03 - Mas Galih

1.3K 223 103
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚
Tekan bintangnya dulu dong supaya aku semangat nulisnya, hihi. Makasih
˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*




Pukul 9 malam, aku sampai di rumah setelah pulang dari kantor pukul 8 lewat. Sambil membawa seplastik nasi goreng yang kutenteng sejak setengah jam lalu, aku memasuki rumah.

Lagi-lagi, Januar belum pulang. Sudah seminggu belakangan ini, dia selalu pulang malam. Mentang-mentang sudah lulus SMA, kerjaannya jadi kelayapan. Alasannya sih belajar bersama. Tapi, tidak tahu juga lebih banyak belajar atau mainnya.

Nenek sendirian. Aku langsung menghampirinya di kamar. Mengintip dari celah pintu yang terbuka, kulihat Nenek sedang menatapi langit-langit kamar. Hatiku perih seketika. Kasihan Nenek sering ditinggal sendirian.

Aku membuka pintu. Memberikan senyum terbaikku, membuang raut lelah jauh-jauh. Sebab, Nenek selalu menyendu setiap melihat wajah cucu-cucunya lelah atau lesu. Aku tidak ingin Nenek cemas memikirkanku.

"Assalamu'alaikum. Nenek, Galih pulang." Aku tersenyum lembut, lalu duduk di sebelah kaki Nenek yang sungguh kurus semenjak lumpuh.

Bibir Nenek langsung tersenyum, walau redup. Namun, sorot mata Nenek selalu mampu kutahu. Beliau senang melihatku.

"Wa'alaikumsalam. Capek, Galih?" Nenek mengelus lenganku lembut.

Aku menggeleng, tersenyum. "Enggak. Nenek udah makan? Galih bawain nasi goreng," ucapku.

Nenek menggeleng. Kulihat wajahnya jadi sedih, lalu memegang perut dengan geraknya yang lamban.

"Kenapa perutnya?" Aku ikut memegang perut Nenek.

"Lapar...."

Sontak, hatiku sakit mendengarnya. Sejak kapan Januar pergi? Apa tidak memberikan Nenek makan dulu?

"Oh, iya. Sebentar ya, Nek. Galih taruh nasi gorengnya ke piring dulu. Nenek mau teh manis? Galih bikinin sekalian." Aku berujar seraya berdiri dari tepi ranjang.

Nenek mengangguk saja. Aku pun tersenyum, kemudian berlalu menuju dapur tuk menyiapkan makanan Nenek.

Di dapur, aku langsung mengambil sebuah piring. Menyalin nasi goreng tanpa telur ke atasnya, lalu mengambil sendok. Setelah itu, aku mengambil gelas, menyeduh teh dan gula dengan air termos yang syukurnya masih hangat.

Sudah semua, aku membawakan sepiring nasi goreng dan segelas teh manis ini ke kamar Nenek.

Melihat kedatanganku, Nenek berusaha menegakkan tubuhnya tanpa bantuan, lalu bersandar di kepala ranjang. Bisa. Nenek sudah menguat ternyata. Aku senang melihatnya.

"Galih suapin apa makan sendiri?" Aku memberi pilihan. Duduk di sebelah kaki Nenek.

"Suap," jawab Nenek singkat.

Aku tersenyum. Mulai menyerok nasi-nasi ke atas sendok. Lalu, menyuapkannya ke mulut Nenek yang terbuka karena menyambut.

"Amm." Aku bergurau, membuat Nenek tersenyum meski tampak lemas. "Enak?" lanjutku bertanya.

Nenek mengangguk perlahan sambil mengunyah pelan. Aku menunggui dengan senyuman-senyuman.

"Punya Januar ada?" Nenek bertanya setelah menelan.

"Ada, di dapur."

"Punya Galih ada?" tanyanya lagi dengan suara serak. Mengelus rahang kiriku sekilas.

Aku tersenyum, mengangguk. "Ada." Meski sebenarnya tidak ada. Karena jika aku bilang mau menunggu sisa Nenek, Nenek pasti akan menghentikan makannya meski seumpama masih belum kenyang.

DINI HARI GALIH ✔️Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz