11. Terlahir Jalang

332 46 5
                                    

"Boleh saya masuk?" Pertanyaan itu menyentak lamunanku, sesaat setelah membuka pintu.

Berbagai pertanyaan berkecamuk menjadi satu memikirkan alasan yang menyebabkan orang penting sepertinya tiba-tiba datang menunda penerbangan.

"Khalid udah berangkat kerja, Pak," cetusku begitu saja, karena merasa dia datang untuk menemui menantunya.

"Saya datang bukan untuk menemui Khalid, tapi menemuimu."

Deg!

Oke, pernyataannya semakin membingungkan. Dan membuatku harus memutar otak memikirkan. Kucoba mengingat-ingat pertemuan kami akhir-akhir ini. Terhitung tiga kali, bahkan tak ada percakapan berarti yang terjadi. Dia lebih banyak menyimak dan memerhatikan, tak seperti istrinya yang seringkali menunjukkan sorot mata tajam. Pak Bayu cenderung hangat menatapku.

Sedikit ketakutan bersarang, kemungkinan paling gila terpikirkan. Bagaimana bila tanpa sadar kami pernah bertukar keringat di atas ranjang?

Aku menggeleng pelan, lalu menekan pelipis mencoba menepis khayalan. Tidak mungkin. Aku selalu ingat wajah menjijikan para bandot tua yang membungkuk di atasku. Jelas pria paruh baya ini tak termasuk di dalamnya.

"Bu Siska?" Dengan segala pertanyaan yang berputar di kepala, aku bahkan tak percaya yang kutanyakan justru istri cerewetnya.

"Istri saya sudah pulang duluan. Bisa kita ngobrol di dalam?" Aku menepuk dahi, dan merutuki diri. Tak sadar pikiranku yang melayang memikirkan segala kemungkinan malah menahannya di luar. Ini jelas tak sopan.

"Ah, iya. Silakan masuk, Pak!

Aku tersenyum kikuk, kemudian mempersilakannya masuk.

***

"Sepanjang jalan saya terus memikirkan, rasanya tak enak bila menunggunya sampai basi. Atas nama istri, saya ingin meminta maaf dan mengucapkan terima kasih."

Aku tertegun menatapnya. Tak menyangka dari berbagai asumsi yang berputar di kepala, dia justru mengatakannya.

"Saya tahu ucapan istri saya tempo hari pasti menyakitimu, tapi saya juga tak bisa mempermalukannya di depan besan kami dalam satu waktu. Kami hargai keputusan Naya dan Khalid dengan memilihmu. Saya tahu anak saya pasti punya alasan dibalik itu." Ada jeda panjang saat Pak Bayu menuturkan, dalam keheningan, aku mendapati tatapan sama yang dia tunjukkan. Hangat, nanar, dan dalam. Bukan tatapan napsu seperti yang biasa kudapatkan dari para lelaki hidung belang.

"Kamu adalah harapan terakhir kami untuk mendapatkan cucu. Sampai kapan pun keluarga Husein akan berhutang padamu." Aku sedikit terkejut saat dia tiba-tiba meraih jemariku. Mengapitnya di antara kedua tangan besar dan hangat itu.

Pupil mataku melebar saat melihat ada cairan bening yang mengalir dari sudut matanya. Buru-buru Pak Bayu menyeka itu.

"Maaf, kalau saya terlalu mendramatisir, maaf juga kalau dari beberapa waktu lalu saya sering kedapatan memerhatikanmu. Hanya saja ... kamu mengingatkan saya pada seseorang."

Deg!

Pak Bayu menggeleng pelan, dia mengusap wajah lalu tersenyum ke arahku.

"Kalau begitu saya permisi, terima kasih untuk waktunya." Dia beranjak bangkit, bersama dengan itu Neli datang membawa beberapa toples berisi cemilan ringan

"Loh, udah mau pulang? Nggak makan dulu, Pak?" tanyanya.

Aku memutar bola mata, lalu mencubit pelan pinggangnya. "Telat."

"Ya, maaf. Baru keluar WC tadi."

"Tidak apa-apa. Saya sudah makan dan cuma mampir saja tadi."

Neli tersenyum kikuk, lalu mengangguk.

BENIH TITIPAN SULTANWhere stories live. Discover now