Bab 29 : Memulai Persaingan

1.9K 231 16
                                    

Ketawang. Tahun 1965.

Sepulang rombongan militer dari Hutan Gunung Wilis dan setelah Suyitno serta Wiwit mendapati atap rumah Eti terkena bola api.

Permintaan Suyitno sederhana. Dia ingin melupakan kejadian malam di Hutan Gunung Wilis, kemudian melanjutkan hidup. Sebab, hampir setiap hari kepalanya dipenuhi teriakan memohon ampun setelah peluru menembus kepala atau bagian tubuh orang-orang itu. Sementara Wiwit, seperti mati rasa. Dia masih melakukan kegiatan sehari-harinya dengan sangat normal.

Lambat laun, Suyitno merasakan perilaku ganjil temannya itu. Sejak tawaran makhluk penunggu Hutan Gunung Wilis berkumandang, tegur sapa mereka makin jarang. Tidak ada lagi pembahasan tentang dunia lain, pun menjelajahinya.

"Apa kau tidak terganggu dengan kejadian di hutan?" tanya Suyitno di satu pagi setelah mereka selesai apel. "Orang-orang itu―"

"Tidak."

"Bagaimana caranya?"

"Dengan atau tanpa kita melakukan penembakan, mereka akan tetap mati." Wiwit menatap jauh.

Kata-katanya terasa gelap. Namun, bukan hanya perkataan yang membuat Suyitno bergidik, tetapi tatapannya juga.

"Menurutmu, apakah Wojogeni berkata jujur?"

"Tentang tawarannya di hutan? Menurutmu, bagaimana?" Wiwit menukas cepat. Kali ini matanya berbinar.

"Saya ragu. Tapi―" Suyitno tidak melanjutkan.

"Kalau kau ragu, sebaiknya mundur saja. Terlalu berisiko," saran Wiwit. Dia tersenyum lebar.

Seketika Suyitno tersadar ke arah mana senyum itu berlabuh. "Maksudmu, dengan saya mundur dari pertarungan ini, kau ingin saya mati?"

"Saya tidak bermaksud seperti itu. Kau sendiri yang menyimpulkannya."

Telaah Suyitno berakhir ketika seorang teman seperjuangan mereka memanggil namanya. Suyitno menoleh.

"Ada yang mencarimu, Yit," kata seseorang itu.

"Siapa?"

"Tidak tahu. Perempuan."

***

Eti, si bunga desa sedang menunggu kedatangannya di pos jaga markas. Dia meremas ujung pakaiannya sambil menunduk. Begitu Suyitno mendekat, Eti baru berani mendongak. Pelupuknya sedikit basah.

"Ada apa, Dik Eti? Apa kau baik-baik saja?" tanya Suyitno.

Eti menggeleng. Air matanya luruh, tetapi dipaksanya tak bersuara. Dia malu karena ada yang mengawasi. Seorang penjaga pos dan seorang lagi sedang menyeruput kopi pahit.

"Sa-saya sekarang yatim piatu, Mas," kata Eti pelan, mendekati bisikan. Dia menunduk sambil melap air matanya.

Kekosongan menyergap benak Suyitno, menuntun ke kenyataan hidup yang sebentar lagi menyapa. "Bapakmu kenapa?"

"Bapak sedo (meninggal dunia). Hari ini tiga harinya."

"Kenapa tidak mengabari? Apa bapakmu sakit?"

Eti memelankan suaranya. "Perut Bapak membesar, kesakitan tiap disentuh. Kata mantri desa, kemungkinan terkena liver dan harus diperiksakan ke rumah sakit di kota. Tapi Bapak menolak. Kami akhirnya memutuskan pergi ke dukun. Katanya, terkena santet."

Suyitno berpikir sambil mencari keseriusan di wajah perempuan itu. Lalu, dia sadar, Eti berkata jujur.

"Dan saya baru bisa ke sini memberitahu soalnya sedang bantu-bantu di rumah. Maaf kalau saya tidak sempat mengabari," Eti melanjutkan.

Rumah Tusuk SateWhere stories live. Discover now