Brendon 10

109 21 2
                                    

"Masalahnya apa, Brendon?" Sarah penasaran dengan Brendon yang tak meneruskan kalimatnya seraya menatap ke arah sampingnya dan Sarah bergantian, seakan melihat sesuatu.

"Ada sosok yang mirip denganku, tak terlihat, agak tengil, dan bermata merah." Akhirnya, Brendon mengatakannya.

"Sungguh? Sejak kapan?"

"Baru-baru ini, setelah pulang dari pemilihan Lucifer itu, kupikir ia hanya bagian dari halusinasiku atau apa, dia ... dia mengerikan."

"Mengerikan? Tampan begini kau bilang mengerikan? Padahal wajahmu sendiri." Kembaran Brendon mengoceh.

"Jadi, dia ada di sini?" Brendon mengangguk, melirikkan matanya tepat di sisi kosong di mata Sarah. "Kau melihatnya dengan jelas?"

"Ya, sangat jelas, tetapi orang lain sama sekali tak menyadari kehadirannya."

"Sekarang apa yang tengah dia lakukan? Apa dia bisa bicara?"

Brendon terus menatap ke arah kembarannya itu yang mulai memutar tubuh mendekati Sarah, dan Sarah mengikuti arah pandang angin kosong tersebut.

"Hei, jangan dekati dia!" Sarah agak menghindar meski tak tahu apa yang dilakukan sosok yang dimaksud Brendon. Kembarannya tersenyum geli dan menjauhi Sarah, Sarah yang tahu dijauhi dari sorot mata Brendon berdeham pelan.

"Oke, apa dia tak memberitahumu dia itu apa?"

"Dia bilang ... dia manisfetasi ingatan yang kutolak, dan dia bilang dia ...." Haruskah dia menyebutkan makhluk sialan nan tengil ini Lucifer? Ini lelucon terlucu, memalukan.

Meski demikian, ini kan Sarah.

"Dia apa? Tapi tunggu, kurasa aku pernah dengar manisfetasi ingatan, oh benar, memang ada ingatan yang menjadi wujud, karena ingin diingat oleh reinkernasinya. Kasus ini pernah terjadi pada seorang penyihir biasa yang ternyata penyihir tingkat atas di masa lalu, setelah menerimanya dia menjadi salah satu tetua. Kau tahu hal itu? Mungkin mata merahnya, dia adalah vampir di masa lalu, atau hal lain."

"Sungguh? Apa seperti itu memang ada?" tanya Brendon.

Kembarannya berdecak. "Aku Sang Raja Lucifer yang Agung!" Ia berteriak dengan gema penuh kekesalan.

"Coba tanyakan, siapa dia di masa lalu? Lalu, keputusanmu adalah menerimanya atau tidak."

"Dia bilang dia ...." Brendon kembali menggantung kalimat, ia agak mendekati Sarah. "Apa kau akan tertawa?"

"Kenapa aku harus tertawa?" tanya Sarah bingung.

"Dia bilang dia ... Lucifer ...."

Mata Sarah membulat sempurna. "Sungguh?!"

Brendon mengangguk, kedua pipinya memerah. "Dia selalu bilang begitu, aku sempat dirasukinya dan kulihat semua yang ada hanya ingatan soal kegilaan, kekuasaan, penindasan. Sarah, aku tak mungkin Lucifer, aku dari kalangan manusia biasa, dan kita tahu sendiri Lucifer membenci manusia. Benar kan?"

Brendon pikir Sarah akan menertawakannya, tetapi gadis itu malah berwajah serius menanggapi Brendon.

"Bee, sejujurnya Lucifer bisa siapa saja, dan kristal itu masih belum ditemukan, dia sudah kembali pada tuannya, dan aku melihat ada kolerasi antara dirimu, dan sesuatu yang terjadi pada tragedi saat itu. Entah itu kebetulan atau ...."

"Sarah, jangan katakan kau serius berpikir aku Lucifer, aku tak mungkin dia ... aku tak mau jadi dia!" Brendon bersikeras.

"Kalau begitu, kita akan cari tahu kebenarannya, Bee. Dan jika benar kau adalah Lucifer ...."

"Tidak, aku tak mau fakta itu, aku mungkin memang makhluk lain yang belum terdeteksi." Brendon begitu menghindari hal yang sedari dulu ia hindari, kembarannya yang sedari tadi menyimak memutar bola mata malas.

"Bee, tenanglah, kita akan cari tahu itu secepatnya, oke?"

"Oke ...." Brendon masih menunduk sendu.

Ia hanya berharap dia memang orang gila seperti Zack yang mengaku-ngaku, bukan Lucifer sesungguhnya, karena terlalu banyak dosa yang harus ia tanggung akan hal itu. Namun, di sisi lain, bagaimana jika ....

