01. Sang pemilik nama✧

Start from the beginning
                                    

Helaan napas terdengar, hanya itu yang bisa Fabio lakukan. "Kak, kira-kira kalo gue sekolah gimana ya sekarang? Apa gue bakal punya temen?" Kalimat itu terlontar dari bibir tipis Fabio, remaja yang kini berusia 18 tahun itu kini tengah menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki yang lebih tua darinya.

Gama, sang empu yang menjadi tumpuan kepala Fabio itu melirik sejenak, sebelum menghadap ke depan dan menjawab. "Ya kakak yakin lo pasti nakal, dan tentang temen, pastinya banyak."

Fabio mengangguk kecil, menegakan tubuhnya dan berjalan mendekat ke jendela kamar yang bercat putih dengan isi kamar itu terdapat televisi di depan ranjang tidurnya, nakas dan lemari.

"Seandainya itu benar-benar terjadi sama gue kak. Pasti seru banget ya." Suaranya lirih di akhir, seolah menyimpan begitu banyak harapan di setiap ucapannya. Walau semua itu benar.

Fabio segera merubah mimik wajahnya menjadi terkikik kecil, saat membayangkan jika dirinya benar-benar sekolah dan menjadi most wanted di sekolah, lalu memimpin sebuah geng disekolahnya seperti yang dia lihat di televisi. Sungguh angan yang indah bagi Fabio untuk di bayangkan.

Gama sendiri hanya bisa menatap punggung rapuh itu dengan iba, selama dirinya bekerja di rumah sakit sebagai perawat pribadi Fabio selama 3 tahun belakangan ini. Tentu Gama sangat tahu apa yang anak itu rasakan.

"Jangan putus asa, kakak yakin suatu hari lo pasti bisa sekolah kok." Itu hanyalah kalimat penghibur yang mampu Gama katakan, agar si lawan bicara tidak merasa sedih.

"Nggak tau deh, gue sekolah juga pastinya udah nggak keterima." Tentu saja, selama di dalam sini Fabio hanya diberi pendidikan yang minim, hanya dokter ataupun perawat saja yang mengajarkan dirinya ilmu selepas dirinya putus sekolah saat SMP kelas 1 diwaktu Airin mengirim kesini, pendidikan nya terputus.

Dan sekarang hanya Gama yang mau meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu pada Fabio secara apa adanya, tetapi semua itu sudah cukup bagi Fabio. Gama akui jika kapasitas otak Fabio terbilang tinggi, anak itu pintar dalam akademik selama dirinya mengajari beberapa hal.

"Udah waktunya lo makan Yo, kakak ambil makannya dulu ya." Fabio mengangguk kecil, membiarkan Gama pergi dari kamarnya untuk melakukan tugasnya. Helaan napas terdengar lagi sesaat hanya ada Fabio yang berada di dalam ruangan tersebut.

Butuh 10 menit saja, Gama sudah kembali ke kamar Fabio. Bisa ia lihat Fabio masih dalam tempatnya, berdiri di dekat jendela yang terdapat teralis besi, mencegah kalau-kalau Fabio kabur, karena selama ini Fabio tidak diizinkan keluar dari kamarnya.

"Gue masih males makan kak, buat Lo aja deh." Fabio menunjuk makanan yang di bawa Gama.

"Ini udah waktunya makan, ini juga udah lewat jam makan lo Bio." Fabio mendengus kesal mendengar nya.

"Kak, mendingan ajak gue keluar. Nanti gue makan deh." Tanpa ragu Fabio meminta dan memberi penawaran pada pemuda yang berjarak 5 tahun di atasnya itu. Mendengar itu Gama tidak terpengaruh, lantas pemuda meletakkan terlebih dahulu makanan yang dia bawa, lalu menggandeng tangan Fabio dan mendudukkannya ke tepi kasur.

"Kita makan dulu ya, habis itu minum obat." Gama mengambil mangkok berisi sup dan akan segera memberikan pada Fabio, tetapi tangan anak itu mencekalnya.

"Ayok keluar!" ujarnya lagi, tetap dalam pendirian dan kemauannya.

"Bio, ini nggak semudah sama apa yang lo mau. Kakak janji bakal ajak Lo keluar, tapi bukan sekarang." Sejujurnya Gama tidak tega mengatakannya, apalagi melihat bagaimana wajah sendu itu yang sangat berharap padanya.

