tangan kirinya ketika sebuah tembakan menembus kepala kedua ular itu. Cipratan darah mengotori wajah dan baju Stephan yang langsung melihat ke arah datangnya peluru. Datangnya dari atas dan ia hanya melihat sebuah senapan terpasang di atas gedung yang tidak terlalu tinggi. ‘Aku tidak sendiri,’ pikirnya meski tidak melihat siapa-siapa di sana.

Ia mempercepat langkahnya menuju kantor Anderson di gedung administrasi sekitar satu kilometer dari bandara. Meskipun kaget dan ngeri melihat makhluk aneh barusan, ia tidak punya waktu untuk memeriksa yang tersisa dari hewan itu. Yang ia khawatirkan adalah jika tiba-tiba seekor harimau lapar menghadangnya. Belum tentu sniper misterius akan membantunya lagi. Tunggu, apa mungkin yang dituju penembak jitu tadi adalah kepalanya? Yang jelas ia harus mendapatkan dokumen yang disimpan dalam laci kerja Chief Anderson. Bentuknya adalah sebuah jurnal laporan harian pribadi Anderson sebagai kepala keamaan selama bertugas, mungkin.
***

Mungkin tak berlebihan jika menyebut Brigitte Davis kehilangan dirinya selama beberapa saat. Ia hanya separuh sadar ketika ia dan Nue memarkir mobil di halaman manor Von Eizbern hingga mereka dijamu di ruang tamu oleh para pelayan yang berpakaian seragam. Langkahnya ringan saja saat ia mengikuti seorang pelayan ke ruang pribadi Irisviel yang tidak ingin bertemu dengan tamu laki-laki, menyisakan Nue yang terpaksa menunggu. Ia tak dapat berkonsentrasi penuh, pikirannya bercabang antara di sini dan di sana. Ia baru menyadari begitu banyak ruang di kepalanya yang berisi Stephan, mungkin juga hatinya.

Ruangan pribadi Irisviel adalah galeri seni miliknya. Kayu-kayu penyangga kain kanvas berjajar tak beraturan, sebagian tertutup kain putih, sebagian masih belum selesai. Sementara dindingnya hampir penuh dengan lukisan-lukisan yang belum berhasil menarik perhatian Bri. Di bagian dinding yang tak dihiasi lukisan, jendela besar ditutup kain putih tipis yang beterbangan bak hantu menari. Angin masih berhasil menyusup sela-sela bagian yang belum tertutup rapat. Gadis itu terpaku menatap kosong Irisviel yang tengah melukis entah apa di kanvas yang terhampar di depannya. Tunangan Stephan itu terlihat asyik menikmati goresan kuasnya.

Butuh waktu cukup lama bagi Irisviel hingga akhirnya melirik tamunya yang pendiam.

“Pelayanku bilang ada yang ingin kau sampaikan,” sapa Irisviel. Suaranya sedingin es. Berat dan tercekat seolah dipaksa keluar.

Bri terlonjak kaget. Bukan karena suara yang membekukan tulang itu, tapi karena tatapan sebelah mata Irisviel dari balik kanvasnya. Kelopak mata besar dengan bulu mata super lentik itu terbuka sebagian, menampilkan bola mata hijau yang langsung menusuk kalbu. Wajah tirus pucat dibingkai rambut putih keperakkan yang menjuntai hingga pinggang. Belum lagi gaun putih berbahan tilak yang membungkus tubuh jenjang dari leher hingga mata kaki. Irisviel adalah hantu bertubuh manusia. Seketika Bri merinding dibuatnya, kekhawatirannya akan Stephan buyar. Berganti dengan ingatan akan betapa cantik dan menakutkannya Irieviel, gadis yang akan dinikahi Stephan.

“Ah ya! Maaf, tadi aku sempat melamun.” Bri berusaha menguasai dirinya. “Ruangan pribadimu sangat menarik eh .…”

Irisviel diam tak menjawab. Ia hanya merubah posisi duduk hingga Bri mampu melihat keseluruhan figurnya, sosok hantu perawan berbaju putih yang duduk di kursi. Ekspresi datarnya kurang lebih berarti ‘tidak usah basa-basi’.

“Baiklah, aku akan langsung ke intinya,” ujar Bri. Ia menunduk tak mampu memandangnya lebih dari lima detik. “Stephan mengirimkan pesan ….”

Bri menunggu reaksi Irisviel. Gadis itu tetap diam.

“Dia mengatakan aku harus menyampaikan sendiri padamu karena kau tidak punya ponsel dan … ini sangat penting. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku katakan .…”

“Sangat mudah. Sampaikan saja pesannya.”

Bri kembali menatap Iris. Seandainya ia belum mengetahui berita dari Nue, akan sangat mudah mengatakannya.

“Katakan cepat sebelum aku berkesimpulan kau hanya ingin menarik perhatian calon suamiku.”

Wajah Bri memanas. Bagaimana mungkin ia berpikiran seperti itu sementara Stephan tak jelas keselamatannya. Oh tunggu, ia belum tahu. Lalu apakah Bri harus menceritakan semua itu? ‘Tentu Bri, sebagai tunangannya, ia berhak tahu,’ bisik suara hari Bri.

“Iris, aku berbicara sebagai sahabat Stephan. Saat ini ia sedang ….”

“Tidak!” potong Irisviel.

“Apa?”

“Sampaikan saja pesannya, lalu kau boleh pergi.”

“Tapi ….”

“Aku percaya kau tidak ingin membebani dirimu dengan ketidakpercayaanku. Sampaikan pesannya dan kau boleh pergi. Aku tidak suka mengulangi perkataanku, aku telah melakukannya sekali dan tidak akan melakukannya lagi,” tegas Irisviel tanpa bergerak sedikitpun. Ia bahkan tidak terlihat sedang bernapas.

Bri memegangi dahinya, kebiasaan yang ia lakukan ketika frustasi. Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur dadanya yang naik turun lalu mulai menyampaikan pesannya.

“Stephan mengatakan kalau ia akan pulang besok dan langsung menikahimu. Ia berharap kau tidak keberatan jika harus tinggal di rumahnya.”

Pesan yang romantis itu berhasil disampaikan Bri tanpa jeda. Pesan cinta Stephan untuk Irisviel seolah membangunkan Bri dari mimpi buruk akan kehilangan Stephan esok pagi. Matanya tiba-tiba terbuka lebar dan lukisan-lukisan di dinding mulai terlihat jelas dimatanya. Lukisan-lukisan itu memang berbeda satu dan lainnya, namun sosok yang digambarkan sama saja yakni Stephan Van Brausten. Satu hal yang baru disadari Bri, Irisviel Von Eizbern, gadis yang terlihat seperti hantu ini telah terobsesi calon suaminya sendiri.

Untuk pertama kalinya Iris tersenyum. Senyum lebar yang memperlihatkan gigi-giginya, sebuah senyum psikopat. Bri hampir lari hanya karena melihatnya.

“Aku rasa aku harus pergi sekarang,” pamit Bri. “Selamat tinggal, Iris.” Gadis itu mengambil langkah seribu dan tidak berani menoleh sekalipun.
***

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang