37

20 12 0
                                    

"Kalo di pikir-pikir aku jahat juga ya? Aku mau minta maaf sama Zigo atas tindakan aku yang udah seenaknya manfaatin dia. Semoga di maafin ya, Vig?" adu Viola kepada Vigo.

Vigo merespon dengan anggukan kecil, "minta maaf dengan tulus, Bang Zigo pasti bisa memaafkan Kakak. Lagi pula Bang Zigo bukan tipe orang yang akan menilai satu kejadian hanya dengan satu sudut pandang. Bang Zigo juga pasti melihat dari sudut pandang Kakak, tidak mungkin tidak," ujar Vigo dengan keyakinan penuh.

Viola mengangguk mengiyakan. Lalu ia minimang-nimang kalimat yang akan ia ucapkan, sebelum akhirnya Viola bersuara. "Aku mau minta maaf sama Bundamu juga... bisa?" ucapnya dengan nada sehati-hati mungkin.

Tidak mendengar sahutan apa pun dari Vigo, Viola jadi merutuki mulutnya yang dengan lancang mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Tapi tidak segan ia kembali bersuara. "Vigo," panggil Viola pelan.

Vigo menatap Viola lembut, lalu menjawab, "iya?"

"Selama kita kenal kayanya cuma aku ya yang cerita-cerita masalah ke kamu? Kamunya nggak pernah. Jujur Migo juga nggak pernah mau cerita kehidupannya ke aku si... kaya... apa ya? Cuma Migo yang tahu kehidupan aku gimana, tapi akunya sama sekali nggak tahu tentang dia."

"Sama halnya dengan Migo, aku pun sebenarnya kurang nyaman jika membahas tentang keluarga," ungkap Vigo jujur.

Viola menghela napas pelan, menatap Vigo dengan tatapan menyesal. "It's, okay... maaf ya?"

Melihat raut wajah Viola yang sedikit mendung Vigo menyahuti, "maaf untuk apa, hei?"

Bahunya merosot lemas. "Maaf udah lancang tanya."

Vigo menatap Viola dengan tatapan yang sulit di artikan. Vigo paling tidak suka melihat wajah Viola murung. Iya benar, mau dalam kondisi apapun Viola akan terlihat cantik di matanya. Tetapi Viola akan lebih cantik dengan wajah antusiasnya. Viola akan lebih cantik jika tanpa raut kesedihan di wajahnya.

Menghela napas pelan, Vigo bertanya dengan nada selembut mungkin. "Kamu pengen tahu apa memang? Apa yang ingin kamu tahu, sebisa mungkin aku jawab."

Viola menggelengkan kepalanya pelan, tidak ingin bertanya lebih, takut jika Vigo semakin tidak nyaman. Lagi pula Viola harus tahu batasan.

"Ikut aku, ayo?" ucap Vigo tiba-tiba.

"Mau kemana? Aku mager ganti bajunya," tolak Viola mentah-mentah. Pasalnya ia hanya memakai baju tidur dan jilbab instan.

"Tidak perlu ganti baju," sahutnya cepat. Lagi pula penampilan Viola tidak buruk. Dan tidak pernah buruk pastinya. Sudah Vigo bilang, Viola akan tetap cantik mau dalam kondisi apapun.

"Mana ada! Mau kemana dulu ih." Wajahnya yang sedari tadi tidak bersemangat langsung berubah menjadi kesal.

"Danau," jawab Vigo singkat.

"Oke, fine. Aku sih nggak malu ya keluar pake ginian, tapi aku nggak jamin kamu bakal nggak malu juga."

Vigo terkekeh kecil, "tidak, buat apa juga malu?"

•••

"Kakak mau dengerin ceritaku memang?" tanya Vigo ragu.

"Mau mau, mau banget," sahutnya dengan mata berbinar.

"Walaupun sedikit tidak enak di dengar?"

"Apa pun Vigo, bakal aku denger!" sahut Viola antusias.

"Seperti yang Kakak tahu, aku empat bersaudara. Anak pertama Bang Zigo, Kakak sudah kenal kan? Lalu aku dengan Migo adalah anak kembar, tapi aku yang lahir lebih dulu. Dan yang terakhir Nigo, yang waktu itu di rumah sakit."

Kapal KertasWhere stories live. Discover now