"Kenapa?" Tanyanya, menahan kembali sendok berisi makanan yang akan disuapkan padanya.

"Nggak semua yang lo mau, bisa di kabulkan," ujar Gama memberi tekanan dalam kalimatnya.

Fabio diam dibuatnya. Selama ini dia tidak pernah meminta banyak hal, mungkin ini permintaan pertama kalinya setelah bertahun-tahun terjebak disini, apa permintaan nya terlalu banyak?

"Makan dulu ya." Kali ini tidak ada penolakan, Fabio membuka mulutnya untuk menerima suapan dari yang lebih tua.

"Gue nggak gila kak," lirihnya, dan kata itu mampu membuat Gama terdiam.

***

Setelah memastikan Fabio aman dan sudah memakan makanannya, Gama pergi untuk melaksanakan tugasnya yang lain. Dan saat diperjalanan, Gama bertemu dengan dokter yang menangani Fabio selama ini. Maksudnya yang ikut menjaga Fabio, atas perintah Airin.

"Apa dia sudah makan dan minum obatnya." Pertanyaan dokter itu langsung diangguki oleh Gama, lalu mengangkat nampan ditangannya yang memperlihatkan mangkok yang sudah habis isinya bertanda ia sudah melakukan tugasnya dengan baik.

Dokter bernama Satya itu menghembuskan napas pelan, merasa lega ketika mendengar kabar sederhana tetapi bisa membuat nya merasa plong. Ia sendiri merupakan salah satu dokter psikolog yang bekerja di sini.

"Dok, apa keluarganya nggak ada yang berencana buat keluarin dia dari sini?" tanya Gama penasaran.

"Saya juga kurang tau tentang itu Gama," jawab Satya yang terlihat tidak peduli akan apa yang ditanyakan Gama.

Gama kecewa mendengar itu. "Apa ini nggak keterlaluan dok? Dia itu sakit fisik bukan mentalnya. Di sini bukan tempat yang tepat buat dia."

"Kamu nggak perlu ikut campur Gama, ingat siapa kamu di sini," tekan Satya.

Pemuda di depannya tersenyum remeh, Gama mengajak bicara Dokter didepannya ini baik-baik, tetapi kenapa ujung-ujungnya menyinggung dirinya?

"Maaf dok, saya memang bukan siapa-siapa disini, sata ingat siapa sata di sini. Tapi saya nggak setuju tentang kalian yang ngurung Fabio di sini selama beberapa tahun ini, kalo dokter ataupun yang lain nggak mau bawa keluar Fabio, biar saya yang bawa dia," Katanya dengan nada yang bersungguh-sungguh. Gama merasakan sakit kala melihat Fabio yang sehari-harinya hanya diam di ruang itu dengan melamun, padahal keinginan anak itu hanya ingin keluar dari sini.

"Itu nggak semudah yang kamu pikirkan Gama, kamu bisa saja dipecat karena melakukan hal itu. Ingat Gama, jangan melampaui batas." Setelah mengucapkan itu, Satya pergi dari sana, meninggalkan Gama yang mengepalkan tangannya keras.

"Dokter sialan," umpatnya dalam hati, mungkin karena Satya terlalu lama menjadi psikolog, pria itu ikut menjadi tidak waras.

Sementada itu. Di dalam ruang kerjanya, lagi-lagi Satya hanya bisa menghela napas setelah percakapan singkatnya dengan Gama. Dokter yang menangani kesehatan mental itu mengetuk-etukan pulpen miliknya di meja seraya menatap layar monitor komputer didepannya, yang menayangkan kamar rawat Fabio. Bisa Satya lihat sang pemilik kamar tersebut tertidur pulas di atas ranjangnya saat ini.

"Maafkan saya Bio, saya yakin suatu hari kamu bisa keluar dari tempat ini." Sebagai dokter, Satya tahu sendiri apa yang dilakukannya justru membuat anak itu yang tadinya sehat justru sakit mentalnya. Namun, Satya tidak bisa berbuat apa-apa.

TBC

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TBC....

[]

Lampung, 22062022

Batas Akhir [END]✓Where stories live. Discover now