10. Primadona Sekolah Yang Malang

777 212 36
                                    

Esok harinya di sekolah, aku heran melihat Mona mengeluarkan kotak bekal makanan dan botol minum dari tasnya.

"Kamu bawa bekal makan siang juga?"

"Yaah, supaya kita bisa makan bareng di kelas dan ngobrolin bantuan yang kamu minta ke aku kemarin. Lagian setelah kuhitung-hitung, kamu benar juga. Bawa bekal makanan lebih hemat dan aku yakin kebersihannya karena aku sendiri yang masak," jawab Mona.

Aku mengangkat alis. "Kamu bisa masak?"

Mata Mona mengernyit.

"Nggak usah heran aku bisa masak. Di desa ini rata-rata anak-anak dari SMP udah biasa masak bantuin ibunya. Anak cowok aja bisa. Kecuali kalau ada anak orang kaya yang selalu dimanja, semua diurus pelayan, mungkin nggak bisa masak," katanya.

Aku bisa merasakan nada sindiran di kalimatnya. Sepertinya Mona mengira di rumah nenek aku selalu dilayani.

"Aku nggak heran, cuma nanya. Aku juga bisa masak yang gampang-gampang. Aku bisa bikin telor dadar, masak mi instan, bikin nasi goreng juga bisa. Tapi selama di rumah nenek, semua makanan sudah disiapin sama Bik Enah."

"Lumayan juga kamu bisa bikin nasi goreng. Enak?"

"Menurutku enak. Aku kan bukan anak orang kaya yang selalu dimanja. Jadi aku harus bisa masak makanan dasar supaya andai terjadi sesuatu aku bisa survive." Secara halus aku membantah sindiran Mona tadi.

Mona tak menyahut lagi. Dia membuka kotak makanannya.

"Apa kamu tahu gimana cara aku bisa dapetin foto Liana? Semalam aku nyari akun media sosial dengan nama Liana, tapi nggak ada yang tinggal di perkebunan teh Megamendung," kataku memulai percakapan setelah menelan suapan pertama makananku.

"Aku nggak tau. Aku nggak kenal dekat sama dia. Jadi, aku nggak pernah foto bareng dia. Aku juga nggak tau apa nama akun medsosnya, tapi kurasa akun medsosnya sudah dihapus. Pasti Nek Gayatri menyuruh salah satu pegawainya untuk menghapus akun medsos Liana. Sekarang kan banyak jasa hapus akun medsos."

"Aku cuma pengin tau wajah Liana seperti apa. Kepergian Liana dari sekolah ini yang kamu bilang mendadak, lalu munculnya penampakan hantu cewek berseragam SMA, bikin aku punya feeling buruk tentang Liana," kataku.

Mona terlihat terkejut mendengar ucapanku itu.

"Kamu khawatir hantu cewek berseragam SMA yang bisa kamu lihat itu hantu Liana? Kamu ngira Liana sudah meninggal?" tanyanya.

Aku menghela napas.

"Di rumah nenekku nggak ada yang mau menceritakan tentang Liana. Bik Enah dan Pak Engkus, pegawai nenek yang tinggal di perkebunan teh itu juga nggak mau cerita apa pun. Sepertinya mereka menyembunyikan fakta tentang Liana. Bahkan nenekku nggak mau masang foto Liana di rumahnya," jawabku

"Aku rasa hantu yang kamu lihat itu bukan hantu Liana. Waktu kamu bilang hantu yang menampakkan diri ke kamu itu mengaku dibunuh di kebun teh, aku udah mikir, jangan-jangan itu hantu Prisila, murid yang dulu sekolah di sini juga. Kasusnya sempat heboh. Dua bulan lalu, mayatnya ditemukan seorang pemetik teh tergeletak di bawah tanaman teh setelah dua hari dia menghilang," kata Mona.

Mataku membesar, aku hampir saja tersedak.

"Jadi, memang benar ada murid SMA ini yang dibunuh di kebun teh?" tanyaku memastikan sekali lagi.

"Iya. Keadaan saat itu kacau banget. Sempat ada gosip yang beredar, beberapa pekerja kebun teh melihat penampakan cewek berseragam SMA yang menangis setiap sore menjelang magrib. Mereka yakin itu hantu Prisila."

"Apa polisi belum menemukan siapa pembunuhnya?"

Mona menggeleng.

"Prisila itu seperti apa? Maksudku, apakah dia supel, banyak teman di sekolah, dan apa prestasinya?"

"Dia itu primadona sekolah. Memang cantik sih, banyak cowok yang ngejar-ngejar dia. Terutama Gugum tuh, cinta mati banget sama Sila. Gugum langsung patah hati ketika Sila akhirnya milih Endra jadi pacarnya."

"Endra itu anak kelas mana ya?"

"Kamu belum tau Endra? Dia itu ketua OSIS. Kelasnya sebelah kelas kita, kelas IPA-2."

Tanpa kusadari mulutku membentuk huruf O.

"Kamu pasti nggak tau juga kalau Endra itu anak kepala sekolah?"

Aku menggeleng, lalu mengangguk-angguk mengerti.

"Primadona sekolah, nggak heran milihnya Endra, ketua OSIS dan anak kepala sekolah," kataku.

"Dan jujur, Endra memang lebih ganteng sih daripada Gugum."

"Kejadiannya dua bulan lalu? Berarti masih baru juga. Kenapa dia pulang sendirian lewat kebun teh? Masa Endra nggak mau nganterin dia pulang."

"Kalau kata Endra, dia udah nganterin Sila pulang sampai rumah. Ibunya Sila juga bilang gitu karena Endra ketemu ibu Sila dan pamitan. Jadi, Sila pergi ke kebun teh setelah dia sampai di rumah."

"Primadona sekolah. Mungkin banyak yang iri sama dia dan banyak cowok-cowok yang patah hati karena dia tolak. Pertama, kita bikin daftar kemungkinan orang-orang yang nggak suka sama Sila. Mona, please, kamu mau kan bantu aku menemukan siapa pembunuh Sila?"

"Aku memang nggak kenal dekat dia. Primadona sekolah mana mau bergaul sama aku. Tapi aku sangat prihatin dengan yang dialami Sila. Aku mau bantuin kamu nyelidikin. Tapi ada syaratnya," sahut Mona.

Aku mengangkat alis. "Pake syarat segala. Syaratnya apaan?" tanyaku.

"Kamu jangan ngebocorin ke orang-orang kalau aku sebenarnya nggak bisa lihat mahluk gaib. Biarkan aku terus menjalankan profesiku," jawab Mona.

Aku hanya mengangguk.

**=====**

Hai hai semua. Lanjut lagi nih baca kisah Magma.

Makasih buat yang udah baca, vote dan kasih komen yang banyak. Aku harus jaga terus mood-ku supaya ideku nggak mandeg. Support aku dengan ramein komen ya.

Thank youuu 😘

Salam,
Arumi

Mata MagmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang