Brendon 11

85 16 2
                                    

Waktu bernyanyi di kafe hanya dari pukul 4 sore hingga 10 malam, tampak tamu begitu menikmati nyanyian lembut dan hangat Brendon, bahkan ada yang meminta request dan memberi tip lebih--yang kata paman Sarah itu ambil saja untuknya.

Sarah benar, Brendon tak menyangka sangat bisa seberuntung ini, gaji yang diserahkan selesai manggung pun tak main-main, banyak bagi anak seusianya.

"Terima kasih, Tuan," kata Brendon menerima gaji pertamanya.

"Hei hei hei, panggil aku Paman saja, kau seumuran keponakanku kan?" Sang paman meralat. "Dan oh, aku yang harusnya berterima kasih, catatan keuangan meningkat setelah ada hiburan dari suara emasmu itu, kau mungkin bisa jadi penyanyi terkenal suatu saat nanti."

Oh, apa iya? Brendon merasa ia punya bakat yang sudah dia gali ....

Sarah, terima kasih!

"Ayo keluar dan biarkan Paman yang baik hati ini meneraktir kalian waffle." Keduanya sangat bahagia mendengar itu.

Mereka menuju depan di mana kafetaria sudah mulai tutup, duduk di meja yang tersedia di sana dan memesan waffle untuk masing-masing. Waffle, makanan yang sangat jarang Brendon makan, ia pernah jadi dishwasher di kafetaria tetapi tak pernah mencicipinya.

Rasanya enak, lembut, gurih.

"Jadi, kalian berdua ini pacaran ya?" tanya paman tiba-tiba, Sarah langsung tersedak karenanya.

"Paman, kau bicara apa?" Sarah tampak kesal. "Kami sahabat."

"Kalian menempel sekali, bahkan Sarah rela menemani Brendon hingga jam segini, Ibumu bahkan mengomeli Paman dan menyuruh Paman mengantarmu pulang sekarang." Paman memutar bola mata malas. "Mengaku saja, kalian pasti lebih dari sekadar sahabat, kalian menikah saja, karena Brendon mungkin akan viral dan menjadi penyanyi terkenal hingga kau sulit menggapainya Sarah."

"Paman, apa kepala botakmu itu pernah diberi saus krim dan digigit?" Sarah mengarahkan garpu ke pamannya dengan wajah dongkol.

"Duh, dasar anak tidak sopan, seperti ibunya." Paman tertawa geli seraya menggosok kepala Sarah gemas.

"Paman! Ugh astaga ikatan rambutku berantakan karenamu!" Sarah menggeram sebal dan pamannya semakin senang mengerjainya.

"Paman hanya bercanda, oke? Jadi, Brendon, apa kau eh Brendon?"

Lalu kemudian, mereka menatap Brendon, Brendon yang diam membeku dengan kedua pipi memerah karena ucapan membagongkan paman tadi. Tersadar ditatap, Brendon langsung seakan ditarik dari khayalan yang ikut-ikutan membagongkan.

Paman semakin menertawakannya. "Astaga, apa yang anak-anak remaja pikirkan zaman sekarang? Lihat kedua pipi merahmu itu, kau pasti menyukai keponakanku!" Paman semakin menertawakan mereka.

Brendon menunduk semakin malu.

"Paman, hentikan! Brendon memang pemalu, berhenti menggodainya atau akan kugunting rambut tak kasat mata di kepalamu itu!"

Paman tertawa geli. "Oke oke, maaf maaf, kita ganti topik. Jadi, Brendon, bisa kau perkenalkan dirimu lebih jauh? Sarah hanya bilang kau sahabatnya yang punya suara emas. Kau pernah latihan vokal?"

Brendon menghela napas lega, topik yang membuat dadanya bergemuruh bak konser sudah tiada, meski ada sisa-sisanya, ia harus mengikuti alur saat ini. Brendon menggeleng. "Tidak, Paman. Aku juga baru tahu suaraku bagus."

"Hm interesting, sepertinya bakat terpendam. Bersyukurlah Sarah mempertemukan kita. Bagaimana soal orang tuamu?"

Sarah menghalangi pamannya untuk bertanya hal sensitif itu, tetapi pamannya tampak tak memahami kode tersebut.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Nerd Is A LuciferWhere stories live. Discover now