Bab 21 : Menyambung Doa

1.8K 235 14
                                    

Persis di seberang sungai beraliran sedang, sebuah rumah sakit rujukan tampak menjulang. Sebelum ambulans putar balik karena jalan searah, Ganda pandangi Zainal yang terpejam. Lehernya berpelindung. Sebenarnya, Ganda tidak menyukai suasana seperti ini. Persis suasana duka, pikirnya dengan mata berkaca-kaca.

Sekelebat, silau akibat lampu mobil lain membuatnya terkesiap. Sejak mendengar Ibnu meraung di tangga samping kos, Ganda tidak mampu menitikkan air mata. Dia bingung. Ingatan mengenai almarhum ayahnya seketika menghampiri. Kala itu, seharusnya ayahnya bisa dilarikan ke rumah sakit jika ada pinjaman mobil, atau setidaknya ada yang menghubungi pihak rumah sakit. Makanya, dari semua penghuni kos, Ganda paling ribut. Dia bahkan mengomeli Mario yang terduduk linglung.

Duduk bersebelahan dengan Ganda di dalam mobil ambulans, Mario berkelakuan sama. Dia pandangi Zainal yang terbaring lemah. Temannya itu masih dalam keadaan tak sadarkan diri sejak dipindahkan dari tempat kos.

Selama hampir satu jam, kepanikan melanda penghuni kos setelah mendengar raungan Ibnu meminta tolong. Dialah yang menemukan Zainal terjatuh dari tangga. Memang tidak ada darah keluar dari lubang hidung ataupun mulut, tetapi semua orang yakin keadaannya tidak baik-baik saja. Kepala Zainal terperosok, sementara kakinya di atas. Ibnu terduduk lemas ketika menemukan sosok yang dikiranya sudah tidak bernyawa itu. Beruntung, niat untuk pingsan tak diturutinya. Ibnu memilih berteriak lantang.

Deru ambulans terpacu kian dekat dengan pintu masuk IGD yang berada di sayap timur rumah sakit. Seorang satpam tergerak dari balik pos jaga untuk mengarahkannya dengan tongkat menyala agar segera parkir.

Dua orang perawat mendekat. Setelah petugas dari dalam ambulans membuka pintu dan mengeluarkan brankar, mereka lantas menyeretnya dengan gerakan cepat. Sang Dokter dengan wajah kuyu menyusul di belakang mereka.

Hanya Ganda yang ikut masuk IGD, sementara Mario duduk di ruang tunggu sambil memandangi pintu yang menutup setelahnya. Sambil komat-kamit membaca doa, dia berharap Zainal selamat.

"Kenapa dengan saudaranya, Pak?" tanya Sang Dokter begitu brankar terparkir sempurna di ruang pemeriksaan darurat.

"Teman saya pingsan, Pak Dokter," urai Ganda setenang mungkin. "Dari tadi kami tidak berhasil membangunkannya. Akhirnya, kami bawa ke rumah sakit. Kami takut terjadi apa-apa."

Sang Dokter berjalan mendekat. Dia mulai memeriksa denyut jantung Zainal. Keningnya mengerut dalam.

"Dia baik-baik saja kan, Dok?" tanya Ganda dengan raut waswas.

"Saya periksa dulu teman―"

Sang Dokter belum sempat menyelesaikan perkataannya ketika Zainal sontak terbangun, kemudian terduduk. Pekikan Ganda terdengar. Keduanya sama-sama terkejut.

"Bahaya," ungkap Zainal dengan dada naik-turun. Dia memelotot, mengiringi pandangan lurus menembus pintu IGD.

Ganda memegangi pundak Zainal erat, kemudian mengendurkannya sedikit. Dia bergumam, "Bahaya apa? Kamu yang bikin kita dalam bahaya kalau sampai kena serangan jantung."

"Hantu jemuran itu gawat. Sepertinya, ada hubungannya dengan... Gunung Kawi, yang pernah aku ceritakan ke kamu. Yang tumbal bapak...," Zainal tergemap.

Rahang Ganda seolah ringan. Ingin rasanya dia tempeleng teman satu kosnya itu karena meracau. Bahkan, Zainal tidak memandangnya saat berkata demikian.

"Makhluk itu benar-benar datang ke kos kita sebagai pertanda. Dia yang nggak boleh diganggu itu mau menjemputku. Oh, nggak mungkin. Ini pasti ada yang salah... dia seharusnya nggak diundang lagi," Zainal menambahkan kalimatnya. Rautnya kalut.

Sembari beradu pandang dengan Zainal yang masih mengomel sendiri, Sang Dokter dan Ganda hanya sanggup mengangguk samar.

Sang Dokter mulai bertindak. Dirabanya kening Zainal, memeriksanya sekali lagi, kemudian tersenyum simpul. "Paling tidak, teman Bapak sudah siuman. Jadi, Bapak tidak perlu khawatir. Denyut jantung teman Bapak juga tidak ada masalah, selain sedikit lebih cepat setelah siuman."

"Benar itu, Dok?"

