1.2 Perkenalan Tak Terencana

Start from the beginning
                                    

"Biasa aja Mas Dim liatinnya."

Lelaki tersebut sedikit tersentak. "Astaghfirullah."

"Mas Dim kenapa sampe diliatin begitu si mbaknya?"

"Engga, gapapa," jawab lelaki itu.

Mishika ya? batinnya.

****

Mishika berjalan memasuki kamar kosnya yang sudah menjadi rumah keduanya dari mulai awal masuk kuliah hingga sekarang. Ruangan itu tidak besar namun tidak kecil juga. Di dinding ruangan itu tepatnya di samping tempat tidurnya tertempel banyak Post-it yang berisikan mimpi-mimpinya, mulai ari yang terkecil hingga mimpi besar yang kadang MIshika sendiri ragu pakah bisa ia gapai atau tidak.

Setiap mimpi yang sudah terlaksana akan terlepas dari dinding tersebut dan digantikan dengan mimpi selanjutnya. MIshika selalu mengingat perkataan kedua orang tuanya dulu.

"Teteh, kenapa tiba-tiba gak jadi ikutan lomba baca puisi?" tanya Ayah tepat  di hari setelah pendaftaran lomba sudah ditutup.

Pada saat itu usianya baru menginjak 11 tahun, MIshika berada di kelas 5 SD. Hari itu harusnya MIshika mendaftar lomba untuk mewakili kelasnya di acara sekolah dalam perayaan hari kemerdekaan. Namun, entah karena apa ia tidak jadi mendaftarkan dirinya.

Di halaman rumahnya yang tidak terlalu luas itu, ia dan keluarga berkumpul demi untuk menikmati sore yang tampak sangat indah kala itu. Bunda sedang menemani Gandi, adik laki-lakinya yang sedang bermain mainan robotnya. Sedangkan Mishika dan Ayahnya duduk sambil menikmati teh hangat serta singkong goreng yang telah digoreng Bunda.

Mishika mengambil singkong goreng tersebut sebelum menjawab pertanyaan Ayahnya. "Gak kenapa-napa. Teteh pengennya ikut lomba pidato soalnya Yah, tapi sekolah gak ngadain lomba itu," jawabnya yang setelah itu memakan singkong goreng yang sudah diambilnya.

Ayah tersenyum, diusapnya kepala Mishika yang sudah tertutupi hijab itu. "Kenapa tuh pengen ikut lomba pidato sholihahnya Ayah? Emang gak malu ngomong di depan banyak orang?"

"Ngapain malu? Kan teteh gak ngomong sesuatu yang salah apa lagi ngomongin yang jelek-jelek. Kata Bunda, teteh harus berani berbicara di depan umum biar bisa bela orang yang gak salah," jawab Mishika setelah menelan makanannya.

"Lagian ya, Yah. Lomba pidato itu gak main asal ngomong aja, harus ada ris.. ris- apa tuh namanya?" Mishika berpikir keras.

"Oh!! Risoll!!!"

Pecah tawa Ayah dan Bunda mendengar kata itu yang keluar dari mulut Mishika. Bunda menggelengkan kepalanya pelan. "Riset, tetehhh. Kok risol? Kamu teh pengen makan risol?"

Mishika membalas itu dengan cengengesan khasnya sembari menganggukan kepalanya. Ayah yang melihat putri sulungnya tersebut langsung membawanya ke dalam pelukan. Kembali diusapnya kepala Mishika dengan lembut, sesekali dikecup keningnya.

"Gak papa, hebat euy si teteh udah punya kemauan. Berarti udah punya cita-cita," kata Ayah.

Dibalasnya pelukan Ayahnya itu. "Itu mah bukan cita-cita atuh, Yah. Cuman keinginan teteh aja."

"Eits, kata siapa? CIta-cita itu datang dari keinginan dan kemauan teteh. Mau besar atau kecil keinginan itu namanya tetep cita-cita, misalnya teteh pengen makan risol buatan umi nah itu teh namanya cita-cita soalnya teteh pengen gapai."

Mishika menjauhkan tubuhnya dari Ayah. "Masa sih yah? Yang kaya gitu juga bisa dibilang cita-cita?"

Ayah mengangguk sambil tersenyum. 

"Iya, makanya nanti kalau Teteh punya cita-cita atau mimpi. Mau itu besar atau kecil coba deh tulis di kertas terus tempel di dinding kamar. Jangan lupa juga tulis ucapan basmallah biar dipermudah sama Allah buat ngegapai cita-citanya. Kalau udah tergapai nanti kertasnya masukin ke kotak, suatu saat nanti kita baca bareng-bareng apa aja yang udah teteh gapai."

Dengan mata berbinar Mishika menatap Ayahnya. "Serius? Bacanya bareng Ayah, Bunda sama si dedek?"

"Iya teteh."

"Ih, kalo begitumah teteh tulis sekarang ahh biar cepet tergapai terus baca bareng Ayah, Bunda sama Gandi."

Bunda yang melihat putri sulungnya sangat bersemangat mencoba bertanya. "Memang teteh udah punya cita-citanya?"

"Udah atuh, Bun. Yaudah teteh mau ke kamar yah." Setelah mengatakan itu Mishika berlari meninggalkan kedua orang tuanya dan adiknya di halaman.

Kenangan itu masih terekam baik dibenak Mishika. Masih teringat bagaimana hangatnya ketika Ayah memeluk dan mengusap kepalanya, masih teringat bagaimana lembutnya senyum Bunda ketika menatapnya. 

Kenangan yang mengingatkannya bagaimana hangatnya keluarga miliknya dulu. Keluarga yang utuh, yang didalamnya masih ada Ayah, Bunda, dirinya, dan Gandi. Sebuah rasa utuh yang kini tidak akan pernah didapatkan lagi. 

"Ayah, Bunda.. Teteh kangen."


****

Note :

Halooo xixi udah lama gak ketemu..

Sampai sini gimana? Udah mulai kenala sama Mishika?? Atau ada yang membingungkan?

Let me know yaa, dont forget to click the star and leave your words in comment section. See you!!

And i wanna say something tah

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 08, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bukan HarapanWhere stories live. Discover now