Bagian 9

1.1K 123 21
                                    

Pukul 10 pagi lebih sedikit, Hani sampai di depan salah satu pintu di lantai tiga dari gedung apartemen berlantai lima. Bukan apartemen mewah, hanya apartemen studio yang nyaman untuk Hani tinggal selama kuliah nanti. Lokasinya juga sangat dekat dengan lingkungan kampusnya. Hanya butuh 10 sampai 15 menit untuk sampai ke sana. Hani bahkan bisa melihat bagian atas gedung kampusnya dari depan pintunya. Karena arsitektur bangunan ini yang membangun tangga di luar gedung, tepatnya menempel di samping gedung.

Hani merogoh saku untuk mengambil kunci rumahnya. Setelah pintu terbuka, Hani masuk. Langsung berhadapan dengan sebuah dapur kecil yang rapi dan bersih karena memang di tinggal dari kemarin. Setelah melepas sepatu, Hani berjalan masuk. Menjatuhkan ransel yang di bawanya di depan televisi yang menempel di dinding.

Melipat dan menyisihkan meja kecil yang ada si sana, menghela nafas lelah sambil badannya berbaring di karpet. Ingin tidur tapi ranselnya menungggu untuk di rapikan. Dengan malas Hani membuka ranselnya, mengeluarkan barang bawaannya. Memisahkan baju kotor dan memasukkan semuanya ke dalam keranjang. Mengembalikan alat mandi dan sikat giginya ke kamar mandi, juga beberapa printilan lainnya ke tempatnya semula. Barulah setelahnya, Hani merebahkan diri di atas kasurnya yang nyaman.

Ada di sebelah, hanya terpisah oleh lemari pakaian juga tempat Hani menyimpan beberapa kamera yang dia punya.

"Ahhh, mama.." gumamnya, ingat bahwa dia belum mengabari mamanya kalau dia sudah pulang dengan selamat. Dia meraih ponselnya, lalu menekan speed dial nomor 2.

"Gimana, dek?" Sapa mamanya begitu panggilan terjawab di dering ke 3. Terdengar suara orang bercakap-cakap di belakang mamanya. Hani yakin, mamanya sedang ada di salon. Salonnya sendiri, yang di buka sejak setahun lalu.

"Hani udah pulang. Makrabnya, orientasinya juga udah selesai. Tinggal nunggu jadwal nanti di kirim lewat email. Mama di salon ya?" Hani berguling, yang tadinya tengkurap jadi terlentang seperti bintang laut.

"Iya, lagi rame. Ada katanya artis gitu dateng minta spa rambut. Eh, apartemennya gimana? Mama kok nggak gitu suka dek liatnya. Kecil gitu, nggak pengap kamu? Kalau mau nyewa yang agak gedean bisa loh. Yang kamar tidurnya ada pintunya."

Hani malah tertawa kecil menanggapi ocehan mamanya. Memang dari awal mamanya kurang suka dengan tempat Hani tinggal sekarang. Ya itu alasannya, kurang besar, tidak ada kamarnya. Tapi Hani lebih memilih apartemen ini karena alasan efisiensi, saat membersihkan dan juga jaraknya sangat dekat dengan kampus. Lagipula, dokternya menyarankan untuk menyempatkan diri berjalan kaki sebentar setiap hari. Itu semakin memantapkan Hani untuk memilih tempat ini.

"Mama dari kemarin itu terus ih yang di bahas." Ucap Hani setelah puas tertawa. "Hani nggak papa kok. Nanti kalau kenapa napa beneran deh, Hani langsung pindah. Bukannya doa bakal kenapa-kenapa juga sih.."

"Hmm.. bahan makanan masih ada? Mau mama kirimin?"

"Yailah ma, baru juga pindah kemarin."

"Kemarin, kemarin! Orang udah mau 2 minggu juga."  Mamanya terdengar bicara dengan seseorang beberapa saat, lalu kembali lagi pada Hani. "Dek, udahan dulu ya. Mama ada yang harus di urus. Nanti kalau perlu apa apa bilang mama loh ya! Dah ya, mama tutup."

"Iya, nanti aku kabarin lagi, ma." Dan sambungan tertutup dari arah mama. Hani, melempar ponsel ke sebelah lalu mulai memejamkan mata.

Hari berganti, Hani datang ke kampus. Jadwalnya sudah dia terima kemarin sore dan kebetulan sekali hari ini dia ada kelas pagi. Dengan flatshoes kesayangannya dia berjalan memasuki area fakultas. Tersenyum setiap ada yang menyapa atau membalasnya dengan sapaan kira kira setiap tujuh atau sepuluh langkah sekali. Bahkan yang jaraknya lumayan jauh dari Hani pun tak ketinggalan menyempatkan diri menoleh padanya. Hingga Hani penasaran, apakah kaos kerah V warna hijau dan denim hitam yang semuanya pas di badannya terlihat jelek? Atau ada sesuatu di rambutnya yang tergerai lembut?

ComfyWhere stories live. Discover now