Bab 13 : Pandangan Berbayang

2.5K 246 5
                                    

Dirga menatap langit-langit kamar usai meletakkan buku bacaan. Benaknya ditarik ke masa lalu. Ketidakmampuan mengurai pesan Mbah Putri sebelum wafat, terbayang. Ditambah lagi, setelah menyaksikan bola api di atap rumah kos, dia tahu ada yang tidak beres. Sebuah pertanda.

Cari ke timur. Dia menyukai tinggal di antara air dan dataran tinggi. Jika dia datang, dia akan membuatmu takut. Kamu tahu, dia bukan makhluk sembarangan. Namanya Wojo―

Tak lama, lelap pun menghampiri.

Begitu memasuki alam mimpi, Dirga mendengar tawa anak-anak dari balik rumpun bambu. Saat memperhatikan riak bengawan, beberapa daun kering gugur tersapu aliran air. Dua anak perempuan asyik bermain di atas gundukan delta. Mereka cekikikan sembari mencabuti bunga, mulai dari kembang kertas sampai tapak dara. Sedikit berjarak longgar, pohon kluwih dan sukun tampak menjulang.

"Dirah, jangan dekat-dekat air, nanti tercebur. Kau kan tidak bisa berenang," tegur bocah perempuan berpotongan rambut sebahu dengan kulit sawo matang. Sepupu Mbah Putri itu bernama Sami.

Ngadirah mundur dan menyeringai. "Memangnya kau bisa berenang?"

"Bisa."

"Bohong!"

Mereka tergelak. Kemudian, keduanya meramban kembang lain dan beberapa lembar daun kluwih. Sami membuat wadah, sementara Ngadirah memasukkan hasil petikannya dan menatanya mirip sesajen.

"Besok minggu saya diajak Paklik (sapaan adik laki-laki ibu atau ayah; paman)," ceplos Sami ketika serius membuat wadah.

Ngadirah mengerutkan dahi. "Hendak ke mana?"

"Ke pasar malam."

"Kok saya tidak diajak?"

Sami mendongak, merasa tak enak hati karena Ngadirah tidak mengetahuinya.

"Kau seharusnya pergi dengan bapakmu sendiri," imbuhnya.

Senyum Sami terpulas. Dia meraih pundak Ngadirah, tetapi ditampiknya. "Bukannya kita nanti pergi sama-sama?"

"Mulai sekarang tidak usah pergi sama-sama."

"Kenapa?"

"Dia bapak saya. Bukan bapakmu. Kau terlalu serakah," nyalang di wajah Ngadirah memancing ketakutan Sami. Sesuatu yang asing menampakkan diri. Rasa iri.

Dorong saja, Dirah. Dorong selagi tidak ada orang!

Dirga terkejut. Baru kali ini mimpinya berlanjut. Selintas disusurinya tiap pohon rindang sampai gerombolan bambu apus. Dia tidak lagi berkonsentrasi mengamati Ngadirah dan Sami karena tertantang menemukan pembisik itu.

Pandangannya lantas berakhir mengunci sesosok makhluk menyeramkan. Rambutnya kusut masai dengan panjang tangan menyentuh dengkul. Kulitnya pucat. Matanya merah. Ketika mereka beradu tatap, Dirga mendadak terbangun dari mimpinya.

Seraya mendengkus jengkel, dia menyadari terbangun karena lupa mengubah dering ponsel ke mode pesawat, hingga sebuah pesan masuk dan merusak mimpinya.

[Cux... mal-mu serem. Mirip film horor]

Ditatapnya pesan Zainal dan menunggu kelanjutannya. Namun, zonk.

Ogah membalas, dia kembali tidur dan berharap mimpi yang sama setelah mematikan ponselnya.

Sembari mengerjap, Dirga tersadar mimpinya kali ini berbeda. Selain bersambung ke wujud makhluk yang pernah ditemuinya, alur mimpinya juga berbeda dengan cerita Mbah Putri. Benaknya seketika merangkai sebuah alur baru.

Bagaimana bisa Mbah Sami hanyut ke bengawan sementara Mbah Putri tidak?

Cepat-cepat diusirnya pikiran buruk itu karena terlalu seram.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang