An Awful Day

12 4 0
                                    

Jam Istirahat (09:00)

Alunan Fur Elise adalah favorit semua murid SMA Kubang. Instrument klasik karya Ludwig Van Beethoven itu adalah bel penanda jam istirahat telah tiba. Tempat-tempat diluar kelas segera terisi oleh kerumunan siswa. Sebagian banyak siswa menuju kantin, sebagian lagi kamar mandi, koperasi, perpustakaan, uks, dan masjid.

Aku sendiri sedang berjalan lurus ke arah timur, sejauh 10 langkah aku harus belok ke kanan dan berjalan lurus ke arah selatan melewati deretan kelas 11 dan kelas 10, tidak ada jalan lain lagi karena kelas 12 memang berada paling jauh dari fasilitas sekolah yang sedang ku tuju yaitu perpustakaan dan masjid, setelah berjalan cukup jauh aku harus berbelok kiri sebentar dan gedung perpustakaan yang berlantai dua ada di sebelah kananku.

Divya tidak bersamaku kali ini, dia bilang belum sempat sarapan dan akan menghabiskan jam istirahat pertamanya untuk menghabiskan bekal makannya di kelas. Aku segera berbelok kanan dan memasuki perpustakaan setelah melepas sepatuku dan meletakannya di rak sepatu dekat pintu masuk.

"Pagi Mas Toro."

"Pagi pengunjung perpustakaan favorit Kusuma Bangsa. Eh tumbenan nih kesini dulu, bukannya biasanya ke Masjid dulu Mbak Bell?"

Mas Toro adalah pustakawan yang sangat ramah. Usianya baru memasuki angka 30 dan yaps tentu saja dia mengenalku dengan baik. Maksudku aku adalah pengunjung setia perpustakaan. Hampir semua buku disini sudah kubaca dan lagipun aku tidak pernah membatasi jenis bacaan dan ya, dia benar biasanya aku baru mampir ke perpustakaan setelah dari masjid.

"iya nih mas, ada amanah dari Sam, dia minta maaf terpaksa terlambat kesini soalnya ada emergency"

"Oh okee it's fine, paling nanti upah dia bakal mas potong 75%"

Mas Toro berkata sambil tersenyum jahil dan mengedipkan sebelah matanya. Dia memang humoris dan kata banyak siswi Mas Toro juga sangat tampan, makanya jangan heran kalau dia menjadi salah satu alasan perpustakaan ini menjadi cukup ramai. Seperti Divya misalnya, dia juga sering ke perpustakaan hanya untuk melihat Mas Toro yang sedang serius bekerja menambahkan barkot pada buku-buku baru, Divya bilang Mas Toro adalah definisi semakin tua semakin mempesona. Ck ck ck ada ada saja memang temanku satu itu.

"Astaghfirulloh Mas Toro, dikata penindasan kaum proletar oleh kaum borjuis kalik ah."

"Loh jangan salah Mbak Bell, time is money. Eh iya Mas ada kabar baik nih buat kamu, kamu kemarin nanyain buku Jane Austen kan? Nih udah mas keep buat kamu."

Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku saat ini, mungkin mataku sudah dipenuhi kerlipan bintang demi menyaksikan novel klasik yang sedang dipegang Mas Toro. Buku yang cukup tebal dengan kertas yang sudah sedikit kusam. Buku itu berjudul Sense and Sensibility. Buku yang sudah lama kuincar. Aku senang dengan gaya penulisan Jane Austen setelah aku membaca karyanya yang sangat fenomenal berjudul "Pride and Prejudice"

"Wah makasih banyak mas. Langsung saya pinjam ya mas, ini kartu perpustakaannya."

Setelah proses peminjaman buku selesai, aku langsung menuju masjid yang hanya melwati satu bangunan berukuran sedang di dekat perpustakaan yaitu uks.

Perpustakaan, uks, dan masjid berada satu deret di kanan jalan. Kali ini aku hanya menunaikan sholat sunnah duha 2 raka'at, biasanya 4 namun aku takut terlambat mengingat tadi aku berbincang cukup lama dengan Mas Toro dan juga urusan ke kamar mandi sebelum menunaikan ibadah sunnah sholat duha. Masjid juga cukup ramai, dan selalu ramai.

Pengunjung masjid kebanyakan anak-anak kelas 12. Tidak perlu di ragukan lagi, do'a-do'a yang dipanjatkan pasti tidak jauh-jauh dari meminta kelancaran ujian dan di loloskan masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes. Maksudku aku juga begitu.

Like A Black Rose That Only Grows In Two SeasonsWhere stories live. Discover now