Bab 51 : Rumah Kebebasan

1.6K 171 50
                                    

Sebagai pemilik sifat oportunis, Sander bisa diandalkan untuk yang berhubungan dengan keinginan atasan, termasuk sabda pemilik mal.

Selepas menjemput dan berkoordinasi dengan orang pintar di daerah Pringapus bernama Pranoko, Sander mengantarnya ke hotel yang sudah dipesan perusahaan melalui Julia. Hotel dalam satu kawasan dengan mal. Nantinya, di malam-malam tertentu, dia ditugasi langsung oleh pemilik mal untuk mengantar orang pintar itu berkeliling.

Ketika mobil yang mereka kendarai berbelok dari arah Bundaran Saiful Anwar, Sander bertanya, "Cak Pranoko, mau diantar makan dulu?"

"Panggil Koko saja," balasnya datar.

"Ah, nggak enak. Cacak saja, ya? Cak Koko, gitu?"

"Terserah sampean."

"Oke." Mata Sander membulat, teringat sesuatu. "Maaf, tadi belum dijawab pertanyaannya. Mau makan di mana?"

"Kebetulan saya sudah makan. Jadi, tidak usah makan malam. Saya cuma butuh kopi sama rokok kretek biar tidak ngantuk. Boleh?"

"Beres. Nanti saya suruh ANAK BUAH SAYA buat beli," tawar Sander jemawa seraya memberi penekanan. "Anak buah saya sekitar 300 orang, Cak. Saya ini lulusan SMA, dan sebagai lulusan SMA, hal itu jadi kebanggaan buat saya bisa ber-karier sejauh ini. Nggak semua orang bisa semoncer ini, tho? Apalagi anak buah saya nurut semua, meskipun kadang bikin sakit kepala. Nanya melulu. Nggak ada pintar-pintarnya. Nggak ada inisiatifnya―"

"Iya," potong Koko, terlihat tidak tertarik. Sander menghela jengkel. Ketika sadar terlalu dalam menarik napas, dia berharap Koko tidak mendengarnya. Di situasi seperti itu, dia langsung ingat bahwa jika sampai ada keluhan dari klien ke si bos, itu artinya menggali kuburnya sendiri. Sebagai oportunis sejati, lelah atau kesal tidak ada dalam kamus hidupnya untuk ditebar.

"Ini kita langsung ke hotel?"

"Iya, langsung ke hotel saja. Nanti setelah mal tutup, baru kita ke area. Bisa, kan, Pak?"

"Bisa, Cak."

Mobil berbelok setelah sampai di Jalan Ijen. Dari jauh, hotel terlihat megah di malam hari. Lampu-lampu menyorot ke segala arah. Roof top café yang berada dalam satu kawasan dengan hotel juga sedang ada performance.

Usai putar balik di Jalan Bareng, mereka turun di area drop off hotel selepas memutari parkir mal, dan berjalan ke arah lobi.

Beberapa satpam hotel dan bagian parkir mal terlihat memberi hormat kepada Sander. Namun, lagi-lagi Koko tidak terlihat kagum. Malahan, bibirnya komat-kamit, entah merapal apa.

Melangkah bersebelahan dengan Sander yang menjulang, tidak akan ada yang menyangka jika Koko adalah orang pintar. Dia terlihat seperti orang kebanyakan. Matanya yang sipit tidak terlalu serasi dengan kulitnya yang legam.

Sampai di kamar hotel, kecuali rokok kretek, dua cangkir kopi pahit sudah tersedia. Mereka mengobrol santai sambil membunuh waktu. Lebih tepatnya, Sander yang mengobrol, Koko mendengarkan.

Tepat pukul 22.30, mereka memutuskan turun menuju mal. Karena Sander dekat dengan hal-hal klenik, tidak sedikit pun ketakutan tampak di wajahnya.

Mereka berjalan memutar karena akses lift menuju mal telah ditutup. Setibanya di depan pintu parkir rubanah, Koko berhenti melangkah. Pandangannya memindai, dari kiri ke kanan.

"Kepala manusia kan, Cak?" tanya Sander pelan.

Koko menoleh. Dia tidak tahu kalau Sander mampu melihat kepala menggelinding, melintas di hadapan mereka.

"Di sini memang banyak sekali penunggunya. Mulai dari hantu gosong sampai yang berekor." Sander terkekeh. "Dan saya nggak takut sama mereka."

Anggukan Koko menggiring langkah mereka kembali menyusuri pojok-pojok mal. Koko memastikan lebon yang ditanam di beberapa titik bangunan masih menjalankan fungsinya dengan baik.

Di pojok dekat tempat pencucian sepeda motor dan helm, Koko celingukan. Dia memejam, lalu membuka matanya kembali setelah selesai komat-kamit. Berdiri di sebelahnya, Sander juga menyadari kejanggalan itu.

"Ada yang hilang," ucap Koko. "Atau... bebas."

"Terus?"

"Kita harus mencari atau menambalnya." Koko tersenyum penuh arti.

Ketika mereka berbalik dan sebelum menaiki tangga darurat menuju roof top, sekelebat bayangan tertangkap olehnya. Aroma anyir menyengat. Bukan aroma anyir biasa, tetapi kali ini aromanya berkelindan dengan sedikit bau kesturi.

Dia selamat?

Koko menoleh ke arah Sander, bertanya untuk memastikan, "Pak Sander nyium sesuatu? Bau apa, gitu?"

Seketika Sander menebalkan penciumannya. "Apa, Cak?"

"Bau anyir?"

"Tidak."

Koko meyakini yang dicarinya selama ini tengah bersembunyi di tempat ini, bersama makhluk tak kasat mata terbengkalai dan arwah-arwah terpasung akibat dijadikan lebon. Wojogeni jago berkamuflase.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang