Asa diam menatap netra Brian yang tidak ada hentinya memberi tatapan hangat pada dirinya. Walaupun raut sendu itu tidak bisa disembunyikan oleh laki-laki tersebut.

Jika dibuat simpel, Asavella dan Brian tengah sama-sama berpikir keras sampai kesempatan untuk berdialog di antara keduanya tidak ada—justru kesunyian dan suara semeliwiran angin kencang nan sejuk itu berlalu melewati mereka.

“Harus kemana lagi jika satu persatu kebahagiaan gue hilang. Harus cari kemana? Apa gue kena kutukan buat enggak bahagia? Terus kenapa gue harus terlahir ke dunia kalau enggak ada tujuan yang jelas?” Lihat betapa putus asanya gadis satu ini ketika mencoba memecahkan keheningan di sekelilingnya.

“Bi, kalau gue udahan boleh?"

"Gue difase enggak kuat, Bi. Gue gatau, kedepannya masalah dan kebenaran apa yang gue dapetin. Izinin gue udahan, ya. Karena kalo izin di lo aja gue udah tenang.”

Brian menggeleng cepat dengan alis bertaut keras diujung.

“Semua ini belum berakhir, Langit. Sekalipun kamu udahan, aku juga bakalan udahan. Aku gagal jaga, Langit. Aku udah gagal sama segala hal, tapi kali ini, jangan buat aku gagal buat kamu masih di sini bersama aku.”

Air mata Asa yang terbenam di kantong matanya tumpah. “Gue capek, Bian. Gue mau udahin kisah gue. Kalopun gue lanjut, gue juga bakalan sia-sia.”

"Sebentar aja...." lirih Asavella sembari memandang langit biru. "Sebentar aja ...."

"Gue pengen hidup yang bener-bener hidup tanpa adanya tekanan."

"Capek gue tiap hari memeluk ketidakpastian dihidup gue." Asavella langsung menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Menangis terisak. Tanpa melibatkan air mata.

Bian menggeleng. “Ini bukan Asavella. Asavella yang selalu optimis kemana? Asavella yang selalu percaya dia bertahan untuk sebuah kebahagiaan mana?”

“Bian …, seberapa lama gue bertahan dengan kata-kata penyemangat diri kalau nyatanya gue bertahan gue makin capek! Gue udah rapuh! Gue capek! Capek batin gue ....!" rintih Asavella seraya penuh emosional dengan jemari telunjuk bolak-balik menunjuk dadanya pada tiap kata.

"Gue pengen udahan, boleh nggak sih? Kek ... potong umur gitu.”

“Potong umur bukan solusi mengakhiri derita dan luka. Di alam sana, kamu enggak akan bahagia, justru semakin terluka sama roh-roh yang auranya negatif. Gelap di sana, Sa,” bantah Brian yang sekali lagi memperingati Asavella.

“TAPI DENGAN ADANYA GUE DI SINI CUMA MEMPERBURUK LUKA YANG ENGGAK AKAN PERNAH KERING!”

“GUE NAPAS AJA UDAH SALAH! HAHA PUNCAK KOMEDI SESUNGGUHYA!"

“LO MANA NGERTI POSISI GUE!! MANA NGERTI! LO ENAK BISA NGOMONG TAPI GUE YANG JALANI CAPEK BATIN!”

Intonasi tinggi adalah puncak emosional Asavella yang tidak ia bisa kendalikan karena semakin ia bertahan untuk melanjutkan sebuah kisah untuk lembar ke lembar semakin menyakitinya.

Asa beranjak berdiri melangkah cepat pergi sembari membawa tas totebagnya. Tapi dengan sigap Brian meraih.

“Lepasin. Gue mau pulang.”

“Pulang kemana yang lo maksud?Pikiran lo lagi amburadul, dan jelas pulang yang lo maksud ke pemakaman raga lo,” sarkas Brian yang hanya ditimpali senyuman kecut dari Asavella.

“Gue mau sendiri, tinggalin gue.”

“Cuma manusia goblok yang ninggalin cewek sendirian di keadaan seperti ini.”

Asavella tersenyum kecut. Menggeleng samar dan kemudian menatap manik sabit dari mata Brian. “Sadar nggak? Lo bicarain diri lo sendiri baru aja.”

“Lo inget?”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now