Bab 46 : Waktunya Telah Tiba

1.3K 185 16
                                    

Suyitno mengeluarkan cawan dari dalam lemari jati, menyusul setangkup tanah kuburan tersimpan dalam kantong kain kumal dan seutas tali pocong sebagai pelengkap ritual. Dia mendapatkan tali itu dari salah seorang anak kos yang meninggal dunia beberapa waktu lalu. Dia simpan sebagai syarat untuk melakukan ritual memanggil dan menjaga Wojogeni supaya tetap di bawah kendalinya.

Hari ini, sepertinya Wojogeni menginginkan tumbal sebagai penghubung antara peliharaan dan tuannya. Suyitno sempat melirik kalender yang terpaku di tembok kamar. Penumbalan ini selalu terjadi di hari Selasa Legi. Pasaran untuk hal gaib selain malam jumat kliwon.

Benaknya terus memutar ke kejadian yang sama. Persis seperti dia mengorbankan salah seorang penghuni kos yang menempati kamar kosong. Saking lamanya, Suyitno lupa yang meninggal di kamar itu karena asma atau bunuh diri. Atau, dia sudah mulai pikun?

Terdengar ketukan, kemudian menjeda.

Ketukan kedua terdengar kembali.

Dia yakin istrinya tidak mendengar.

Ketika Suyitno berpaling dan membuka pintu kamar, dia melihat istrinya sudah berdiri di ambang pintu. Suyitno memastikan siapa tamunya. Ade.

"Ada apa lagi dia ke sini?" Suyitno menggumam. Dia lalu menimbang-nimbang untuk pergi melihat Eti atau melanjutkan pekerjaannya.

Begitu Suyitno akan melangkah, petir menyambar. Dia merasa rumahnya sesak. Sekelebat, sosok dengan kepala terbalik ke belakang menampakkan diri, remaja berkalung tali tampar dan menjulurkan lidahnya, bocah dengan sayatan di pergelangan tangan, aroma-aroma busuk dan harum saling tumpang tindih, suara sesak napas, suara bayi, bahkan Wiwit turut hadir di dalam rumahnya. Belum lagi bayangan keluar masuk rumah seperti tidak lagi bersekat.

"Ada apa ini? Sepertinya Nggak aku harus memagari diriku lebih dulu supaya nggak ikut jadi tumbal. Biar anak-anak itu saja yang kukorbankan." Suyitno menutup kembali pintu kamar. Dia melanjutkan duduk bersila, mempercepat persiapan menyambut kemunculan ingon-ingon (peliharaan)-nya.

***

Gaduh di kamar Zainal akhirnya teratasi.

Dirga menepuk dahi temannya itu ketika mendekat. Dalam sekejap, Zainal ambruk dan hampir membentur pinggiran ranjang. Sembari memekik, mereka takut Zainal terluka lagi sebab pelindung lehernya masih terpasang. Semua membayangkan jika nanti temannya itu sadar pasti kepalanya akan pusing tujuh keliling.

Akan tetapi, ketenangan tidak bertahan lama. Zainal bangkit lagi.

Sosok di selasar, di samping kamar Zainal seperti antre untuk merasuk. Beberapa bahkan melongok untuk memastikan dan hanya Dirga yang tahu.

Ibnu memekik, kemudian komat-kamit, "Ampuni hambamu yang banyak dosa ini, Ya Allah. Sekarang aku benar-benar takut mati...."

Bukannya menenangkan, ucapan Ibnu malah membuat semua orang panik. Apalagi pintu kamar Zainal tiba-tiba susah dibuka. Mungkin karena sudah tua.

"Siapa yang suruh kunci tadi?" teriak Ganda.

"Kamu," balas Ibnu dan Mario serempak. Mereka masih mencoba membukanya.

Geraman Zainal menghentikan kegiatan semuanya. Ketiganya merapat kembali, sementara Dirga masih mengawasi keberadaan temannya yang sedang kerasukan. Dari ketiga orang yang merapat di pintu, posisi Ibnu terlihat paling aman. Dia berada di tengah, di belakang antara punggung Mario dan Ganda.

Dirga memasang kuda-kuda saat memerintahkan Ganda secepatnya membuka pintu. Setelah itu, dia mencoba merapal pengusir arwah gentayangan. Berharap masih bisa dipergunakan meski tidak yakin mempan untuk mengusir puluhan arwah yang siap merasuk. Belum lagi tenaganya pasti terkuras untuk menangkal kedatangan rombongan sosok tak kasat mata itu. Dirga tidak habis pikir, bagaimana mungkin rumah kos bisa semenakutkan seperti hari ini.