"Kemungkinan besar, teman Bapak sedang kecapekan dan butuh istirahat. Saran saya, biar istirahat dulu di sini. Sekarang, yang saya butuhkan adalah keterangan dari Bapak sebagai wali," pungkas Sang Dokter.

"Tapi, Dok. Teman saya tadi habis jatuh dari tangga. Lehernya juga berpelindung. Saya takut kalau sampai ada apa-apa dengan...." Tunjuk Ganda ke kepala Zainal.

"Kalau memang diperlukan, kami akan melakukan observasi," Sang Dokter menjelaskan.

"Saya pulang saja, Dok," kalimat Zainal menghentikan kegiatan keduanya. "Saya nggak mau tidur di rumah sakit," lanjutnya.

"Memangnya kamu mau pulang ke mana? Ke kos? Apa kamu nggak takut?" urai Ganda tenang.

Tidak ada jawaban dari Zainal selain dengkusan.

Akhirnya, Ganda kembali bersitatap dengan Sang Dokter. Dia mengucap maaf berkali-kali supaya tidak mendengarkan temannya yang sedang ngelindur itu. Mereka pun melanjutkan niatan sebelumnya. Pertama, mengurus administrasi.

***

Selepas ambulans pergi dari mulut gang taman bunga, Eti dan Suyitno pamit pulang duluan. Beberapa menit kemudian, Dirga menyusul karena teringat Ibnu sendirian di kos. Ketika Dirga membuka pintu samping kos, terdengar langkah Suyitno mendekat. Bapak kos sengaja menunggunya pulang.

"Saya pamit istirahat ya, Pak," Dirga meminta izin begitu melihat Suyitno berdiri di ambang pintu.

"Iya. Selamat istirahat," balas Suyitno ramah. "Nanti kabari Bapak kalau ada perkembangan dari rumah sakit."

Dirga mengangguk dan berniat undur diri dari hadapan Suyitno. Belum sampai tangan Dirga menutup kembali pintu samping, Suyitno berdeham.

"Saya cuma mau bilang terima kasih ke Nak Dirga karena sudah repot-repot bawa dia pulang. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya," katanya sopan. Tak lupa Suyitno memulas senyum.

Selain terkejut, Dirga juga bingung memberi tanggapan. Akhirnya, dia hanya menyengguk.

"Ya, sudah. Kalau begitu Nak Dirga istirahat," Suyitno mengakhiri obrolan.

Dirga bergidik ngeri membayangkan apa yang telah diperbuatnya. Jika benar mahkluk itu masuk katagori berbahaya untuk diundang pulang, maka Ade atau Suyitno adalah orang yang juga sama-sama berbahayanya. Sialnya, Dirga tidak menyadari akibat perbuatannya itu.

***

"Bicara sama siapa, Pak?" Kepala Eti terjulur dari bukaan pintu rumah induk ketika Dirga selesai menutup pintu samping.

Suyitno menoleh. Senyumnya merekah. Ekor matanya jernih. "Anak kos. Ada yang harus kupastikan."

"Oh, kalau sudah memastikan, cepat masuk. Di luar dingin," omel Eti. "Nanti kalau masuk angin merepotkan. Dijaga kesehatannya. Istirahat cukup. Awake dewe iki wis tuwek (kita sudah tua)."

"Dia sudah pulang. Sekarang, aku bisa merasakan kehadirannya. Dia kembali ke rumah kita. Aku akan membujuknya sekali lagi supaya tidak pergi-pergi lagi. Aku akan menuruti apa pun permintaannya," urai Suyitno panjang lebar.

Kerut di dahi Eti bertambah dalam. "Siapa yang pulang?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?"

"Maksud kamu... Wojogeni?"

Suyitno tersenyum dan menggiring Eti kembali ke kamar dengan langkah ringan. Dia tidak perlu khawatir jika bola api kedua hadir. Wojogeni akan melaksanakan tugasnya seperti. Melindunginya.

***

Sedikit jauh dari gang, Ade terpaku memandangi rumah Suyitno. Dia tidak ketinggalan menyaksikan kegaduhan dan orang-orang yang berkumpul di mulut gang setelah mengetahui mobil ambulans datang.

Sejak Ade mengirim bola api pertama ke rumah Suyitno, hampir setiap malam dia amati rumah kos itu, memastikan bahwa dia bisa menyusup di antara pertanda.

Kali ini, dia merasa berada di jalur yang tepat dengan menggunakan bayang-bayang anak kos. Ade yakin tidak akan ada yang curiga, sekalipun bola api kedua akan diluncurkannya dalam waktu dekat.

Dalam diam, Ade paham betul bahwa dia terlalu dekat dengan kematian. Ada risiko tinggi bertindak sejauh itu. Namun, tidak ada jalan berputar apalagi jalan keluar. Dia hanya ingin mengambil hak leluhurnya kembali. Wojogeni adalah warisan.

"Sebentar lagi," Ade bergumam sambil berlalu dari gang taman bunga. "Cukup sekali leluhurku dipermalukan. Kali ini, aku nggak akan tinggal diam. Kalau perlu, nyawaku jadi taruhannya."

Rumah Tusuk SateWhere stories live. Discover now