14. Balada Cilung dan Es Cekek

294 45 0
                                    

"Masa kamu nggak tahu cilung sama es cekek, sih?" sungutku tak habis pikir.

"Cilung itu makanan?" Dia balik bertanya.

"Yaiyalah. Jajanan yang sering ada di depan SD. Masa belum pernah coba?" Aku mulai sewot.

"Di sekolah saya dulu nggak ada itu."

Aku menepuk dahi. Pantas saja hal ini terjadi, dia terlahir sultan, jadi tak mungkin merasakan sekolah umum negeri.

"Argghh ...." Aku menggeram, kesal sendiri. Kuempaskan tubuh ke sandaran kursi, lalu melipat tangan dan tak mengatakan apa pun lagi.

Dari sudut mata kulihat Khalid mengusap wajah berkali-kali. Wajar, puasa pertama, tengah hari, dan aku meminta keinginan yang aneh-aneh lagi.

"Tapi kita bisa cari." Menanggapi responsku yang begini, dia tiba-tiba membujuk. "Kamu cukup kasih tahu saya gimana bentuknya Cilung sama Es Cekek."

Aku tersenyum lebar, lalu mulai menjelaskan tak sabar.

"Cilung itu aci digulung, terus dibubuhi taburan bawang halus yang gurih. Sementara es cekek itu es di Mamang-Mamang gerobakan yang diplastikin terus dikasih sedotan. Cara minumnya plastiknya dicekek."

Khalid menekan pelipis. Dia mengangguk walaupun kuyakin tak sepenuhnya mengerti. "Oke, kita cari. Tapi, kalau nggak ada kita beli yang lain di mall, ya!"

"Nggak mau ke mall. Maunya jajanan SD!" sentakkku membantu.

***

Hampir tiga jam kami berputar-putar mengelilingi pusat Kota Batam, menghampiri beberapa sekolah dasar, berhenti di tiap street food yang terlihat, bahkan mengunjungi Pusat Wisata Kuliner 'Welcome To Batam'. Meskipun tahu perjuangannya akan berakhir sia-sia, tapi aku hargai kerja keras Khalid yang sudah mau berusaha.

Sepanjang perjalanan aku terus memerhatikan gelagatnya sembari menyeruput starbek, ngemil toast, makan donat, dan sesekali mengunyah boba chatem yang dibeli sembari menunggu menu utama didapatkan.

"Kamu nggak marah, kan?" Aku bertanya tiap kali mengunyah dan menyeruput minuman.

Kadang Khalid tak menjawab, atau kadang dia hanya berkata, "Sudahlah, habiskan, kalau kamu kenyang kita pulang!"

Kemudian aku menjawab, "tapi Es Cekek sama Cilungnya belum."

Pada saat itulah dia hanya bisa mengusap dada, lalu beristigfar.

Semua itu berlangsung sampai sore menjelang, sampai pedagang street food mulai buka lapak di jalan-jalan. Menyediakan berbagai menu takjil yang menggugah selera. Hingga penjual Es Cekek pun bisa kami dapatkan.

"Di-cup atau diplastikin, Mbak?" tanya Mamang penjual es saat aku memilih varian es teh manis yang ada dalam wadah kaca mirip aquarium Ikan Cupang, bedanya lebih besar.

"Di--"

"Dicekek, Pak!" Belum sempat aku menjawab, Khalid sudah lebih dulu melontarkan. Terdengar kentara dari kata yang diucapkan dia sedikit kesal.

"Hah, gimana?" Rupanya Mamang penjualnya tak mengerti.

"Maksudnya diplastikin, Pak," sahutku menjelaskan. Baru setelah itu dia mulai menyiapkan.

"Berapa?" tanya Khalid saat Es Cekek berhasil kudapatkan. Dia tampak mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribuan.

"Lima ribu, Mas!" jawab Mamang Penjual.

"Lima ribu?" Khalid memastikan.

"Emang maunya berapa, Ganteng? Dulu zaman aku esde yang begini malah serebuan."

BENIH TITIPAN SULTANWhere stories live. Discover now