Brendon terisak pelan, rasanya sulit.

"Hei, ada apa? Kau menangis?" tanya Sarah khawatir, memegang bahu Brendon.

"Bagaimana jika benar aku Lucifer? Apa aku harus menanggung semua rasa bersalah ... ini?"

"Kalau itu aku, aku akan menebus segala kesalahanku di masa lalu, meskipun pasti tak bisa maksimal, tetapi aku akan berusaha. Menurutku hal yang bagus, jika benar Lucifer adalah dirimu, setidaknya kiamat tak akan terjadi sepertinya kan? Jujur, aku tak bisa sebenci itu dengan Lucifer, jika tahu dia Brendon yang saat ini bersamaku."

Hiburan Sarah cukup menguatkan Brendon, tetapi semoga saja dia bukan.

Dan tanpa disangka, Sarah menarik tubuh Brendon, memasukkannya dalam pelukan hangat nan nyaman itu. Menenangkan sang pemuda seketika.

"Tenanglah oke? Kau baik-baik saja. Dan apa kau ingat ini hari apa?" Pelukan hangat terlepas, Brendon agak tak rela, terlebih ia tak berkesempatan membalasnya, hanya tersenyum malu-malu.

Bodoh dia ini.

Namun, dia sadar diri, sih.

"Oh, Sabtu, kan? Apa malam ini kita ke kafetaria pamanmu?"

"Mm-hm, mandilah dan bertemu nanti di ...." Sarah memberitahukan alamat pamannya.

"Baiklah, terima kasih banyak, Sarah." Brendon malu-malu mengatakannya, rasanya seperti Sarah selalu saja jadi malaikat untuk dia.

"Dan lebih baik kau minum ini, air lemon, bagus untuk suaramu." Oh, beruntungnya dia.

Setelah makan siang bersama, Brendon sadari Sarah benar-benar tenang tentangnya yang mengakui kekonyolan itu. Entah apa yang dipikirkan Sarah, tetapi mereka berteman seperti biasa, sungguh tiada pengganggu termasuk kembaran Brendon yang entah hilang ke mana, walau faktanya dia memperhatikan dari jauh. Lalu ini kali pertama, tak ada yang mendekati mereka, meski cemoohan tetap mengganggu.

Sarah mengajarkan Brendon untuk bodoh amat dengan semuanya, selain sang gadis.

Brendon terus ada di sisi Sarah, melindunginya begitu sebaliknya, terutama dari Jeremy CS. Yang sekalipun tak menunjukkan batang hidung, tetapi keduanya yakin ada alasan besar di sana. Brendon harap ada latihan bela diri gratis untuknya, sih.

Waktu berjalan terus, pulang ke rumah masing-masing, Brendon dan Sarah bertemu di kafetaria milik paman Sarah, sudah ada si gadis di sana menunggui dan tersenyum hangat.

Sarah sangat cantik, dia memakai pakaian modis dengan kacamata bulat, rambutnya diikat cepol, semakin imut. Dan padahal mereka tak janjian, warna baju mereka, abu-abu serta biru muda, serasi.

"Wow, apa kita janjian?" tanya Sarah, Brendon tersipu dan keduanya tertawa.

"Kau keren, Bee." Brendon memang memakai pakaian yang menurutnya paling baik dari yang lain, meski tetap kolot.

"Kau juga, Sarah. Kau sangat cantik."

"Bisa saja, Tuan Penggombal." Keduanya tertawa. "Ayo, ikut aku!"

Sarah pun mengajak Brendon masuk, Brendon mengekori hingga memasuki ruangan kafetaria yang ada di sana, menghadap sosok pria berkepala botak yang sepertinya paman Sarah.

"Paman, ini temanku, Brendon, yang aku ceritakan punya suara bagus," kata Sarah memperkenalkan.

Sang paman punya tatapan ramah, ia menatap Brendon dari atas ke bawah, Brendon membungkuk hormat padanya.

"Kalau begitu, bernyanyilah sepenggal lirik, apa pun, tema jazz, kau bisa?"

Brendon mengangguk, ia menatap Sarah sejenak, dan mulai memikirkan lagu jazz yang dia ingat. Oh, benar, itu.

Brendon pun mulai bernyanyi.

"Fly me to the moon, let me play among the star--"

"Bagus, bagus. Sangat bagus!" Brendon belum menyelesaikan nyanyiannya tetapi sudah disela, meski demikian ia senang. "Tak perlu waktu lagi, Sarah ajak temanmu ke depan, di panggung sudah tersedia list lagu yang dinyanyikan."

Mata Brendon berbinar, ia menatap Sarah yang juga amat bahagia, keduanya pun berpelukan hangat.

10 Agustus 2022
-ketapi

The Nerd Is A LuciferWhere stories live. Discover now