Pertanyaan Jebakan yang Tak Perlu Jawaban

Comincia dall'inizio
                                    

"Kedengeran kayak anceman ya, Pa?" sindirku sewot.

Respons mereka malah tertawa.

"Kavka juga dong, Pa, Ma, bolehin tin—"

"Boleh, tapi di pesantren," jawab Mama yang membuat adik semata wayangku itu seketika bungkam.

Merasa kasihan, aku mengelus kepalanya dan berbisik. "Sabar ya, Adik manis. Tunggu dewasa dulu."

Ia mengibaskan tanganku. "Aku awasi kamu, Kak. Kalau sampe bawa cowok ke apartemen, aku laporin Papa-Mama."

Ancamannya tidak berpengaruh apa pun untukku.

Aku tidak akan membuat suasana indah ini dengan rasa takut atau kesal pada Davka. Dia hanya sedang mengujiku, jadi aku tidak ingin terjebak.

Apalagi, Mama yang sedang dalam mode maha baik, menginterupsi, "Kamu kan nggak mau tuh apartemen yang udah tinggal nempatin. Maunya nyusun dan dekor sendiri, Mama boleh nggak sih ikutan milih-milih barangnya? Belanja bareng, yuk, Kak?"

Aku tertawa kecil sambil menepuk jidat.

Bagaimana caranya menolak permintaan yang semanis ini? Ekspresinya pun sangat mendukung.

Too cute to handle.


***


"Sooo, sekarang udah sejauh mana sama Pak Bara?" Mbak Andin memepetkan tubuhnya padaku dan berbisik di saat Mama sedang melihat-lihat sofa dengan antusias.

Aku tak mampu menahan senyuman kegembiraan. "Yang pasti belum sejauh yang kamu maksud," jawabku sadar diri. "Kami baru chattingan, telepon sesekali, dan belum jalan lagi setelah beli sei sapi itu."

"Huft!" Wajahnya malah murung. "Cowok kalau lagi PDKT emang kadang ngeselin. Tapi bener, kaaaan? Kamu tuh nggak mungkin nggak dinotis sama dia. Yozita gitu, lho."

"Tapi kadang aku mikir, dia notis aku ya karena aku anaknya Arya Akbar. Kalau aku bukan anak dari yang punya kampus tempat dia ngajar, dia bakalan liat aku sebagai perempuan seutuhnya nggak ya?"

"Kak, please, deh!" Mbak Andin menyikut perutku. "Kamu tuh kembang mekar dan wangi. Nggak ada ceritanya orang nggak sadar kehadiranmu."

Dia .... Paling bisa membantu semangatku untuk—

"Oh!" seruku mengingat sesuatu. "Dia udah berani kirim makanan ke rumah."

"Oya? Minta alamat ke kamu?"

Aku menggeleng. "Nggak susah mungkin buatnya tau rumah Papa."

"Terus, dia tau sekarang Kakak mau tinggal sendiri?"

"Perlu nggak sih dia tau? Kan bukan siapa-siapa."

"Iya sih." Mbak Andin mengangguk-angguk. "Tapi itu gampang, nanti tinggal bikin video kecil-kecilan kamu lagi doing dishes, masak atau apa gitu yang mancing dia komen." Seketika dia nyengir karena aku memberinya pelototan.

Dia jelas tahu aku tidak mungkin melakukan itu.

Selama aku mengenal WhatsApp, aku belum pernah memanfaatkan fitur story sama sekali.

Di Instagram, iya, itu pun hanya hasil karyaku atau hal-hal yang berbau dengan poetry dan lukisan. Keseharianku? Absolutely not! Siapa yang akan tertarik melihat aktivitas orang lain yang sedang makan, nonton Netflix, atau minum kopi?

Belanja di hari itu aku cukupkan.

Mama terlihat sangat senang, mengatakan kalimat-kalimat pengandaian bahwa inilah bayangan nanti ketika aku akhirnya memutuskan menikah dan tinggal di sebuah rumah impian.

cinta bukan karena privilegeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora