Bab 39 : Mencari Jejak Melalui Firasat

1.5K 179 33
                                    

Sepulang dari rumah Ade, Dirga sibuk berpikir untuk menjauh atau mendekat, menimbang baik dan buruk, sekaligus mempertajam kepekaannya. Dia tidak ingin terjebak dalam permainan, apalagi berkenaan dengan sosok tak kasat mata.

Lama berpikir, Dirga akhirnya memutuskan menjauh serta menekan rasa penasarannya. Tentu saja dengan cara sehalus mungkin. Sebab, dia tidak bisa menakar sejauh mana kenekatan Ade jika sampai tersinggung dengan keputusannya. Selain tidak ingin mencari musuh, dia juga tidak mau kelelahan meladeni serangan gaib, jikapun ada.

Beberapa hari usai mendapat informasi dari rumah Ade, sedikit demi sedikit Dirga mencoba menghindarinya. Selain takut pria itu berhasil membongkar niatan sesungguhnya kenapa ada di kota ini, dia juga belum percaya sepenuhnya dengan niat baiknya. Kata Ade, dia ingin membantu. Mungkin Dirga bisa percaya seumpama Ade menginginkan upah untuk bantuannya. Namun karena gratis, bukannya senang, Dirga malah makin penasaran dengan niatan terselubung orang itu.

Jangan-jangan, dia hanya akan dijadikan alat untuk memenuhi keinginannya?

Salah satu cara lain untuk menghindari Ade adalah dengan mencari tempat makan siang baru. Untung di gang, di depan mal, tempat makan lumayan tersebar. Banyak pilihan dengan harga terjangkau.

Tanpa berharap mendapat kenikmatan seperti makan di food court atau kantin mal, sesekali Dirga dan beberapa teman kantornya menjelajahi sekitar. Mereka memasuki gang demi gang untuk menemukan tempat makan murah.

Di satu gang bernama taman bunga, gapuranya terlihat tidak terurus. Warna catnya memudar. Dirga melangkah sedikit cemas ketika sebelumnya penasaran mendengar warung mi enak dan murah. Posisinya terletak di depan musala.

Warung kecil itu menyediakan aneka mi instan serta minuman saset. Untuk pertama kalinya, Dirga menikmati mi instan terenak di dunia. Bahkan dia meminta ibu warung bernama Sri menambahkan beberapa potongan cabai. Keringatnya tercetak jelas. Mulutnya terbakar, tetapi hatinya bungah.

Tepat setelah menyelesaikan makan siangnya, melalui kaca tembus pandang Warung Bu Sri, Dirga melihat rumah bertingkat di ujung gang.

Dari jauh, rumah itu terkesan tua. Jalannya terhalang tembok rumah lain saling membelakangi. Bagian menariknya adalah, seperti ada yang mengundangnya untuk memperhatikan. Terlebih ketika dua orang paruh baya berdiri di depan pagar dan melihat ke arahnya. Tatapan mereka umpama lambaian tangan supaya berkunjung.

Untuk memutus rasa penasaran, Dirga bertanya kepada sang pemilik warung. Ibu-ibu itu menerangkannya dengan sedikit bubuhan drama, tanpa diminta.

"Namanya Bu Eti dan Pak Suyitno. Suami istri. Pemilik kos. Saya kasihan sekali, soalnya mereka cuma tinggal berdua," terang Sri seraya menyajikan mi godok untuk pengunjung warungnya. "Ada yang bilang, mereka nggak bisa punya anak soalnya ngelmu. Anaknya ditumbalkan...." Dia dekap sendiri tubuhnya, membayangkan di hari-hari tertentu suami istri itu memberikan darah dagingnya sendiri kepada iblis.

"Bu Sri ada-ada saja. Mana ada zaman sekarang yang begitu itu," salah satu teman Dirga menyahut.

"Mas ini bagaimana. Mau nanti tahun 2050, orang nenuwun (minta) ke iblis itu ada. Sampean tahu...." Telunjuk Sri terulur ke arah mal, menembus melalui tembok warung sederhananya. "Pemilik mal pasti orang kaya, berpendidikan, tapi yang saya tahu mereka juga pakai lebon supaya bangunannya kuat. Belum lagi minta tempatnya supaya rame terus."

Dirga merinding. Dia tahu, di titik-titik tertentu di sekitaran mal sering muncul badan tanpa kepala, atau sebaliknya. Jika diperhatikan dari proporsi tubuh, mereka-mereka itu masih remaja.

Kembali ke Rumah Kos Tusuk Sate.

Menurut penelusuran Dirga dari Warung Bu Sri, sebuah rumah kos seolah berdiri sendirian. Dulu memang bukan tempat kos dan setelah alihguna, orang-orang menyebutnya Rumah Kos Tusuk Sate.

Diselingi cerita seram mengenai keadaan rumah kos berhantu, yang entah Bu Sri dapat dari siapa, Dirga masih setia mendengarkan. Anehnya, setelah mendengar penuturan Bu Sri, dia makin tertarik untuk pindah ke rumah itu. Ada hawa janggal yang coba hatinya bisikkan. Sepertinya, menuntunnya supaya pindah kos. Otaknya bersikeras bahwa dengan pindah kos, dia akan menemukan jawaban yang selama ini dicarinya. Intuisinya menggiring penuh. Hati serta otaknya mengamini.

Dirga ingin menepuk dadanya sendiri karena jarang sekali benak dan hatinya selaras.

Jadi, setelah membayar mi godok dan memberitahu teman-teman kantornya supaya balik duluan, Dirga melangkah menuju keberadaan kakek-nenek yang masih berdiri di depan pagar rumahnya. Melalui gang yang tidak terlalu lebar, Dirga berjalan dengan bersemangat.

"Permisi Pak, Bu, numpang nanya. Apa masih ada kamar kos kosong? Saya mau cari tempat kos yang dekat dengan tempat kerja biar nggak capek jalan kaki," tanya Dirga sopan setelah jarak terpangkas.

Keduanya mengangguk lambat.

"Ada, Mas. Mari masuk. Dilihat-lihat dulu kamarnya. Barangkali cocok. Kebetulan ada kamar kosong di lantai dua," Suyitno menjelaskan dengan alis menyatu setelahnya.

Bunyi keriuk pagar besi bergeser seolah menemani langkah Dirga. Sejurus kemudian, penunggu pohon mangga seperti ingin menunjukkan wujudnya. Melalui gemerisik daun, dia pertegas bahwa tempat itu adalah daerah kekuasaannya. Otomatis, Dirga tahu diri untuk tidak mengganggu. Menyapa pun enggan.

Berdiri di halaman depan rumah kos tua membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, rasa penasaran memuncak. Aroma anyir dan kesturi berselang-seling.

Ingatan Dirga tiba-tiba menguat.

Dahulu, Mbah Putri pernah bercerita sekilas mengenai tempat tinggal. Katanya, membangun rumah itu banyak aturannya. Seingatnya, untuk rumah tusuk sate atau rumah di ujung sungai, banyak sekali kesamaannya. Salah satunya, tempat itu jadi kesukaan makhluk-makhluk tak kasat mata untuk berkunjung atau menetap.

Berdiri terpaku, Dirga mendengar daun mangga bergemeresak lagi. Begitu mengalihkan pandangannya ke pemilik rumah, mereka tersenyum lebar sekali. Dia coret rasa takut. Dirga semakin penasaran dengan isi rumah calon tempat kosnya itu. Dia tertantang.

"Silakan masuk," sambung pemilik kos sambil melebarkan tangannya. Istrinya yang berdiri di sebelahnya, sedikit bergeser dan berlaku sama seperti suaminya. Bedanya, pandangannya sejak tadi kosong.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang