Bagian 32

1.3K 72 9
                                    

"Mama dejavu."

Hani menoleh pada Mama yang duduk di tepian ranjangnya. Menemukan sorot sendu nan teduh khas seorang ibu melihat Hani yang tengah memasukkan baju dan keperluan lainnya kedalam koper.

Mengerti maksud Mamanya, Hani meraih punggung tangan sang Mama, mengusapnya pelah berharap dengan itu Mama bisa lebih tenang. "Hani bukan mau pergi 2 tahun kaya dulu, Ma. Cuma mau ikut tour bareng yang lain. Itu juga bolak balik kok."

"Tetep aja anak Mama pergi kan. Mama khawatir."

Hani mengerti, sebagai anak tunggal perempuan pula, Hani paham bagaimana khawatirnya orang tua Hani. Mereka hanya ingin anaknya baik baik saja, misalpun harus jauh mereka ingin tetap bisa mengetahui keadaannya juga.

Hani tersenyum lebar, meyakinkan Mama bahwa semua akan baik baik saja. "Aman Ma, ada Ian."

"Gua kenapa?" Celetuk Christian Yu yang tiba tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar Hani. Membuat sang tuan rumah menatap kaget sekaligus jengah. Belakangan orang itu sering sekali menyerobot masuk kerumahnya tanpa permisi. Benar benar seperti rumah sendiri.

"Tamu macem apa begini modelannya?" Gerutu Hani menatap Ian yang sedang mendekat ke arahnya dan Mama berada lalu berakhir menyandarkan bokongnya di meja rias Hani, bersedekap lengkap dengan cengiran konyolnya.

"Modelan gua lah, ya kan Ma?"

Mama menatap Ian dengan alis berkerut tapi kemudian memilih kubu dengan mengiyakan pertanyaan Ian barusan. Hani mendengus keras. Ini yang anaknya Mama siapa sebenarnya?

"Berangkat jam berapa?"

"Jam 7, Ma." Ian melihat Mama bangkit lalu buru buru menambahkan, "Mama ngga usah sibuk di dapur, nanti makan di pesawat aja. Mama balik tidur aja mending."

"Yang mau sibuk siapa? Orang Mama mau kasih waktu buat pacaran."

"Mama!" Hani protes keras sementara Mama tertawa puas berjalan keluar dari kamar. Membiarkan pintu kamar terbuka di belakangnya juga Ian yang memberikan ibu jarinya tanda sangat setuju dengan perkataan Mama.

"Ngga ada yang ketinggalan?" Tanya Ian segera setelah Mama menghilangkan di balik dinding. Dia ikut duduk di samping Hani sekarang, bersandar pada pinggiran ranjang.

Hani memastikan resleting kopernya terpasang dengan benar, bergumam untuk pertanyaan Ian barusan lalu menyandarkan punggungnya seperti yang Ian lakukan. Bedanya Hani menggunakan pundak Ian sebagai penyangga kepalanya saat ini.

Ian mengulurkan tangan, mengusap rambut Hani dengan lembut lalu turun ke pipinya. Menyalurkan sedikit kehangatan di dinginnya udara jam 5 pagi ini.

Mereka berdiam sejenak, sampai Ian merogoh sesuatu dari celananya. Menarik tangan Hani, memilih jari manisnya lalu memasangkan sebuah cincin di sana. Mereka memandangi cincin itu sejenak, mengamati detil kecil yang ada pada benda itu.

"Cocok," gumam Ian. Hani kembali bergumam sebagai jawaban, bergerak menggenggam tangan Ian. "Itu cincin keluarga, turun temurun dari nenek. Jangan sampai ilang."

"Lo ngajak gue nikah?" Tanya Hani enteng tanpa menoleh, justru menatap lurus pada entah apa di depannya.

"Engga, aku tau gimana kamu memandang pernikahan. Sedikit banyak aku setuju. Thats why i just need you around. Even if we don't have name of our relationship." Ian membawa punggung tangan Hani ke bibirnya, mengecupnya lembut, membiarkannya di sana beberapa waktu saat hidungnya mengenali wangi parfum kesukaan Hani. Yang kini jadi wewangian favoritnya juga.

"Kamu yakin?"

"Aku ngga bakal kasih sekarang kalau aku ngga yakin. Lagian, gua tau lo ngga bakal nolak cincinnya." Ian terkekeh karena ucapannya sendiri begitupun dengan Hani.

"Iya emang ngga nolak. Siapa juga yang bakal nolak cincin berlian gini?"

