4. Kata "Jangan" Yang Menyebalkan

980 232 68
                                    

Bik Enah memanduku menuju kamar yang sudah disiapkan sebagai kamarku. Sebelum masuk ke kamarku, aku melirik kamar sebelah, menatap pintunya agak lama.

"Itu kamar yang tadi dibilang Juragan Nyonya. Aden nggak boleh masuk situ," kata Bik Enah tiba-tiba, sepertinya Bik Enah melihat aku menatap pintu kamar sebelah.

Aku menoleh ke Bik Enah.

"Aku memang nggak berniat masuk ke kamar orang lain. Tapi, kenapa ada larangan seperti itu, Bik? Itu kamar siapa? Apa penghuninya sering berisik bersuara-suara gitu?" tanyaku.

Bik Enah membelalak samar, tapi aku sempat melihatnya. Dia berbalik menghindari tatapanku.

"Pokoknya Aden nggak usah ikut campur urusan orang lain ya. Turutin aja perintah Juragan Nyonya dan patuhi larangannya. Nah, ini kamar Aden. Udah saya rapihin. Bersih semuanya. Wangi juga, kan?"

Bik Enah membuka jendela kaca lebar yang menghadap taman belakang. Aku ikut mendekat ke jendela, melihat pemandangan di luar. Aku agak tersentak tak menyangka ternyata di halaman belakang ada kolam renang. Letaknya agak ke bawah, turun sekitar lima undak-undakan. Tapi kolam itu terlihat kotor. Airnya keruh, permukaannya dipenuhi rontokan daun-daun kering.

Aku tak habis pikir, pekarangan rumah ini ditata apik, dengan taman yang tampak indah penuh bunga, tapi kolam itu dibiarkan kotor? Sungguh mengganggu pemandangan.

Dan enam orang yang sedang ada di sana, mereka sedang apa? Mereka diam saja tidak bergerak sama sekali. Posisi mereka ada yang seolah ingin melompat ke air, ada yang berjinjit dan tertawa, ada yang duduk dan mengangkat tangan memegang bola besar warna-warni, ada yang hanya berdiri dan tersenyum memandangi kolam. Tampaknya mereka semua perempuan, dengan rambut sepunggung bergelombang.

Aku menatap mereka beberapa menit lagi dan orang-orang itu tetap tidak bergerak. Mataku menyipit, lalu sontak membelalak. Aku baru sadar, enam sosok menyerupai manusia yang kulihat di sekitar kolam itu bukan manusia!

"Bik, kolam itu ... dan patung-patung itu ...."

"Bibik udah mengira, Aden pasti bakal nanyain kolam dan patung-patung itu," potong Bik Enah.

Aku mulai merasa terganggu dengan kebiasaan Bik Enah yang sering memotong ucapanku.

"Ya, aku mau tanya. Kenapa kolam itu dibiarin kotor? Kenapa nggak dibersihin sama Pak Engkus? Padahal taman yang ditata Pak Engkus bagus banget. Dan untuk apa patung-patung seperti manusia dipasang di sekeliling kolam?" tanyaku.

Kali ini aku langsung menyelesaikan kalimatku sebelum dipotong Bik Enah.

"Jawabannya panjang, Den. Mendingan Aden makan dulu. Atau mau rebahan dulu? Pasti capek tadi perjalanan dari Jakarta ke sini kena macet," sahut Bik Enah tidak menjawab pertanyaanku.

Aku sadar, memang aku terlalu cepat bertanya. Pastinya akan ada banyak hal yang harus aku pelajari di tempat ini. Sebaiknya aku tanyakan satu per satu dan sedikit demi sedikit.

Aku mengangguk. "Aku mau ganti baju dulu, Bik. Ganti yang lebih santai buat di rumah. Setelah itu aku mau makan. Udah laper juga. Bik Enah nanti nemenin aku makan, kan?"

"Iya, nanti Bibik temenin. Tapi mulai nanti malam dan besok-besok, Aden harus makan bareng Juragan Nyonya. Harus ngikutin jadwal Juragan Nyonya makan. Sarapan tepat jam enam lewat lima belas menit, karena setelah itu Aden harus siap-siap berangkat sekolah. Makan siang boleh nggak bareng karena Aden baru bisa makan siang setelah pulang sekolah. Aden nanti bawa bekal makan siang aja, nanti Bibik siapin. Nah, makan malam harus bareng sama Juragan Nyonya, tepat jam tujuh malam." Bik Enah menjelaskan panjang lebar.

"Baik, Bik."

"Ganti bajunya jangan lama-lama ya, Den. Saya tunggu di luar kamar, karena saya harus nganter Aden ke ruang makan. Aden belum tau kan ruang makan di mana?"

Mata MagmaWhere stories live. Discover now