• ⓪⑥ ┊ 𝚃𝚊𝚜𝚔 𝙲𝚘𝚕𝚕𝚎𝚌𝚝𝚒𝚘𝚗

2.2K 344 1
                                    

Hari ini adalah jadwal pengumpulan tugas karangan bahasa Inggris. [Name] menatap lamat-lamat kertas yang penuh kata serta kalimat. Dia yakin tidak yakin akan apa yang sudah ditulisnya. Soal masa depan yang [Name] pikirkan telah tertuang dalam paragraf-paragraf di lembar jawabannya.

"[Name], tugasmu tolong dikumpulkan." Toro datang meminta untuk tugasnya dikumpulkan. Memperhatikan sejenak sebelum kertas tugasnya berpindah tangan, biarlah apa yang dipikir dan inginkan serta apa yang terjadi tidak sama. Toro menerimanya dan sejenak menatap isinya.

"Kamu... mau jadi model?" Tanya Toro. Dari wajahnya terlihat seperti ada sesuatu yang mengganjal. [Name] menggeleng dengan wajah datar, tidak satupun kata keluar dari mulutnya. Sejak tadi gadis berkacamata itu sibuk dengan pikirannya.

Entah apa yang dipikirkan [Name] tidak ada yang bisa menebaknya. Raut wajah yang selalu datar sehingga orang-orang tidak dapat tahu apa yang terjadi sebab ia jarang menunjukkan emosi dengan jelas. Barangkali hanya seutas senyum tipis dan tawa kecil yang jarang sekali terdengar.

"Kalau gitu, kenapa kau tulisnya bukan apa yang kamu mau?" Mendengarnya membuat [Name] terdiam. Meski sedari tadi ia diam, namun kali ini gadis itu tengah memikirkan kata-kata yang akan diucap nya.

"Itu, tanteku yang minta."

"Lalu kenapa nggak menjadi sesuatu yang kau inginkan?"

"Toro..." perhatian [Name] kini tertuju sepenuhnya pada Toro. Pemuda bersurai hijau itu kaku sejenak. Tidak biasa jika [Name] menatap mata lawan bicaranya dalam waktu lebih dari tiga detik dengan tatapan kosong, karena itu artinya—

"Kamu, tumben bahas hal kayak gini."

—dia sedang banyak pikiran atau dilanda sesuatu.

"Kenapa? Kamu lagi ada masalah?" Tanya [Name] lagi. Wajahnya begitu tenang dengan senyum yang sangat tipis- kalau tidak diperhatikan baik-baik mungkin tidak ada yang tahu.

Toro sempat tertegun, namun dengan segera menjawab. "Nggak, bukan apa-apa. Aku cuma berfikir kalau kita ada di situasi yang sama."

Nyatanya tidak. Toro dan [Name] itu beda. [Name] sama sekali tidak ada paksaan, melainkan itu hanya rencana abal-abal saja. Sedangkan impian aslinya dia belum yakin tapi sudah ada tekad dalam dirinya.

[Name] menaikkan alisnya tanpa sadar. Ia menyenderkan badannya ke bangku.

"Menurutmu begitu?"

⊱༻❃༺⊰

Jam pelajaran keempat dimulai. Sang gadis bermanik (e/c) melirik meja di sampingnya yang kosong. Dua meja tepatnya. Melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya, [Name] beranjak dari kursi meminta izin pak Eko untuk acara osis. Tentunya ia maju ke depan membicarakan dengan volume kecil agar tidak terdengar anak-anak lain, walau sekarang kondisi kelas jauh dari kata damai.

Setelah diberi izin [Name] keluar kelas dengan sepasang mata yang menatapnya intens sampai punggung gadis itu menghilang di balik pintu. Tujuannya saat ini adalah warung bakso si teteh. Tentunya ia tahu.

Awalnya mereka-Amu dan Upi-mengajak [Name] untuk bolos. Mengingat gadis itu bisa dibilang sudah cukup menguasai materi terlebih ia jarang bolos. Kalau pun gadis kacamata itu bolos, palingan ia bolos seharian alias tidak masuk sekolah. Karenanya mereka ingin [Name] merasakan bolos jam pelajaran dan masih di area sekolah. Namun [Name] menolak.

Dan hal itu justru menjadi kesalahan bagi kedua temannya. Dalam batin [Name] tengah menyeringai lebar. Dan kini [Name] memegang selembar kertas yang dirobek dari buku kecil yang sering dibawanya kemana-mana lalu menyuruh soang untuk mengirimkan pada Umami.