"Tapi gua mikirin sesuatu," Ian menjeda hingga Hani menoleh padanya. "Orang tua kamu gimana? Maksud gua, Mami ngga bakal repot nyuruh anaknya nikah. Yang penting anaknya bertanggung jawab sama pilihan apapun yang di ambil. Mama sama Papa gimana ke kamu?"

"Hmm.. aku pikir sama aja. Iya sih, mereka mau aku nikah kaya orang orang, kaya anaknya Tante Luna misalnya. Tapi setelah ngelihat gimana aku ke kamu, gimana kita berdua selama ini, mereka serahin semuanya ke aku. Mungkin juga inget gimana dulu mereka sempet salah ambil langkah. Mereka lebih berpikiran terbuka sekarang."

Ian menarik tangannya agar bisa meraih kepala Hani lalu menunduk untuk mencium dahi Hani sejenak. "Then we're clear now."

Hani mengangguk di sana lalu melepaskan diri untuk berdiri dan mengambil tas kecilnya di atas ranjang. Dia mengulurkan tangan pada Ian, membantunya berdiri. "We're clear now," sambungnya dengan senyum lebar.

"Ya udah ayo berangkat, anak anak udah nungguin." Ian meraih koper Hani dan menariknya bersamanya di ikuti Hani di belakangnya. Tapi tepat sebelum keluar Ian berbalik, pria itu menatap Hani sejenak lalu mendecih kesal. Membuat Hani menatapnya bingung. Kenapa tiba tiba kesal?

Semakin bingung lagi saat Ian melepaskan kopernya dan justru berjalan menghampirinya. Hani pikir ada sesuatu yang tertinggal jadi Hani menoleh ke tempat mereka duduk tadi, hendak bertanya apakah ada yang ketinggalan tapi telapak tangan lebar Ian keburu meraih pipinya. Memaksa Hani menatap sang pemilik tangan yang lebih tinggi darinya itu. Yang tentu saja seperti yang sudah di tebak, Ian langsung menempelkan bibirnya di atas bibir Hani. Pria itu mengecupnya lembut beberapa kali sebelum berubah menjadi pagutan dan lumatan membuai khas Christian Yu.

Hani harus berpegangan dan baju di depan dada bidang Ian adalah salah satunya. Hani meremasnya sedang bibirnya berusaha mengimbangi Ian. Sementara tangan Ian sudah berpindah ke leher Hani, menahan tengkuknya agar tidak menjauh sebelum dia selesai.

Ciuman itu semakin lama semakin intens dan menuntut. Hani tau akan bagaimana akhirnya nanti jika tidak segera di akhiri. Apalagi tangan Ian kini mulai meremas pinggangnya. Maka dengan pelan Hani mendorong dada Ian, memberikan isyarat bahwa mereka harus mengakhiri apapun yang tengah terjadi saat ini.

Memahami itu, Ian segara menjauhkan diri. Hanya bibirnya, karena kini dahi mereka tengah menempel. Tersenyum kecil satu sama lain dengan paru paru yang rakus mengambil haknya.

"Tour, remember?" Ejek Hani di sela nafasnya.

"Sorry, i can't help it." Ian menjawab dengan cengirannya. Dia meraih bibir Hani, membersihkan bukti pergulatan mereka barusan lalu kembali berbisik di hadapan Hani. "Jangan jauh jauh, aku bisa gila."

Hani hanya tertawa kecil, segera meloloskan diri dari Ian untuk melangkah keluar bersama koper di tangannya. Menyisakan Ian yang nyatanya masih menunggu jawaban atas permintaannya barusan.

"Han.." suara Ian terdengar menyusul langkah Hani. "Ngga mau jawab?"

"Iyaa.." sambung Hani di antara tawanya.

TAMAT.

____________________________________________________________________________

Hore ngga nih? Hahaha
Akhirnya tamat juga. Aku lega, aku pikir ngga bakalan tamat nih judul. Udah hampir aku unpub tadinya ini judul. Tapi kayanya aku dapet ilham jadi bisa sampai tamat.
Anyway, semoga kalian terhibur sama hanian. Ini aku ngga tau bakal bisa publish judul baru kapan.
Udah ada rangkanya sih, ayang Jo yang jadi cast nya. Cuma ngga tau deh gimana.
Ya pokoknya terimakasih banyak udah baca Comfy sampai selesai. Sampai ketemu lagi lain kali. 👋

ComfyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang