Bab 16 : Menjemput Pertolongan

2.4K 265 18
                                    

Malam turun menjuntai menyentuh kolong langit, menjangkiti lampu-lampu jalanan yang serentak menyala. Jalanan cukup lengang saat mereka mengeluarkan sepeda motor dari parkir kos. Setelah berhasil keluar gang, mereka memacu kendaraan menuju rumah Ade. Atas informasi Erna, Ganda menjadi penunjuk jalan.

Melalui jalanan yang di kiri-kanan tumbuh pohon palem, sepeda motor mereka berbelok. Usai menapaki hutan kota dengan penerangan redup, rombongan mengurangi kecepatan berkendara. Sebab setelah pertigaan, mereka akan tiba di rumah dengan halaman luas, minim penerangan dan berpagar ulir, dipadu rambatan tanaman hias.

Begitu kendaraan berhenti, mendadak mereka ragu untuk bertamu.

"Ngeri ya rumahnya," Ibnu berceletuk.

"Mirip rumah hantu," Mario menggenapi.

"Itu yang ada di halaman, pohon ketapang, ya? Kok ada orang nanam pohon itu di halaman. Memangnya pohon ketapang bisa berbuah emas kalau ditanam di situ? Iya kalau mangga atau jambu. Lha ini? Fixed, rumah dukun," tandas Ibnu.

Begitu pantat Ibnu melungsur dari boncengan sepeda motor Zainal, dia melangkah paling belakang. Zainal menimpali lirih, "Jangan ngomong sembarangan. Nanti kalau yang punya rumah dengar kan malu."

"Nggak bakal dengar. Orang rumah segini gedenya."

Melewati rumput memanjang di kiri kanan titian berkerikil, jantung mereka berdetak tak keruan. Tiba-tiba, seseorang muncul dari pojok halaman rimbun dengan suara dan langkah yang tidak terdeteksi sebelumnya, sembari membawa sesuatu seperti gunting besar. Dia bertanya dengan suara berat, "Cari siapa?"

Aaarrrggghhh, Ibnu menjerit.

"P-Pak Ade?" tebak Dirga tergeragap ketika sosok itu masih mematung. Temaram yang menyelimuti halaman rumah menjadikan perasaan waswas menyeruak. Menunggu jawaban dari pemilik bayangan sama seperti menunggu giliran maju untuk mengerjakan soal matematika dadakan.

"Pak Dirga?" pertanyaan dibalas pertanyaan.

Dirga hapal suara itu. "I-iya, Pak."

"Selamat malam," sapanya ramah. Helaan napas lega terdengar berbarengan.

Ketika teringat kejadian memalukan sebelumnya, Ibnu tergerak untuk membuka mulutnya duluan, "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja menjerit."

"Nggak apa-apa. Saya juga minta maaf tiba-tiba muncul. Mungkin karena nggak sedang menunggu tamu, jadi pertanyaan saya tadi kelewat keterlaluan mungkin, ya. Tapi saya senang sekali, nggak nyangka malam ini kedatangan tamu spesial." Pandangan Ade tertuju pada Dirga.

"Maaf mengganggu waktu istirahat Pak Ade," timpal Ganda.

"Nggak masalah Mas. Saya nggak lagi sibuk." Ade akhirnya melangkah mendekat. "Tapi maaf ya, gelap. Beberapa lampu taman mati dan saya belum sempat beli."

Mereka kompak mengangguk.

"Kami minta maaf tiba-tiba datang ke rumah Pak Ade tanpa janjian dulu," lagi-lagi Ganda yang merasa dituakan dalam grup menjadi juru bicara dadakan.

Ade menggeram. "Saya sama sekali nggak terganggu. Sudah, ya, ini nanti maaf-maafannya apa sampai lebaran?" Semua tergelak mendengar gurauannya. "Mari masuk."

Air muka Dirga dan yang lain tampak lebih tenang setelah menipiskan tawanya. Mereka menuntun kembali sepeda motor mengikuti langkah Ade.

"Sepeda motornya diparkir di sini saja. Aman kok, soalnya ada yang jaga. Kalau nggak percaya, boleh dicoba bawa yang bukan sepeda miliknya, pasti bakal ada kejadian aneh sebelum keluar dari sini." Ade berkata dengan senyum terkembang di bibirnya yang hitam karena seringnya merokok tingwe. Rambutnya juga mulai menipis dimakan usia. Sembari memandangi pohon ketapang yang tiba-tiba bergerak seolah menyetujui perkataan Ade, mereka menurut.

Tengkuk tamu dadakan Ade meremang membayangkan hal-hal di luar nalar jika sampai nekat menggasak sepeda motor kawan. Cepat-cepat mereka mencabut kunci sepeda motor setelah memarkir rapi, dan berjalan mengekori Ade.

Pemilik rumah menggiring mereka menuju bangunan yang tak kalah luasnya. Terdapat jalanan kecil berkerikil, yang membagi sama rata antara wilayah kanan dan kiri, kemudian berakhir di depan pintu kayu berbentuk kupu tarung terbilang besar dan hampir menyentuh langit-langit luar.

Tak jauh berbeda dengan penampakan halaman, konsep rumah Ade adalah minim cahaya. Karena sedari masuk sampai terhenti di depan pintu, mereka menarik kesimpulan bahwa PLN kemungkinan besar pelit memberi daya listrik atau sang pemilik rumah berhitung dengan cermat, alias pelit.

Ade lantas memutar kunci pintu rumah dengan tenang. Setelah kunci terputar, Dirga tiba-tiba merasa parno. Suasana janggal menyeruak ketika lampu berwarna kuning redup berpendar di hadapan mereka, menambah nuansa mistis rumah kayu miliknya. Hawa dingin bertiup.

"Silakan masuk," Ade menoleh dan berkata pelan. Di sebelahnya, Dirga menangkap wajah Ade sedang mengernyit selama beberapa detik. "Anggap saja rumah sendiri."

Pandangan Ibnu yang kaku sedikit tersamarkan ketika memasuki lambung rumah. Wajah kecutnya menyaru dengan baik melihat ruang makan. Terhidang banyak panganan di meja dan sepertinya belum tersentuh sama sekali.

"Ada acara apa, Pak?" tanya Mario basa-basi.

"Nggak ada acara apa-apa. Cuma karena banyak bahan makanan yang belum sempat dimasak di kulkas, jadi saya masak semuanya. Sayang sekali kalau dibuang. Kebetulan ada kalian di sini, jadi bisa bantu menghabiskan." Ade mengedarkan pandangan sambil tertawa kecil. "Nggak boleh nolak rezeki, ya."

Dasar aneh, Dirga membatin.

"Bapak masak sendiri?" tanya Zainal tidak percaya.

Ade menarik satu kursi makan dan memberi kode kepada semuanya supaya duduk. "Anggap saja saya traktir. Cuma satu pantangan yang nggak boleh dilanggar dan ditawar di rumah saya. Dilarang ada kalimat, kita sudah makan sebelum ke sini atau masih kenyang."

"Sebagai anak kos, kalimat itu haram diucapkan," kelakar Mario. Ade tersenyum menimpali.

Tanpa perlu komando lagi, yang lain mengamini perkataan Mario dan duduk dengan tenang, kecuali Ibnu yang masih memandangi Ade dengan tatapan menyelidik.

Sebenarnya, beberapa kali Ade menangkap pandangan Ibnu. Bahkan sejak di halaman rumah. Akhirnya, tanpa menunggu lagi, Ade memberanikan diri bertanya, "Mas yang ganteng ini namanya siapa?"

Ibnu sedikit salah tingkah. Segera dia memasang tampang seramah mungkin. "Saya Ibnu, Pak. Salam kenal."

"Salam kenal. Mas Ibnu jangan diam saja. Kalau ada yang mau ditanyakan ke saya, boleh."

"Sementara ini belum ada, Pak."

Tengkuk Ibnu serasa ditiup kala Ade menggeser posisi duduknya supaya sedikit mendekat. Dia berkata pelan, "Mas Ibnu sedang ada masalah dengan anak kecil jadi-jadian, ya?"

Ibnu terpaku. Ade menegakkan punggungnya kembali.

"Oh, saya ke belakang dulu untuk cuci tangan dan taruh gunting rumput ini, ya," pamit Ade.

Rasa-rasanya ada yang mengganjal di hati Ibnu. Dia hanya sanggup mengangguk lambat.

Ketika Ibnu mencoba menepis segala prasangka, wajah Dirga yang duduk di sebelahnya terlihat kaku. Dia mendekat dan berbisik, "Pak Ade kok tahu masalahmu? Apa kamu sempat cerita?"

Ibnu lekas menggeleng. Prasangkanya mengerucut menjadi tanda tanya besar, "Sebenarnya, siapa Pak Ade ini?" batinnya bertanya.

Rumah Tusuk SateWhere stories live. Discover now