12. Dia Memang Hantu Sila

838 206 44
                                    

Aku terkejut ketika masuk ke dalam kelasku pagi ini, Mona sudah duduk di kursinya. Hanya dia murid yang sudah datang. Tapi bukan hanya itu yang membuatku terkejut. Aku semakin tercengang karena di samping Mona alias di tempat dudukku, sudah duduk dengan kaku hantu gadis korban pembunuhan di kebun teh itu!

Aku berusaha tidak melihat sosok gaib itu. Beruntung dia tidak menampakkan penampilan mengerikan penuh darah. Hanya kulitnya sangat pucat hampir seputih kertas.

Aku berhenti di ambang pintu kelas. Ragu untuk masuk dan jelas aku tak berminat duduk di kursiku. Mona menoleh, dia menyadari kedatanganku. Matanya menyipit. Dia pasti heran melihat aku belum juga melangkah masuk. Tapi bukankah Mona bisa mencium bau busuk dari roh orang yang sudah meninggal? Apa dia tidak mencium bau busuk hantu di sebelahnya? Apa Mona bohong lagi?

Hantu itu juga menyadari kedatanganku. Dia ikut menoleh ke arahku, aku memalingkan wajah, aku ingin pura-pura tidak melihatnya.

"Magma! Kamu ngapain di situ? Kenapa nggak masuk?" tanya Mona.

"Kelas masih sepi. Aku mau nunggu ada anak lain yang datang dulu," sahutku mengarang alasan.

Aku tetap berdiri di ambang pintu, seolah memandang lorong kelas, padahal ekor mataku melirik ke arah tempat dudukku. Hantu itu masih ada di sana. Apa yang akan terjadi jika aku nekat mendudukinya? Apakah dia akan marah dan mencekikku?

Kulihat Mona juga hanya diam, dia tidak berusaha bangun dari kursinya. Dia malah sibuk melihat-lihat ponselnya. Hantu itu pun tidak mengganggu Mona, hanya duduk kaku dengan wajah menghadap ke arah Mona.

Setelah ada tiga murid lagi yang datang, barulah aku menghampiri tempat dudukku. Aku berdiri di samping kursiku, lalu aku komat-kamit membaca doa. Aku ingat Bu Win pernah bilang, jika ingin membuat setan pengganggu pergi, baca saja surat Al Ikhlas, karena surat ini mengandung arti memurnikan keesaan Allah, mengingatkan manusia untuk tidak takut kepada mahluk gaib, karena Allah yang Maha Kuasa.

Aku terperanjat, karena hantu atau roh, atau jin atau setan itu berdiri lalu berbalik dan menatapku. Aku memejamkan mata, terus membaca doa-doa, bukan hanya surat Al Ikhlas, tapi surat yang lain yang kutahu termasuk surat Al Fatihah.

"Magma, kamu ngapain?"

Teguran itu membuatku membuka mata. Hantu di tempat dudukku sudah hilang, Mona sedang menatapku heran.

"Kamu ini udah namanya aneh, tingkahnya kayak orang gila juga. Ngapain komat-kamit? Baca mantra? Oh, jangan-jangan kamu sejenis ya sama si Mona itu? Merasa jadi paranormal? Awas ya kamu, saya laporin nanti ke pesulap merah!"

Aku terkejut mendengar ocehan penuh hinaan itu. Ternyata Gugum dan gengnya sudah berdiri di sekelilingku. Anak buah Gugum menyambut ucapan sok tahu Gugum dengan gelak tawa.

"Nggak ada salahnya baca doa sebelum mulai belajar," sahutku, melawan hinaan Gugum dengan tetap bersikap kalem.

"Baca doa mau belajar kok kayak dukun komat-kamit baca mantra," ledek Gugum lagi, diikuti tawa anggota gengnya.

"Eh, Gugum. Terserah orang sih, mau baca apa. Kamu nggak usah ngatur-atur orang, atuh!" Tiba-tiba Mona bicara membelaku sambil dengan berani menatap Gugum.

Gugum menoleh ke Mona, menatapnya sesaat. "Kalian memang cocok jadi teman sebangku. Sama-sama gila tukang komat-kamit," ucap Gugum lagi.

"Cocok memang mereka, Bos!" sahut salah satu anggota gengnya, lalu diikuti tawa yang lainnya.

Gugum melanjutkan langkahnya menuju bangkunya di deretan paling belakang diikuti anggota gengnya.

Aku menghela napas, lalu duduk di kursiku yang kini sudah kosong. Aku terkejut meerasakan hawa sangat dingin di kursiku itu.

"Kamu tadi ngapain sih? Jujur memang tadi kamu kelihatan aneh. Bikin Gugum jadi terpancing ngeledekin kamu kan jadinya," tegur Mona dengan suara pelan.

"Aku tadi nggak jadi masuk kelas, karena hantu korban pembunuhan di perkebunan teh itu duduk di kursiku ini, dia merhatiin kamu. Jadi, aku nunggu dia pergi dulu. Tapi dia nggak pergi-pergi. Aku usir dia dengan baca doa-doa supaya dia merasa panas dan pergi," sahutku dengan suara sangat pelan agar murid di belakangku tak mendengar ocehanku.

"Oh ... Dia ... merhatiin aku? Kenapa ya? Dia nggak bakal ngikutin aku pulang ke rumah, kan?" Suara Mona terdengar cemas.

Aku mengangkat bahu.

"Mana aku tahu. Terserah dia sih, mau ngikutin kamu pulang atau nggak," ucapku.

"Kamu jangan nakut-nakutin dong," protes Mona.

"Ngapain takut? Kamu kan nggak bisa lihat dia," sahutku.

Mona terdiam sejenak.

"Yah, siapa tau kalau dia keseringan ngikutin aku, lama-lama aku jadi bisa ngeliat dia," katanya semenit kemudian.

"Kamu pengin ngeliat dia?" tanyaku.

"Nggaklah! Ogah banget ngeliat hantu!" Mona terbelalak, terkejut oleh ucapannya sendiri. Dia menutup mulutnya lalu melirik murid yang sudah duduk di sebelah kami. Yang duduk paling pinggir dekat aku menoleh ke Mona dan memicingkan mata.

Mona menengok sedikit sambil melirik ke belakang. Terlihat olehku dia menghela napas lega melihat dua cewek di belakang sedang sibuk mengobrol sambil bergantian mendengarkan sesuatu lewat earphone. Kudengar sekilas mereka sedang membicarakan lagu baru penyanyi idola mereka.

"Oh iya, aku baru ingat. Apa kamu nge-save foto murid-murid sekolah ini? Misalnya di suatu acara apa gitu, dan ada foto Prisila?" tanyaku, teringat ini yang sejak semalam ingin kutanyakan pada Mona.

"Tadi aku memang udah nyari-nyari foto acara-acara sekolah yang ada Sila. Dan ada beberapa. Tapi bukan foto close up," jawab Mona sambil menunjukkan layar ponselnya padaku.

"Nggak apa-apa bukan foto close up. Aku cuma pengin tau wajahnya seperti apa," sahutku.

Aku mulai memperhatikan foto-foto yang ditunjukkan Mona.

Alisku terangkat. "Iya, betul dia. Wajahnya persis hantu yang kulihat di perkebunan teh, di belakang perpustakaan dan barusan duduk di kursiku ini. Dia seperti di foto ini kalau lagi nunjukin wajah normalnya. Tapi kadang dia kayak sengaja nunjukkin mukanya setelah dibunuh. Kepalanya bocor, darahnya ngalir banyak sampai nutupin mukanya, matanya bolong ...." ucapku. Suaraku agak bergetar, jantungku berdetak cepat.

"Magma! Jangan ceritain yang serem-serem gitu dong!" protes Mona lagi.

"Kamu baru denger doang, belum lihat langsung. Apalagi kalo lihat langsung," ledekku.

Mona bergidik. "Ogah!" ucapnya tegas.

Aku hanya tersenyum tipis.

**======**

Hai, hai ketemu lagi dengan lanjutan kisah Magma.

Makasih ya buat yang masih terus ngikutin cerita ini, ngasih vote dan komen. Part selanjutnya bakal cepet diupdate.

Pasang notifikasi supaya ga ketinggalan ya 😉

Salam,
Arumi

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mata MagmaWhere stories live. Discover now