Twenty One

689 182 31
                                    

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Tidak ada yang bisa Lia lakukan saat ini selain menangis. Semalaman ia tidak tidur. Jangankan untuk terlelap, untuk memejamkan mata saja Lia tidak bisa. Rasanya terlalu menyakitkan, menyesakkan. Mendadak udara di sekitar seperti berkurang hingga membuat pernapasannya tersendat. Tenggorokannya terasa kering tapi ia enggan untuk meminum walaupun hanya seteguk. Terlalu sulit untuk bergerak seolah tenaganya tidak ada.

Lia mencoba untuk menghentikan tangisnya. Lia ingin tenang dan memikirkan dengan matang pilihan mana yang akan ia pilih nantinya. Rasanya, waktu yang diberikan sangat singkat tapi Jaemin bilang itu cukup.

Pagi ini, Lia termenung di halaman belakang dengan tatapan kosong. Satu tangannya berada di atas perut, merasakan sosok kecil yang belum membesar itu. Kantung mata terlihat jelas, menandakan kalau Lia memang kurang tidur. Sebotol air putih menemani duduk tenangnya sebab ia tidak bertenaga untuk berjalan keluar makan, juga nafsu makannya yang mendadak menghilang.

Saat pikirannya memikirkan opsi pertama, ia merinding. Memikirkan bagaimana bayi yang tidak bersalah itu akan dibunuh dengan sengaja padahal tidak punya salah apa-apa. Juga alasan yang paling logis adalah, tidak ada orang tua yang tega membunuh anaknya sendiri kecuali orang itu memiliki kelainan mental. Mungkin Jaemin termasuk orang yang memiliki kelainan mental sebab meminta Lia untuk menggugurkan kandungannya. Lalu, saat pikirannya memikirkan opsi kedua, ia juga memejamkan mata sembari menghela napas berat. Memikirkan bagaimana ia akan hidup ke depannya dengan anaknya. Tanpa diakui oleh Jaemin. Juga, Lia yang tidak tahu harus ke mana.

Rumah lama, rumah ayah. Opsi tambahan untuk pilihan kedua itu kini sedang ia pikirkan. Tapi bayang-bayang akan siksaan yang pernah ia dapat membuatnya bergidik. Tidak, Lia tidak mau kembali menjadi target kemarahan saudara-saudaranya. Bisa-bisa, ia dan bayinya tidak akan selamat. Siksaan yang dulunya ia dapatkan sangat berat hingga membuatnya trauma dan tak mau lagi menginjakkan kaki di rumah ayah.

Lia juga sedang memikirkan opsi pertama dengan tambahan, ia juga ikut pergi bersama anaknya. Pergi menemui Tuhan. Tapi sejenak, Lia teringat satu kalimat yaitu Tuhan tidak suka orang yang bunuh diri. Mungkin ini ujian dari Tuhan untuk melihat seberapa kuat dirinya. Tapi sungguh, semuanya makin terasa berat.

“Ya Tuhan, kenapa semuanya semakin menyiksa saja? Jika aku pernah berbuat salah yang tidak aku sadari, tolong maafkan aku. Sungguh, aku tidak kuat lagi.”

Lia menyandarkan punggungnya di sofa dan meraih ponselnya yang ada di dalam saku cardigan kemudian mencari kontak ayahnya lalu menyentuh panggil.

Mungkin Tuan Choi rindu, itu sebabnya tak sampai menunggu bermenit-menit, panggilan dari Lia sudah dijawab.

“Halo, nak. Ada apa?”

Satu kalimat pembuka dari Tuan Choi membuat linangan air mata Lia kembali berurai. Memang, jika sudah bicara dengan orang tua biasanya air mata akan menetes dengan sendirinya apalagi ketika kita punya begitu banyak masalah.

“Aku merindukan, Ayah. Itu sebabnya aku menelepon. Tapi, apa aku tidak mengganggu karena menelepon pada jam kantor?”

“Sama sekali tidak, nak. Ayah juga sedang menyesap kopi dan mereview beberapa berkas.”

“Ayah, bagaimana keadaan rumah?”

Di lain tempat, Tuan Choi seketika termenung saat mendengar pertanyaan Lia tentang rumah. Pertanyaan sederhana tapi begitu banyak makna dan Tuan Choi paham akan hal itu.

“Baik, nak.”

Hanya kalimat itu yang mampu terucap oleh Tuan Kim. Ia masih tetap menjadikan ketiga anaknya hadiah pada mereka yang berinvestasi besar. Bahkan kini makin jaya karena perusahaannya sangat maju dan berkembang. Itu artinya, memang banyak orang yang berinvestasi pada perusahaannya.

SAVE ME [JAELIA✔️]Where stories live. Discover now