"I-ini dia sama seperti yang tadi masuk ke tubuh Zainal atau bukan?" tanya Ibnu.

"Sepertinya bukan," balas Dirga sedikit takut konsetransinya pecah jika ditanya-tanya terus. "Kalian usaha saja buat buka pintunya," perintahnya mendapat anggukan dari ketiga orang itu.

Tawa Zainal terdengar kembali. Kali ini bukan lengkingan, tetapi berat dan dalam.

"Tak osah merepot gebei nyareh taoh pasera baden kauleh. Sengkok nekah penoguh paleng tuah. Tadek nyamana. Se esareh kakeh ruah, gun sittong derih setan se tak taoh bedena dibik (Tidak usah repot-repot buat tahu siapa aku. Aku penunggu paling tua. Tidak bernama. Yang kau cari itu, hanya satu dari setan yang tidak tahu diri)," Zainal berucap setelah tawanya reda.

Tidak ada yang paham dengan ucapannya. Keempat orang di dalam kamar hanya saling melempar pandangan.

Klik.

Suara kunci pintu berhasil bergeser.

"Ajjek ngal mabengal buruh (Jangan berani-berani kabur)!" Zainal memicing.

Bagi Ganda, usaha membuka pintu kamar Zainal terasa bagai adegan slow motion. Dia sampai harus menggeser tubuh Dirga menyamping, sementara Mario dan Ibnu harus tergencet oleh pintu lebih dulu saat terbuka, terutama Ibnu karena posisinya paling belakang.

Tak dinyana, kedua temannya berhasil keluar dari kamar Zainal dan hampir menabrak pintu lain di depannya. Di urutan ketiga, Ibnu berniat menyusul. Nahas, dari arah belakang Zainal menerkamnya. Keduanya menabrak pintu kamar depan sampai menjeblak, terbuka. Ibnu langsung tak sadarkan diri.

Bersamaan dengan terkaman itu, Dirga melangkah dan meraih kepala Zainal setelah berhasil menindihnya. Dia tekan kedua pelipis Zainal dengan jempol. Temannya itu seketika meronta ingin melarikan diri.

"Dan kau," omel Zainal. "Masih penasaran juga dengan keberadaan Sami? Aku rasa kau tidak akan pernah menemukannya."

Mario dan Ganda terpaku mengamati Dirga yang berusaha keras menghentikan kegilaan ini. Mereka ingin menolong, tetapi takut malah mengganggu dan ikut terpental. Belum lagi Zainal juga sedang menindih teman mereka yang sedang pingsan.

Tidak berharap mendapat bantuan, Dirga lebih dalam lagi menekan jempolnya. Arwah yang merasuki Zainal lari tunggang langgang setelahnya. Seorang kakek ber-odheng lipit perpaduan warna merah dan putih, mengenakan celana hitam sedengkul dan bertelanjang dada.

***

Melalui pintu samping rumah, Ade mendengar samar keributan dari lantai dua. Getaran suaranya tumpang tindih antara hujan, pintu menutup dan membuka secara paksa. Dia mengernyit ketika langkahnya sampai di tangga samping. Hidungnya membaui terasi bakar yang diraciknya. Sejurus kemudian, senyumnya terkembang sempurna.

Undangan untuk makhluk-makhluk tak kasat mata sudah berhasil. Berarti rencana nanti malam untuk mengirim Banaspati ke rumah ini nggak akan gagal, Ade membatin.

Begitu kaki Ade berpijak di anak tangga pertama, dia mendengar kikikan dari arah belakang. Dia menoleh ke arah dapur, tidak ada siapa-siapa. Begitu kakinya menginjak anak tangga kedua, Ade mendapatkan gamparan dari arah belakang setelah suara kikikan menjadi tawa membahana. Sepertinya ada yang ingin bermain-main dengannya.

Kesal, Ade membaca-baca rapalan.

Detik itu juga, suara tangis meminta tolong terdengar, kemudian senyap.

Ade memijak kembali tangga samping dengan mantap.

Selepas memberi pelajaran kepada sosok tak kasat mata itu, level kepercayaan dirinya meningkat pesat.

***

Hujan di luar meraung. Angin mengamuk dan petir tak mau kalah menjilati daratan. Setelah menutup pintu depan dan mengamati hujan dari balik kaca tembus pandang, Eti melangkah menuju kamar di dekat ruang tamu. Dia membuka pintu perlahan dan menemukan Suyitno sedang terpejam sambil duduk bersila.

Eti tersenyum licik. "Waktumu telah tiba Suyitno."

Rumah Tusuk SateWhere stories live. Discover now