7. Sosok Misterius di Kebun Teh

886 221 68
                                    

Aku sampai di teras rumah nenek dengan napas terengah-engah. Pak Engkus yang melihatku berjalan kepayahan segera mendekatiku.

"Aden kenapa?" tanyanya dengan wajah cemas.

Aku menggeleng-geleng.

"Nggak ... kenapa ... kenapa Pak. Cuma ... abis ... lari ngebut ... aja," jawabku susah payah di antara usahaku menarik dan mengembuskan napas.

"Aden ngapain lari-lari ngebut? Kan udah ada sepeda."

Aku mengerjap. Please, bisakah Pak Engkus jangan banyak nanya dulu? Apa dia nggak sadar aku masih ngos-ngosan?

"Eh, Aden nggak naik sepeda ya?" tanya Pak Engkus sambil melihat pekarangan rumah dan tidak melihat sepeda kakek.

"Apa udah dimasukkin ke garasi?" tanya Pak Engkus lagi.

"Nggaklah, Pak. Mana sempat saya nyimpen sepeda ke garasi. Saya aja masih ngos-ngosan begini," sahutku agak menyindir.

"Pak Engkus, saya boleh minta tolong ambilin sepeda kakek ya, tadi saya tinggal di turunan yang mau masuk jalan pintas ke sini, Pak. Semoga sepedanya belum hilang," pintaku ke Pak Engkus.

Pak Engkus mengernyit, jelas tampak dari wajahnya dia merasa heran dan curiga padaku.

"Oh, saya tau tempatnya, yang kemarin Aden ceritain. Ya udah, saya ambil dulu sepedanya. Aden istirahat dulu aja," kata Pak Engkus, lalu dia bergegas pergi.

Aku hanya menatapnya sambil mengatur napasku yang masih belum lancar.

Apa yang kulihat tadi benar-benar mengerikan. Apakah tadi hanya halusinasi? Tapi kenapa terlihat begitu nyata? Darah yang mengalir itu awalnya berwarna merah cerah, lalu berubah menjadi kental kecoklatan.

Seumur hidupku aku belum pernah melihat penampakan hantu-hantu dan sebagainya. Saat menonton film horor, aku yakin itu hanya film. Jika ada yang mengaku bisa melihat hantu aku hanya menganggapnya berhalusinasi.

Lalu, apakah tadi aku hanya berhalusinasi? Apakah tanpa aku sadari sebenarnya mentalku rusak akibat bertahun-tahun mengalami kepahitan hidup, dan puncaknya aku mengalami trauma akibat kecelakaan tragis itu?

Sungguh! Aku tidak paham apa yang kulihat tadi. Aku yakin aku sangat waras, tapi jika aku tidak gila, yang kulihat tadi apa? Lagipula ini masih siang. Apa ada hantu yang muncul siang-siang?

Mahluk gaib memang ada. Dalam agama pun diajarkan demikian. Ada malaikat dan jin. Tapi manusia ditakdirkan tidak bisa melihat mahluk gaib. Mereka disebut mahluk gaib karena memang tidak terlihat oleh manusia. Lagipula, guru agamaku bilang, roh manusia gentayangan itu tidak ada. Semua roh manusia yang telah meninggal, kembali kepada Allah. Jika ada manusia mengaku melihat mahluk halus, maka itu adalah jin yang sedang mengganggu manusia tersebut.

Anggap saja yang kulihat tadi adalah jin. Tapi kenapa tiba-tiba aku bisa melihat jin setelah selama tujuh belas tahun aku tidak bisa melihat mahluk gaib? Apakah kecelakaan tragis itu penyebabnya? Mungkin karena tubuhku terbentur keras ke tanah ada saraf-saraf di sekitar mataku yang bergeser. Mataku jadi tidak minus lagi, bahkan aku bisa melihat dengan jelas dari jarak sangat jauh, sekarang kemampuan mataku bertambah bisa melihat mahluk gaib?

Setelah napasku sudah lebih baik, aku bangkit dari dudukku dan masuk ke dalam rumah.

Aku ke dapur mengambil minum dingin dari kulkas. Tak ada seorang pun di dapur. Setelah puas minum dua gelas air dingin, aku ke kamar mandi membasuh muka, mencuci tangan dan kaki, sekalian berwudhu. Aku mengganti seragamku dengan pakaian rumah, setelah itu baru salat, kemudian beristirahat.

Sebelum magrib aku pergi ke garasi untuk mengecek sepeda kakek. Pak Engkus berhasil menemukan sepeda itu dan membawanya pulang.

"Tadi kenapa sepedanya ditinggal, Den?" tanya Pak Engkus, dia membuatku kaget karena tiba-tiba muncul ketika aku sedang membersihkan sepeda kakek.

"Eh, nggak apa-apa, Pak. Tadi saya mendadak lihat sesuatu yang bikin kaget. Jadi refleks sepedanya saya tinggal dan saya lari sekencang-kencangnya," jawabku.

