8. Mengenal Lebih Dalam

350 42 2
                                    

Khalid Prasetya adalah anak tunggal dari pasangan Muhammad Ali Prasetya dan Sarah Wijaya. Menurut keterangan Neli yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka, Papa Khalid juga seorang anak tunggal sementara Mamanya punya satu adik perempuan. Keluarga Khalid mengelola perusahaan ekspedisi di Batam. Sebagai salah satu ekspedisi yang paling banyak digunakan di Kepulauan Riau, mereka langsung bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pengawasan barang yang masuk dan keluar dari perusahaannya. Menurut info yang kudapatkan, sebelum mengelola perusahaan ekspedisi kakek Khalid juga pernah menjadi salah satu petinggi Bea Cukai di Batam.

Seperti yang kita tahu, wilayah Batam telah bermetamorfosis menjadi daerah yang padat industri. Keadaan ini pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta kehadiran investor yang ada di Batam. Hal ini juga yang menjadi salah satu dasar mengapa pemerintah menetapkan Batam sebagai Kota bebas pajak, Bahkan menurut keterangan para pedagang, semua kegiatan ekspor-impor serta aktivitas pelabuhan juga tidak dipungut pajak, hingga dampaknya harga barang bisa lebih murah dibanding kota lainnya di Indonesia.

Begitu juga dengan keluarga Naya, setahuku Pak Bayu-- Ayah Naya juga seorang pengusaha yang mengelola bisnis asuransi di Jakarta, selain dari itu keluarganya juga mendirikan panti asuhan yang pernah menampungku selama delapan belas tahun lamanya. Hanya informasi tentang ibunya saja yang tak aku tahu pasti. Ada yang pernah mengatakan bahwa beliau adalah mantan aktris sekaligus model. Tapi, anehnya aku tak pernah melihat Bu Siska wara-wiri di TV. Kalau hal itu benar, sudah bisa dipastikan dari mana sikap angkuh itu berasal.

Maka tak heran, dengan riwayat keluarga dan kekayaan yang didapatkan, mereka bisa dengan mudah mengeluarkan uang milyaran hanya untuk mendapatkan keturunan.

"Kalau boleh tahu, emang Nindi sebelumnya kerja apa?"

Deg!

Pertanyaan itu berhasil mengambil-alih perhatianku, yang semula mengamati keluarga Khalid dan Naya yang tengah berkumpul di rumah utama.

"Khalid udah cerita kalau Nindi bartender, Sis," jawab Bu Sarah mewakili.

Aku menoleh pada Khalid, menyernyit. Menuntut jawaban karena dia berani menyimpulkan sesuatu tanpa persetujuanku.

"Berarti pergaulannya bebas, ya? Sering keluyuran malam?"

"Memang yang pergaulannya bebas cuma yang sering keluar malam, ya, Bu?" Aku balik bertanya. "Berarti yang cuma keluar siang kuper gitu?"

"Nindi!" Khalid menyikut lenganku.

"Sering konsumsi alkohol berarti?" tambahnya lagi. Semakin dia memojokkan, semakin aku merasa tertantang.

"Kadang, tapi lebih sering minum orson."

"Orson?" Mereka semua saling berpandangan.

Oh, shit aku lupa kalau circle mereka orang-orang kaya yang sering nongkrong di cafe, bukan rakyat jelata yang berangkat ke warung cuma buat beli sebungkus mie instan dan minuman kemasan, lalu besoknya sakit tenggorokan.

"Minuman botolan yang banyak pemanisnya, Bu," sahut salah seorang asisten rumah tangga.

"Kamu dapet yang begini dari mana, sih, Lid?" Dia beralih pada Khalid. "Takutnya malah bawa penyakit."

"A--" Baru saja Khalid hendak membuka mulut, aku kembali memotong.

"Nggak usah takut, Bu. Kebanyakan penyakit rakyat jelata itu nggak berbahaya. Paling meriang, sakit gigi, bibir pecah-pecah, paling parah kanker alias kantong kering."

"Nindi ...." Khalid mengingatkan sekali lagi.

"Beliau tanya, Ganteng. Jadi, aku jawab. Kalau nggak dijawab nanti dibilang nggak sopan." Aku berusaha menjelaskan walaupun tahu hal itu percuma karena semakin menyulut emosinya. Bisa kulihat tatapan Bu Siska menajam, hal itu seolah seolah menyiratkan sebuah peringatan. Oke, aku sudah ditandai, sebentar lagi dia akan bersikap seperti tokoh antagonis dalam sinetron di TV.

"Udahlah, Bun. Kita pulang sekarang, ayah masih ada kerjaan di luar kota," Ayah Naya yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. Dia menarik tangan sang istri yang masih menatapku seolah ingin menguliti.

"Sikapmu mencerminkan kepribadianmu. Dia jauh sekali dengan Naya. Nggak bermoral." Bu Siska bangkit masih dengan sisa amarah yang berusaha dia redam. Kalau tak ada Khalid dan kedua orang tuanya, sudah dipastikan pipiku jadi sasaran empuknya.

"Nggak ada yang minta Bu Siska untuk membandingkan mereka. Naya dan Nindi punya kekurangan dan kelebihan masing-masing." Bu Sarah menimpali, ucapannya berkelas sekali. Terlihat siapa yang lebih mengedepankan adab dibanding ilmu di sini.

Bu Siska tak menjawab lagi. Dia lekas pamit dan menarik suaminya pergi.

Sepeninggal kedua mertuanya, kulihat Khalid memutar tubuh menghadapku. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Nindi, kamu itu apa-apaan--"

"Bagus, Nak!" sentak Bu Sarah yang membuatku dan Khalid terlonjak seketika. "Sekali-kali Bu Siska itu emang harus diladeni biar nggak seenaknya."

"Mama nggak usah ngompor-ngomporin!" Pak Ali memperingati istrinya.

"Kenapa, sih, Pa? Emang kenyataannya, kok. Kadang mama emang nggak suka sama gaya bicara besan perempuan kita. Kesannya juwama. Sering banget kalau lagi kumpul keluarga dia ngomongin hal-hal yang nggak berguna, bahkan mamerin hartanya."

"Biasanya yang begitu OKB, Bu. Beda sama yang udah kaya dari zigot," sahutku menambahkan.

"Nah, itu."

"Udah, ah. Nggak baik ngomongin orang apalagi besan sendiri." Pak Ali kembali mengingatkan, sementara Khalid hanya bisa menekan-nekan pelipisnya. "Mama kalau nemu yang sefrekuensi kadang emang suka kebablasan."

"Ya, maaf. Kadang kita juga butuh hiburan, ya, nggak, Nin. Bumil, kan bawaannya harus happy, biar nggak stress."

"Happy, sih, happy. Tapi jangan sambil makan bangkai saudara sendiri alias ghibah."

"Iya, iya. Susah emang kalau ngerumpi depan Si Papa. Diceramahin terus bawaannya."

Mereka pun akhirnya beranjak dan pamit pergi.

"Mama sama Papa pulang dulu, ya, Nin." Tiba-tiba Bu Sarah merendahkan tubuhnya dan berbisik di telingaku. "Sering-sering ajak Khalid mojok di kamar. Akhir-akhir ini dia makin lesu dan kurang bergairah, kayaknya emang harus disalurkan!"

"Khalid bisa denger, Ma!"

Aku hanya bisa tertawa melihat telinga Khalid yang tiba-tiba memerah.

***

Masih di tempat yang sama aku terjaga, menatap lelaki yang duduk membungkuk di tepi ranjang istrinya. Mengecup dahi dan punggung tangan pucat itu berkali-kali. Tak ada kata yang terucap dari dari bibirnya. Namun, tindakan yang dilakukannya sudah cukup membuktikan betapa berharga perempuan yang sudah lebih dari enam tahun mendampinginya.

Dia berhasil mengubah pandanganku tentang lelaki, dia berhasil meyakinkanku bahwa penampilan tak selalu menggambarkan kepribadian. Untuk pertama kalinya aku melihat seseorang yang memiliki penampilan dan penghasilan yang sama-sama mengagumkan.

Lama memerhatikan mereka, sampai tak kusadari Khalid sudah kembali. Dia berada di hadapanku saat ini. "Aku sudah izin pada Naya, kita bisa pulang sekarang."

"Apa katanya? Aku mau izin juga kalau gitu." Khalid menahan tanganku sebelum sempat aku beranjak.

"Nggak perlu."

"Kalau terjadi hal-hal yang diinginkan gimana?"

Khalid menghela napas panjang.

"Nggak akan ada yang terjadi di antara kita."

"Yakin? Pegangan? Pelukan? Cium--"

"Nindi ...."

"Sshhh ... aw!"

"Kenapa? Mana yang sakit?"

Aku tersenyum penuh kemenangan saat melihatnya panik, hingga refleks memegang tangan dan perutku.

"Kan, baru dibilang udah berani pegang-pegang!"

.

.

.

Bersambung

BENIH TITIPAN SULTANWhere stories live. Discover now