"Kirim ke kak Umami."

Sebenarnya gadis itu sempat menghubungi dengan handy talky. Tapi setelah beberapa menit ditunggu tidak ada tanda-tanda dari osis maka ia memilih mengantarkan lewat soang.

Semoga saja kali ini suratnya tidak dirobek oleh soang tersebut. Meresahkan sih.

Sementara di warung bakso, Upi dengan santai menyeruput kuah bakso berbanding terbalik dengan Amu yang terlihat banyak pikiran. "Orang lain udah pada nemuin impian mereka. Sementara aku masih bingung mikirin perbedaan passion sama hobi." Amu memainkan garpu ditangannya.

Sebuah suara mengejutkan kedamaian mereka saat itu juga. "Hobi biasanya dilakukan, hanya sebagai pelepas penat, atau juga sebagai obat stress."

Deg!

Keduanya mematung mendengar suara orang yang paling dihindari oleh keduanya saat ini dari arah belakang. Ditambah suara familiar lain melanjutkan menambah keterkejutan Amu dan Upi.

"Sedangkan passion, adalah penjiwaan dalam suatu bidang."

'[Name]?!'

Amu dan Upi diam tak dapat mengelak. Panik, sudah pasti. Bahkan keringat dingin membanjiri dengan mata yang mengalihkan pandangan. Mereka sama-sama menunduk tidak berani mengangkat kepala.

"Jadi, Amu dan Upi, bukankah sekarang masih jam pelajaran?" Suara halus dengan aura tegas mengudara membuat atmosfir tegang seketika. "I-iya kak... Kita kira masih jam istirahat." Bohong, dari awal dua-duanya sudah niat untuk bolos. [Name] menggeleng mendapati temannya yang tidak pintar berbohong.

"Jadi... Dihukum lagi ya?" Gadis berkacamata itu mendekati dua temannya. "[Name], jadi selama ini kamu anggota osis?" Terlihat dari almamater osis yang dikenakan gadis bersurai (h/c). "Habis teteh, sekarang [Name] yang mengkhianati kita." Amu mengangguk akan ucapan Upi.

Memang benar teteh tukang bakso bekerja sama dengan osis untuk mengetahui siapa murid yang bolos dijam pelajaran. [Name] hanya bisa menghela napas. Tangannya melepas kacamata yang dikenakan lalu mengelapnya dengan kain.

Tapi sepertinya hal yang dilakukan [Name] membuat Amu dan Upi membelalakkan matanya dengan binar disekeliling mereka. Yang ditatap lalu memandang balik dengan heran "Huh? Kalian kenapa?" Dengan semangat Upi menjawab. "Mending kamu lepas kacamata deh, [Name]!" Amu mengangguk. "Iya! Lagian kamu pernah bilang kalau matamu gak minus 'kan?"

Kacamata yang beres di lap itu dikenakan kembali. Terlihat ekspresi kecewa di wajah temannya. "Yah, kok dipake lagi sih." Kecewanya. "Kalian ini kenapa? Aku udah terbiasa sama kacamata meski nggak minus. Udah ya, aku balik dulu. Selamat menjalankan hukuman."

Dan... ya, seperti biasa, mereka dihukum lagi. Upi dan Amu sama-sama menghadap bendera dengan pose hormatnya. "Bisa-bisanya si [Name] jadi musuh dalam karung." Amu mendelik heran. "Musuh dalam selimut Pi." Ucapnya yang sudah lelah. "Nah iya, itu maksudnya."

Mereka berdiri selama kurang-lebih setengah jam sampai [Name] kembali menghampiri mereka. "Bagus kalian bertahan, hukumannya udah selesai. Minum dulu gih." Dua kaleng minuman ditempelkan ke wajah masing-masing oleh [Name]. Amu dan Upi mengambilnya cepat dan meneguknya.

"Tumben ya, sebentar doang." Amu berucap ringan setelah meminum setengah kaleng minumannya. "Betul, biasanya sampe pulang kita masih kejemur di lapang."

"Oh, mau di tambah?"

"NGGAK!!"

"NGGAK!!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝗘𝗡𝗜𝗚𝗠𝗔  -【ᴡᴇᴇ!!! x ʀᴇᴀᴅᴇʀ】Where stories live. Discover now