Pak Engkus permisi akan pergi.

"Eh, tunggu, Pak Engkus. Saya mau nanya, apa benar Nek Ati punya cucu perempuan namanya Liana? Dulu dia tinggal di sini dan sekolah di sekolahku?"

Pak Engkus terbelalak, tampak sangat terkejut mendengar pertanyaanku. Dia terlihat ragu untuk menjawab.

Aku menghela napas.

"Apa Pak Engkus dilarang cerita tentang Liana sama Nek Ati? Buat apa dilarang? Aku kan pasti bakal tau dari teman-teman sekolahku, bisa juga dari pekerja-pekerja di sini, mereka kan tau Nek Ati punya anak dan cucu. Buat apa foto-foto mereka disembunyiin nggak dipajang di dinding?" tanyaku mulai tak sabar.

Pak Engkus hanya diam.

"Aden tanyain langsung aja ya ke Juragan Nyonya. Saya takut salah ngomong," ucapnya akhirnya.

Aku mengangguk-angguk.

"Pak Engkus nggak mau jawab, berarti benar. Nek Ati memang punya cucu bernama Liana. Apa terjadi pertengkaran hebat antara orangtua Liana dengan Nek Ati dan Kek Agan? Hingga mereka pindah dari sini dan Nek Ati nggak mau memajang foto-foto mereka?"

Pak Engkus terlihat gugup. Aku menghela napas. Sepertinya Pak Engkus tidak akan menjawab pertanyaanku itu.

"Sebentar, Pak Engkus," ucapku pada Pak Engkus yang akan keluar dari garasi. Lelaki itu berbalik ke arahku.

"Tadi saat nemu sepeda ini, di sekitar situ Bapak lihat ada remaja perempuan pakai seragam SMA, nggak?" tanyaku.

Pak Engkus mengernyit, lalu menggeleng.

"Nggak, Den. Saya nggak lihat siapa-siapa di situ. Sepi. Untung belum ada orang yang lewat, kalau ada, pasti sepeda ini udah diambil," jawab Pak Engkus.

"Oh, terima kasih, Pak Engkus," ucapku, sebagai tanda menyudahi percakapan kami.

Pak Engkus mengangguk, lalu berbalik dan keluar dari garasi.

Aku menyadari, percuma menanyai Bik Enah dan Pak Engkus. Sepertinya mereka sudah punya kesepakatan dengan Nek Ati untuk tidak memberitahu banyak hal di perkebunan teh ini kepadaku.

Aku pernah menanyakan siapa penghuni kamar di sebelah kamarku, tapi Bik Enah dan Pak Engkus kompak tutup mulut.

Bik Enah dan Pak Engkus baru bersemangat ketika aku menanyakan tentang anak mereka. Katanya, anak laki-laki mereka satu-satunya merantau ke Sumatera setelah setahun lulus SMA. Pernah diminta tinggal di sini, ikut bekerja di perkebunan, tapi anak itu tidak mau terus menerus hidup di perkebunan ini. Dia ingin mencari pengalaman lain. Hingga akhirnya ada kerabat temannya yang membuka usaha di Sumatera dan membutuhkan pegawai. Walau merasa berat berpisah dari anaknya, tapi Bik Enah tidak mau memaksa anaknya tinggal di sini. Itu sebabnya Bik Enah dan Pak Engkus hidup hanya berdua di perkebunan ini. Rumah mereka sepetak kecil di belakang rumah utama Nek Ati, masih berada di wilayah pekarangan rumah ini.

Sebenarnya ada satu cara aku bisa tahu kehidupan Nek Ati sebelumnya, andaikan aku punya kesempatan saling tatap dengan Nek Ati minimal 10 detik tanpa berkedip. Tapi tentu saja itu bukan hal mudah. Apalagi Nek Ati sepertinya selalu menghindar menatap mataku lama-lama.

Malam usai azan Isya, perkebunan ini sudah berselimut sepi. Tak terdengar suara kendaraan bermotor, tak ada suara orang-orang mengobrol, hanya terdengar suara jangkrik bersahut-sahutan.

Suara di kamar sebelahku masih selalu terdengar mulai tepat 12 malam. Namun sejak malam ketiga aku berada di sini, aku tahu cara supaya tidak mendengar suara-suara di kamar sebelah. Aku tidur pukul setengah 11 dan menyumpal telingaku dengan kapas.

**======**

Hai, hai. Aku update lagi.

Ternyata mulai berat nih nggak bisa update tiap hari 😅. Tapi semoga ga terlalu lama. Paling lama 2 hari bisa update.

Please, komen yang banyak ya, semangatin aku.
Buat yang udah baca, vote dan komen, makasih banyak 🥰

Salam,
Arumi

Mata MagmaWhere stories live. Discover now