Bab 17 : Jawaban Di Pelupuk Mata

1.8K 226 7
                                    

Ade mempersilakan tamunya makan setelah kembali dari mencuci tangan. Selanjutnya, tidak ada suara lain selain kecap. Sembari mengunyah, sesekali pandangan Dirga menyasar sekitar. Dia menemukan sekelebat bayangan, terutama di pojok-pojok ruangan. Hal itu membuatnya berjaga sepanjang perjamuan.

Di hadapan meja makan berbentuk persegi panjang dengan jumlah kursi tak lebih dari 10, mereka mulai mengobrol. Bahasannya sederhana. Perkenalan diri.

Dimulai dari Ganda. Dia menjadi kepala toko saat usianya baru menginjak 23 tahun. Sementara Zainal setelah lulus SMA, dipercaya sang kakak untuk mengelola jasa cuci sepatu, sekaligus pameran di mal jika memperoleh jadwal bagus dari pihak penyelenggara.

Prang....

Sesi perkenalan terjeda ketika terdengar benda terjatuh dari arah dapur. Mereka menoleh secara bersamaan ke selasar penghubung dapur, sementara Dirga sudah lebih dulu memicing.

"Kalau bukan kucing, ya, tikus," terang Ade sambil terkekeh.

"Pak Ade pelihara kucing hitam?" tanya Ibnu. Kucing penyihir. Kucing hantu.

Zainal mengembalikan pandangannya. Karena obrolan sebelumnya belum berakhir, jadi dia merasa sedikit tak enak hati kalau sampai bahasan teman-temannya akan merembet ke tema yang seharusnya belum dimulai. Horor.

"Kucing tetangga sering main ke sini," balas Ade. "Seingat saya warnanya bukan hitam, tapi abu-abu."

Itu bukan kucing, Dirga mengelak dalam hati ketika menangkap sepasang mata mengintip dari dapur, sebelum sosok itu muncul dalam posisi penuh. Nggak salah lagi, itu Mas Irul. Buat apa dia di sini? Bukannya dia sudah tenang di alamnya?

Dirga mencoba mengusir banyak pertanyaan bercokol dalam benaknya. Obrolan pun berlanjut dengan keraguan menyelimuti diri Ibnu dan Dirga. Banyak pertanyaan tertuju kepada Ade. Namun, mereka enggan memulainya.

Duduk di depan Zainal, Mario melanjutkan bercerita mengenai usaha sepatu kecil-kecilan yang dirintisnya melalui toko online dan sekarang memiliki toko offline di mal, sementara Dirga tidak bercerita apa-apa. Ade telah mengenalnya. Dia menyebut Dirga sebagai orang manajemen. Terakhir, Ibnu bercerita mengenai pekerjaannya sebagai kasir swalayan. Dia juga memperkenalkan diri sebagai yang paling muda. Usianya baru 19 tahun.

"Sayang sekali mukanya boros," Mario berkata jail.

Ibnu tidak menanggapi. Padahal, teman-temannya tengah bersiap mencari tempat perlindungan kalau sampai terjadi gencatan senjata. Ibnu paling sensitif menyangkut usia, pun terkadang lupa dengan bangganya memamerkan usia mudanya. Dan seringnya, blunder.

Di akhir perkenalan, Ibnu melemparkan topik utama mereka bertamu ke rumah Ade. "Kedatangan kami ke sini adalah untuk bertanya ke Pak Ade mengenai dunia lain. Karena dari info yang kami dapat, Pak Ade itu paham soal―"

"Soal kenapa Mas Ibnu bisa lihat hantu?" potong Ade.

"Zainal cerita ke Bapak?" Ibnu mengarahkan pandangannya ke Zainal supaya memberi klarifikasi atas pertanyaannya sebelumnya.

Karena tiba-tiba menjadi tertuduh, Zainal membalas perkataan Ibnu dengan, Hah? saja.

"Kata Zainal, kemarin dia ketemu Pak Ade di mal. Kebetulan ada masalah sama anak buahnya―"

"Tapi aku nggak cerita soal kamu ke Pak Ade," Zainal menukas.

"Kamu kan biasanya ember?"

"Heh, ngaca!"

Wajah mereka berubah ketat. Punggung Ibnu menegak mendengar sanggahan Zainal, sementara Dirga hanya menunggu Ade melanjutkan penjelasan. Ketika wajah Zainal tampak tidak meragukan atau sedang berbohong, berganti tatapan menyelidik terarah kepada Ibnu.

"Aku belum cerita apa-apa ke Pak Ade. Sumpah," sanggah Ibnu. Kecuali Dirga, teman-temannya yang lain hanya menggeleng-geleng kecil.

"Belum ada yang cerita apa-apa ke saya," Ade berinisiatif mengambil alih semua perhatian.

"Kok Pak Ade tahu?" Ganda merasa ingin menunjukkan tajinya.

"Bukan hal penting saya tahu dari mana," Ade berdeham supaya semua orang mendengarkan. "Menyangkut pertanyaan Mas Ibnu, saya yakin akan mendapatkan jawabannya segera, asal percaya kalau di dunia ini semua yang tak terlihat datang dengan alasan. Nggak ada persoalan tanpa jawaban. Atau mungkin, ada jawabannya, tapi erat kaitannya dengan persoalan lain."

"Misalnya, Pak?" tanya Ganda, kebingungan.

"Rumah tusuk sate selalu menyimpan misteri."

Rahang semua orang susah untuk mengatup, terlebih Dirga.

"Sebenarnya, nggak ada tempat atau orang yang luput dari rahasia. Apalagi alam lain," tambah Ade. "Kita yang hanya tahu secuil rahasia, terkadang masih saja salah menebak. Tapi, ada beberapa orang yang memang bisa mengintipnya."

"Mas Ibnu mungkin jadi salah satu yang terpilih itu. Atau mungkin, ada hal besar lain yang sedang menunggu. Makanya, mereka memberi tahu melalui penampakan. Mungkin kalau bertemu lagi dengan mereka, Mas akan memperoleh jawaban."

"Mohon maaf, Pak. Saya nggak mau ketemu mereka lagi," tolak Ibnu.

"Saya bilang mungkin, Mas."

Ibnu mengangguk ragu. Makanan yang tinggal separuh di piring, sudah tidak menarik lagi baginya. Namun karena sungkan, dia melanjutkkan menyendok sementara tatapannya masih tertuju kepada Ade. "Kalau boleh pilih, saya nggak mau jadi yang terpilih. Kalau bisa menemukan cara supaya lepas dari kemungkinan itu, saya ambil. Saya nggak sanggup."

"Saya paham." Ade tersenyum, lalu mempersilakan mereka meminum limun buatannya. Dia melanjutkan kalimatnya dengan suara pelan, "Bukannya di sini juga ada yang bisa lihat hantu? Bukan seperti Mas Ibnu yang apes bisa lihat mereka, tapi orang ini benar-benar bisa melihat hantu."

Mario spontan mengarahkan telunjuknya kepada Dirga. Sambil mendengkus, Dirga ingin memakinya. Namun dia paham, Ade pun sebenarnya mengetahui kemampuannya. Jadi, buat apa dia bertanya?

"Pak Dirga juga bisa lihat mereka?" tanya Ade, pura-pura terkejut.

Dirga mengangguk, sementara semua mata tertuju padanya.

"Pak Dirga bantuin Mas Ibnu, ya," lanjut Ade. Kelembutan pada tiap penggalan kalimatnya seperti seorang bapak menanyakan kabar anaknya. Bersamaan dengan hal itu, Dirga jengah mendengarnya.

"Tolong dibantu," pinta Ibnu memelas seolah ingin menyudutkan Dirga yang ingin menjawab pertanyaan Ade dengan penolakan.

"Bisa, kan, Pak Dirga?" mohon Ade.

"Saya nggak paham dengan maksud Pak Ade. Lagi pula, saya bukan dukun," jawab Dirga datar.

"Pak Dirga pasti tahu jawabannya. Saya yakin itu."

"Saya benar-benar nggak tahu."

"Ini semua menyangkut...." Ade memberi jeda pada kalimatnya dengan cara mengerjap. "Wojogeni, mungkin?"

Kasak-kusuk terdengar dari peserta makan malam di rumah Ade setelah mendengar nama asing itu disebut. Hantukah? Sementara Dirga tidak pernah merasa bingung dengan keberadaan Ade melebihi malam ini. Karena lebih dari ratusan nama berpeluang dia sebutkan untuk mengundang kembali satu nama yang dengan mudah Ade lafalkan itu.

Kecurigaan membumbung terhadap sosok Ade. Dirga akan berhati-hati dalam bertindak. Bahkan ratu dedemit sekalipun tidak mau buka suara sewaktu dia bertanya. Mereka hanya memberi petunjuk kasar. Tidak lebih. Sementara Ade, mudah sekali menamparnya dengan kenyataan bahwa dia memiliki pengetahuan melebihi dirinya.

Kemungkinan besar Pak Ade nggak bohong. Akhiran Geni terdengar pantas bersanding dengan nama Wojo. Persis pesan terakhir Mbah Putri.

"Tenang saja. Saya akan bantu," Ade terpaksa memotong jeda yang terbentuk. "Sebenarnya, saya sudah curiga sejak lama mengenai rumah kos yang kalian tempati itu. Rasa-rasanya memang ada yang tidak beres."

Bukannya tenang, Dirga malah gelisah memikirkan bantuan seperti apa yang akan Ade tawarkan kepada mereka. Apalagi, semua ini menyangkut tempat tinggal mereka. Atau mungkin saja, pemiliknya?

Rumah Tusuk SateWhere stories live. Discover now