• ⓪⑧ ┊ 𝙲𝚞𝚕𝚕𝚒𝚗𝚊𝚛𝚢 𝙰𝚛𝚝 𝙲𝚕𝚞𝚋

2.1K 309 16
                                    

Secara spesifik Toro itu suka memasak, karena menurutnya memasak bisa menghilangkan stress. Karena itu jika Toro sedang stress maka ia akan memasak. "Tapi," Amu menimpali. "Tapi kan kamu masak hampir tiap hari." Upi melanjutkan perkataan Amu. "Mungkin karena stress tiap hari makanya masaknya juga tiap hari." Apa yang dikatakan [Name] sepenuhnya benar. Dan mereka-[Name], Amu, dan Upi-mampir hanya untuk makan.

"Iya. Bertemu dengan kalian membuatku stress setiap hari. Setiap bertemu kalian, sress-ku selalu bertambah 1 kilo." Toro mengaduk adonan dengan datar. "Kurangi 2 kilo untukku." [Name] berucap sambil meneruskan makannya. Upi tampak merasa bersalah. "Waduh maaf deh." Sementara itu Amu malah cengengesan.

"Bukan masalah, aku stress, tapi aku senang. Karena kalian juga." Ungkap Toro terus terang dengan gumaman di akhir kalimatnya. Toro menoleh sebentar. "Tolong jangan berisik ya." Peringatnya sebelum kekacauan terjadi karena kelakuan ketiga teman perempuannya. "Yes papa." Kata Upi sambil berpose hormat.

"Ah! Aku! Aku! Aku mau coba bantu!!!" Amu berseru dengan semangat membuat [Name] menghentikan acara makan nya sejenak. Toro menatap datar. "Gabole." Ucapnya singkat.

"Eeh?! Kenapa?!"

"Ingat terakhir kali kamu nyoba bantu masak? Setengah rumah Sho meledak karena ulahmu."

"Namanya juga belajar."

"Belajar apanya? Baru nyalain kompor udah bikin setengah rumah meledak, kamu coba kali ini mau apa? Ledakin sekolah?" Celetuk [Name] yang sudah menyelesaikan makan. Ia mengambil tisu dan mengelap mulutnya. Upi di sampingnya tanpa peduli tetap lanjutkan memakan kue buatan Toro.

"Y-ya, ya... itu kan–"

"Kalau memang mau belajar, besok bawa hasil masakanmu." Kata Toro memotong ucapan Amu. Dengan berat hati Amu mengiyakan dari pada tidak sama sekali.

"Ugh oke."

Dan alasan lain kenapa Toro suka memasak adalah teman-temannya. Hal kecil seperti melihat teman-temannya yang memakan masakan Toro sambil berkata "enak" seraya tersenyum, cukup membuat Toro merasa senang. Senang karena kerja keras kecilnya dihargai.

⊱༻❃༺⊰

Esokan harinya Amu benar-benar membawa masakannya yang dijanjikan kemarin. Dia dengan senang memamerkan kue coklat buatannya yang kelihatan enak tetapi tidak menjamin nyawa akan terselamat atau tidak. Ya, mungkin sebelum [Name] memasukkan sesuatu ke dalamnya. Bercanda.

"Jeng! Jeng! Jeeeeng!!!" pamernya pada teman-teman. "Bukan cuma Toro yang berhasil! Aku juga berhasil bikin cookies coklat lho~" Semuanya bertepuk tangan atas keberhasilan Amu membuat kue coklat dengan wajah yang berseri, kecuali Sho yang malah tepuk jari.

"Siapa yang mau coba?" Belum sempat membagikan, Sho, Kiki, Upi, dan [Name] sudah lebih dulu menjauh. Mereka tidak mau mati sia-sia diusia muda hanya karena makan cookies. Setidaknya mereka masih sayang nyawa.

"Kalian ini sebenernya lagi ngedukung aku atau nggak sih?!!! Sini coba masakanku sedikit!!!" Amu berteriak frustasi. Dengan jujur Sho menjawab. "Ogah, masakanmu gak enak." Upi ikut menimpali. "Kalau makan masakanmu nanti usus buntuku tambah parah."

"Jangan jadi perantaraku untuk ketemu tuhan lebih cepet dong." [Name] berkata datar. "Aku mau, tapi ijab qobul dulu." Ujar Kiki dengan memegang segel tutup botol sebagai pengganti cincin, dan setelan jas formal yang entah sejak kapan digunakannya. [Name] melihat itu mengambil segel tutup botol tersebut dan membuangnya. "He?"

"Ah coba dulu, yang sekarang nggak buruk-buruk amat kok!!!"

"Ututututu, gak percaya." Gemas Upi mem-pat pat kepala amu.

Toro yang ingin mencicipi cookies buatan Amu dengan segera Sho tahan sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. "Jangan dimakan, nanti masuk isekai."

"Hah? Yakin bisa? Kalau gitu aku mau coba-" sebelum tangan gadis itu menyentuh cookies Amu, Sho mencengkeram tangan [Name] tidak terlalu kuat tak ingin menyakiti gadis-nya. Lebih tepatnya gadis yang ia sukai.

Manik gelap Sho menatap manik (e/c) sang gadis dengan kosong, begitu juga sebaliknya. "Jangan. Aku masih mau liat kamu besok." Katanya dengan wajah serius. Melihat itu mau tak mau [Name] menolak kue Amu. "Uh, oke."

Seruan seseorang menarik perhatian [Name] dan yang lainnya. "Hora hora horaaa~" itu suara Mahesa. Tepat sebelum Mahesa melanjutkan kata-katanya Sho sudah lebih dulu menghilang sambil menyeret [Name] ikut bersamanya.

Kini mereka berada di belakang sekolah, lokasi yang strategis untuk para siswa bolos dengan memanjat tembok pembatas. Tapi kali ini Sho tidak membawa [Name] untuk bolos, ia ingin mendapat waktu berdua dengan gadis yang ia incar sejak SMP dulu. "Kamu mau bolos?" Dalam keadaan tangan yang masih digenggam Sho, [Name] menanyakannya.

"[Name]." Hanya perasaan [Name] atau memang nada yang digunakan Sho terdengar serius. Ah, memang sejak tadi sudah begini. "Apa?" Responnya terdengar datar, memang begitulah gadis tersebut. Mengeratkan genggamannya, Sho memantapkan dirinya untuk mengucapkan kalimat yang selama ini ingin ia tanyakan. Pasalnya Sho selama ini selalu memperhatikan [Name] demi mendapat jawaban atas pertanyaan dalam hatinya tanpa menanyakan langsung pada [Name].

Tapi karena [Name] yang jarang menampilkan ekspresi mempersulit lelaki bermanik gelap itu untuk mengetahui isi hati gadis surai (h/c) itu. Sehingga yang dilakukannya selama ini—

"Apa kamu masih, suka sama Kiki?"

—hanya memandang [Name] tanpa mengetahui perasaannya.

—hanya memandang [Name] tanpa mengetahui perasaannya

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.
𝗘𝗡𝗜𝗚𝗠𝗔  -【ᴡᴇᴇ!!! x ʀᴇᴀᴅᴇʀ】Où les histoires vivent. Découvrez maintenant