14 - Masih Banyak yang Peduli

840 169 142
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Dini hari jam 2, aku baru sampai di rumah. Pergi ke restoran tenda pecel lele dengan motor, pulang pun juga dengan motor. Bekerja di pukul setengah 11 malam, aku diizinkan meminjam motor oleh Januar. Jarak yang tidak jauh dari rumah, hanya 5 menit perjalanan saja, membuat adikku semakin mengizinkanku yang ingin meminjam motornya.

Oh ya, ini adalah hari pertamaku bekerja di restoran pecel lele Mbak Yani dan suaminya, Mas Iwan.

Mbak Yani dan Mas Iwan sangat baik. Selain upah 50 ribu per malam, aku diberi sebungkus nasi berisi ayam goreng, tak lupa sambal dan juga lalapnya. Kata Mbak Yani, itu untukku makan di rumah. Namun, aku bimbang. Harus kumakan sekarang... atau memberikannya untuk Nenek atau Januar untuk sarapan besok?

Lama aku terdiam. Menatap sebungkus pecel ayam di atas meja makan. Namun, selintas ingatan muncul dalam benak,"Kamu tulang punggung loh, Galih. Kalau makanan kamu gak bergizi, nanti kamu sakit, gimana? Siapa yang bakal kerja buat adik dan nenek kamu?"

Kata-kata Bu Anggun beberapa minggu lalu, bagai desau sejuk yang meniup pikiran kering kerontang. Dia benar, aku harus sehat.

Aku duduk sendirian di kursi makan, di jam 2 lewat dini hari yang tenang. Menyadari satu hal, jam istirahatku semakin nihil saja. Aku tahu itu tidak baik untuk kesehatan, tetapi ekonomiku tak memungkinkan berleha-leha untuk sekadar merebahkan badan yang pegal.

Cicilan utang pada bank yang harus kubayar 800 ribu per bulan menghantuiku setiap saat. Di ajaran agamaku, tidak boleh meminjam uang dengan bunga. Namun, waktu itu aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Arahku kabur dan hilang. Tak ada orang lain yang bisa kupegang tangannya. Terpaksa mengambil jalan haram yang tak dibenarkan oleh Tuhan.

Aku meremas tangan hingga mengepal. Memejamkan mata. Menyesal. Semoga dosa-dosaku diampuni oleh-Nya. Aku berjanji tak akan mengulanginya.

Masih terpejam, mataku memanas. Aku takut Tuhan-ku murka. Aku terhimpit keadaan, terpaksa menjadi nista. Mudah-mudahan Dia mau mengasihaniku yang hina dina ini dengan sebuah ampunan.

Membuka mata, aku menyeka air mata. Aku harus sehat seperti Bu Anggun bilang. Lantas, kuambil bungkus nasi itu, membukanya, menatap isinya dan mulai memakannya dengan tangan saja.

Keheningan pun jadi teman di dini hari yang pekat. Hanya decakan mulutku mengunyah makanan ini saja yang jadi kawan. Tak ada orang di sekitar. Nenek sudah tidur, Januar juga, tetanggaku juga. Hanya ragaku dan makhluk-makhluk tak terlihat.

"Kalau kita sabar, Allah pasti memberi karunia." Hatiku berujar tanpa perintah. Seolah ingin menyemangati diri yang kadang lelah ingin beristirahat. Iya, aku lelah. Ingin beristirahat. Tapi, belum bisa, belum sekarang.

Bicara 'karunia'. Karunia itu banyak bentuknya. Kadang terlihat, kadang juga tidak. Kadang di dunia, kadang di akhirat. Setahuku demikian. Terserah Tuhan saja mau memberiku yang bagaimana, pastilah akan kuterima semuanya.

....

Selesai makan, aku merapikan piring kotor dari atas meja makan. Membuang sampah-sampah makanan ke plastik tempat sampah. Kemudian, menatap kamar mandi terbuka. Berpikir dalam-dalam.

Kata Nenek, aku tidak boleh mandi malam meskipun badan lengket. Ya sudah, aku menurut saja. Tapi, setengah 3 sudah pagi, bukan? Ah, jangan ambil risiko. Aku dengar kata Nenek saja. Maka, aku hanya mencuci muka, kemudian berjalan menuju kamarku untuk berganti pakaian.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang