6. Proses Surogasi

387 39 0
                                    

Khalid menempatkanku di sebuah apartemen mewah di pusat Kota Batam. Sesuai kesepakatan kami tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi unit yang berbeda. Sepertinya dia memang sengaja membatasi diri sejauh itu untuk menghindari hal-hal yang diinginkan. Sudah tiga pekan sejak kesepakatan dan aturan yang dia kemukakan. Selama itu aku menjalani hari-hari yang membosankan sebagai pengangguran. Nonton, makan, dan tiduran. Sesekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan apakah aku sudah selesai menstruasi atau melewati masa ovulasi agar proses surogasi bisa segera dilakukan.

Seharusnya kalau dia memang benar-benar ingin tahu kenapa tidak langsung datang dan memastikannya sendiri?

Tok! Tok! Tok!

"Mbak, Mbak Nindi!"

Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sini aku memang sulit tidur dan seringkali terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh sinar matahari pagi, karena aktifitas padat yang dilakukan di malam hari.

"Bentar!" Kutendang selimut sampai teronggok di lantai. Kemudian berjalan menghampiri pintu yang masih saja diketuk tak sabar.

Ceklek!

"Ada apa? Ini masih pagi, Neli!" sentakku pada asisten pribadi yang sengaja disewa untuk membantuku selama setahun ke depan.

"Bapak udah nunggu di depan, Mbak. Katanya kalian berangkat ke Singapur hari ini."

"Dih, bukannya jadwal surrogasi masih seminggu lagi?"

Gadis seumuranku itu hanya bisa mengedikkan bahu. "Kalau itu saya kurang tahu, Mbak."

"Arrghh ... ya udahlah." Akhirnya aku hanya bisa menghentakkan kaki dan beranjak menuju kamar mandi.

"Mbak!" Masih bisa kudengar suara Neli di ambang pintu.

"Apa lagi?"

"Bisa dipercepat dikit? Soalnya bapak udah nunggu dari tadi," sambungnya hati-hati.

"Iya, iya. Suruh siapa jual mahal sampe mutusin pisah unit. Takut banget tergoda sama butiran debu ini!"

Kubanting pintu kamar mandi, lalu lekas membersihkan diri. Dalam lamunan aku mulai berpikir, betapa beruntungnya Naya mendapatkan Khalid. Dia sempurna dalam sisi mana saja. Caranya membatasi diri membuatku bertanya, apakah dia benar-benar lelaki pada umumnya?

***

"Ada yang lain?" Khalid bertanya saat aku baru saja tiba di hadapannya.

"Apanya?" Aku mengernyitkan dahi.

"Pakaian lain, Nindi!" Dia tampak geram. Entah karena menunggu terlalu lama, atau apa yang kukenakan semakin menyulut emosinya.

Menurutku tak ada yang salah, crop top dan hotpants cukup umum di kalangan anak muda masa kini. Pusar, paha, dan belahan dada itu biasa.

"Ada," cetusku dengan nada ketus.

"Apa semuanya begini?"

"Sebagian besar."

Dia menghela napas panjang.

"Ya, sudah kenakan saja yang waktu itu kamu pakai untuk menemui orangtua saya."

"Lagi di-laundry."

"Kalau begitu kita beli."

"Kenapa? Semua bajuku masih layak pake."

"Tapi nggak layak dilihat!"

Aku mendengkus keras, lalu menghentakkan kaki.

"Oke, kita pergi!"

BENIH TITIPANWhere stories live. Discover now