7. Positif

447 44 1
                                    

Sepeninggal Khalid, aku memerhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Surrogate Mother dan In Vitro Fertilization. Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan Ibu Pengganti dan Bayi Tabung.

Merasa ada pertanyaan yang janggal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya.

"Dok!"

Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap ke arahku.

"Ya?"

"Sebenarnya program Ibu Pengganti ini apa, sih, Dok? Apa masih sama dengan metode Bayi Tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?"

Dokter Antoni tersenyum. Kali ini dia benar-benar menghadap ke arahku.

"Saya jelaskan sedikit, ya, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim. Jadi, bila ada indikasi penyakit yang mengharuskan seorang perempuan diangkat rahimnya, masih ada kemungkinan untuk punya anak selama indung telurnya sehat. Nah, indung telur yang bagus ini bisa kita gunakan untuk surrogate mother atau pinjam rahim dengan metode bayi tabung.

"Prosesnya dimulai dengan sel telur yang distimulasi, kemudian diambil, lalu digabungkan dengan sperma hingga kemudian dibuahi di laboratorium kami. Embrio yang sudah jadi ini berasal dari genetik suami dan istri, jadi secara ilmiah anak yang akan tumbuh di rahim Anda nanti tetap anak kandung Pak Khalid dan Bu Naya, hanya dititipkan di rahim Bu Nindi."

Aku mangut-mangut tanda mengerti. Pemaparan yang Dokter Antoni lontarkan juga cukup sederhana dan mudah dipahami. Jadi, intinya proses surogasi ini masih berhubungan dengan bayi tabung, hanya metode yang dilakukannya berbeda, karena embrio pasangan suami-istri akan ditanamkan dan tumbuh di dalam rahim orang lain.

"Terus kenapa di Indonesia metode ini belum diperbolehkan, Dok? Padahal mungkin akan banyak perempuan yang lelah berjuang terbantu dengan adanya prosedur ini." Sekali lagi aku bertanya tentang sesuatu yang beberapa waktu ini mengganjal di kepala.

"Kalau itu saya juga kurang tahu, Bu. Mungkin karena Indonesia adalah negara yang mayoritasnya muslim, pemerintah khawatir tentang nasab yang akan disandang bakal calon anak itu nanti."

Aku tertegun lama. Lalu teringat percakapan dengan Khalid saat menanda-tangani kontrak terakhir kali.

"Pernikahan yang terjadi hanya status. Tak akan ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga sebagai suami-istri pada umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham, mereka ingin nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama. Jadi, bagaimana pun status anak itu nanti, saya hanya bisa menyerahkan semuanya pada takdir Tuhan. Karena sejauh ini saya sudah berusaha semampunya, ikhiar semaksimal mungkin. Manusia hanya bisa berencana, sisanya tetap Tuhan yang menentukan."

"Selebihnya bisa ibu tanyakan langsung pada Pak Khalid." Ucapan Dokter Antoni berhasil menyentakku dari lamunan.

Bicara tentang Khalid, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Ngomong-ngomong tentang Khalid saya baru inget, kok dia lama banget, ya, Dok? Biasanya 5-6 menit kelar," cetusku saat melihat jam melingkar di pergelangan tangan. "Sebenernya dia ngapain aja di dalem? Freestyle?"

Dokter Antoni hanya tersenyum kecil menanggapi asumsi ngawurku.

"Tadi, kan saya udah bilang kalau Pak Khalid kesulitan ejakulasi, bila tanpa sang--"

"Iya, iya, tahu. Tapi, nggak sampe setengah jam juga kali," potongku sembari mendengkus kesal.

"Iya juga, sih." Akhirnya Dokter Antoni sepaham denganku.

BENIH TITIPAN SULTANWhere stories live. Discover now