15 : bunga yang layu

Start from the beginning
                                    

"Mau papa~" Jika sakit seperti ini Jaemin akan terus rewel.

Cukup, Renjun tidak ingin menangis lagi. Anak Nakamoto itu terlalu keras kepala, susah di kasih tahu. Hati Renjun terenyuh mendengar kata Papa yang di sebut Jaemin. Ia pun sama, di saat seperti ini dirinya butuh Papa, tapi mereka tidak bisa memaksakan takdir.

"Papa bakalan ngambek sama Nana, kalo bandel di bilangin. Papa bakal sedih kalo Nana sakit kayak gini. Kamu mau papa sedih?"

Jaemin menggeleng, dengan mata terpejam air matanya mengalir dari sudut mata. "engga mau" ucapnya dengan nada parau.

"Yaudah makanya makan dulu, yuk. Biar cepet sembuhnya."

Jaemin membuka matanya perlahan, cahaya masuk ke dalam netranya. Kening Jaemin mengkerut, seraya mencoba terbiasa.

Renjun mengambil handuk yang ada di dahi Jaemin. Lalu, mengangkat sedikit tubuh Jaemin untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Renjun melihat mata Jaemin tak jauh beda dengannya yang sembab. "Makan dulu, ya."

"Adek mana?" Suara parau nya membuat Renjun yang tengah memegang sendok; mengambil bubur pun terhenti. Pertanyaan itu membuat dirinya mengingat kejadian semalam yang begitu memilukan hati.

Tapi, tetap saja Renjun tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Jaemin. Atau Jaemin akan kembali memburuk. "Buka mulutnya" mencoba mengabaikan pertanyaan Jaemin.

Jaemin membuka mulutnya, satu suapan pertama berhasil lolos. Namun suapan kedua..

"Adek mana?" Jaemin seakan lupa kejadian semalam yang begitu membuat kondisinya semakin buruk hingga pagi ini.

"Lagi istirahat. Udah ayok makan lagi."

"Mau liat adek."

Renjun jengah dengan tingkah laku Jaemin. "Nana," suaranya bergetar, Renjun menatap Jaemin, menahan diri untuk tidak menangis.

Jaemin menatap balik mata sembab milik Renjun. "Mau liat adek!"

"Iya, nanti! Adek jangan di ganggu dulu, biarin dia istirahat. Kita bakal liat adek bareng, sebelum itu Lo harus sembuh dulu. Lo mau adek ngeliat keadaan kakaknya buruk kayak gini? Lo mau buat adek sedih?"

Jaemin menggeleng dengan lelehan air matanya, saat otaknya telah kembali mengingat kejadian semalam.

"Yaudah, makanya makan dulu, ya. Satu suapan terakhir, kalo udah ga sanggup makan. Habis itu minum obat."

Satu suapan terakhir, terasa sangat hambar di lidah Jaemin. Padahal bubur itu Renjun membuatnya sangat asin; ketidaksengajaan nya menumpahkan banyak bubuk penyedap ke dalamnya.

Renjun memberikan segelas air pada Jaemin, yang hanya di teguk setengah dari gelasnya. Lalu, berlanjut memberikan obat.

"Obatnya hancurin."

Oh iya, Renjun melupakan cara Jaemin meminum obatnya. Dengan menghancurkan pil obat itu lalu di beri sedikit air. Ia pun menghancurkan pil obat itu mengunakan sendok bekas bubur tadi.

Di berikan nya satu sendok berisi obat yang sudah hancur itu pada Jaemin. Kening Jaemin mengkerut saat merasakan pahit yang menjalar ke lidahnya.

"Pahit"

"Iya, bentar lagi ilang kok. Gue mau beresin ini dulu, ya. Lo jangan baring dulu, abis makan soalnya."

Jaemin mengangguk. Dengan begitu Renjun pamit dengan membawa mangkok bubur. Dua menit berlalu, Renjun kembali lagi ke kamar Jaemin. Menyuruh saudaranya untuk kembali baring.

Jaemin memejamkan matanya saat di rasa, Renjun kembali mengompres. Handuk lembab dan hangat itu menyentuh dahinya.

Dengan suaranya yang merdu, Renjun menyanyikan lagu yang membuat Jaemin tenang dan tertidur dengan pulas.

Malaikat Ayah [REVISI]Where stories live. Discover now