19. Saling Terbuka

310 47 3
                                    

Sampai di ambang pintu, aku menimbang-nimbang lagi. Jujur, egoku terlalu tinggi bila harus memulai duluan. Tapi, kembali lagi. Bila perang dingin ini tak segera diakhiri, bisa-bisa aku dan Neli tidak lagi menjadi Bestie.

Kuhela napas panjang sebelum menghampiri Khalid yang baru saja menutup kitab suci, dia beranjak bangkit dan tertegun saat mendapatiku berada di hadapannya saat ini.

"Sorry." Kukatakan itu dengan pandangan berpaling.

"Saya di sebelah sini, Nindi!"

Aku berdecak, lalu terpaksa menatap langsung ke matanya.

"Maaf, kalau aku nyebelin akhir-akhir ini." Sedikit ketus, kalimat sakral itu akhirnya terucap.

Khalid tersenyum kecil. "Iya, nggak apa-apa. Saya ngerti."

"Ya udah, kita turun sekarang! Jam buka tinggal beberapa menit lagi."

Dia mengangguk, masih dengan sarung dan kaus putih yang melekat, Khalid melepas kopiah yang semula bertengger manis di kepalanya.

"Sebentar!" Refleks aku menarik tangan kanan Khalid yang terdapat memar.

"Ini gara-gara mukul lemari tadi?" Aku bertanya sembari meremas-remas jemarinya.

Khalid tak menjawab dan hanya mengangguk pelan.

"Kenapa belum diobatin?"

"Lukanya nggak seberapa."

"Bukan masalah nggak seberapa, tapi kalau dibiarin bisa infeksi." Melihat jenis lukanya yang kecil dan terbuka, aku tiba-tiba mengingat kata orang tua dulu, cara ini biasanya efektif, sih.

Tanpa basa-basi aku langsung menjilat punggung tangan Khalid.

"Nindi ...." Napas lelaki itu tercekat, mulutnya mengatup rapat. Antara terkejut dan mungkin ... perih?

"Kenapa? Sakit?" Aku bertanya tepat di depan wajahnya.

Alih-alih menjawab, Khalid justru memalingkan wajahnya yang memerah.

"Khalid?" Tak mendapat jawaban, kuraih wajahnya agar kami kembali bersitatap.

"Sudah, saya nggak apa-apa!" Dia beranjak, lalu buru-buru pergi mendahului.

Kenapa coba ntu laki?

***

"Bu Melani udah kamu kasih tahu, Nel?" Khalid bertanya saat kita bertiga sudah berkumpul di meja makan, setelah kumandang adzan terdengar.

"Loh, kamu undang Bu Melani?" Aku bertanya karena memang tak tahu.

"Iya, selama kamu sakit dia yang bikinin bubur. Waktu kamu pingsan juga beliau yang ngurusin dan antar ke rumah sakit."

"Kok, kamu nggak bilang dari kemaren-kemaren, sih? Aku jadi nggak enak, kan? Ngerepotin. Kupikir bubur yang selama ini dimakan buatan kamu."

"Saya nggak bisa bikin bubur, Nindi."

"Serius? Sigempi Gembul aja yang ribet kamu bisa masa bubur enggak?"

"Namanya Sigeumchi Namul," ralatnya.

"Iya, iya, dah. Cuma he--"

"Assalamualaikum."

Asik berdebat dengan Khalid, sampai tak kusadari Neli sudah pergi dan membukakan pintu untuk Bu Melani.

"Waalaikumsallam." Kami menjawab serentak. Dipapahnya Bu Melani yang tengah hamil three sementer kedua itu sebelum mengisi salah satu kursi.

"Udah mendingan, kan, Mbak?" Dia bertanya masih dengan nada lembutnya.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang