Hello Danuja | [1]

622 106 38
                                    

Rambut hitam, tubuh tinggi, badan seperti gapura kabupaten, mapan, dan sukses menjadi dokter di usianya yang ke 24 tahun, lalu dua tahun mengambil spesialis anak, rasanya kehidupan Danuja bisa didefinisikan dengan kata sempurna

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Rambut hitam, tubuh tinggi, badan seperti gapura kabupaten, mapan, dan sukses menjadi dokter di usianya yang ke 24 tahun, lalu dua tahun mengambil spesialis anak, rasanya kehidupan Danuja bisa didefinisikan dengan kata sempurna. Danuja Ragnala, ia akrab dipanggil Nuja oleh orang-orang. Ia ramah lingkungan bintang lima, ia baik, sangat loyal dan murah senyum.

Kerab kali Danuja sering mentraktir orang-orang di rumah sakit. Entah itu kopi, subway, burger ataupun ia biasanya akan mengajak mereka makan malam di restoran mewah. Danuja sesempurna itu.

Sekarang diumurnya yang hampir mencapai kepala tiga, Danuja harus dihadapkan dengan fakta bahwa kesempurnaanya itu belum lengkap karena tidak memiliki pendamping hidup. Danuja bukannya menolak... bukannya tidak mencari... bukannya anti dengan wanita... tetapi Danuja merasa tidak banyak yang bisa benar-benar ia ajak hidup bersama.

"Dok... ini hasil ronsen-nya Caca."

Seorang suster baru saja masuk dan memberikan hasil CT scan dari pasien gadis cilik yang sedang duduk di atas ranjang ruangannya bersama papi-nya. Danuja memperhatikan hasil pindaian lab tersebut dan tersenyum pada Caca dengan lebar.

"Ok... ga ada tulang yang patah, ya. Berarti tangan Caca aman." Danuja mengusap rambut anak gadis sepuluh tahun itu dengan gemas.

"Jadi udah boleh main, dok?" tanya Caca dengan cengiran lebar.

Danuja menyipitkan mata. "Hm... untuk lebih amannya, tunggu sampai memar-nya reda ya. Kalau udah mendingan, boleh main."

"Yes! Papi denger kan dokter-nya bilang apa?" tanya Caca sambil memperhatikan papi-nya.

"Iya iya."

Danuja terkekeh melihat interaksi gemas tersebut. Setelah anak tersebut pulang Danuja menguap sambil merenggangkan tulang-tulang-nya. Lelah hari ini karena pasien di poli-nya cukup banyak.

Di tengah waktu bersantainya tiba-tiba ada telepon masuk dari tuan Hendra alias papa-nya. Danuja menggeser simbol hijau dan menempelkan ponsel itu di telinga kirinya.

"Halo, pa?"

"Masih sibuk, Ja?"

"Baru kelar pasien terakhir."

"Ada rencana apa terus?"

"Paling makan, sih."

"Kebetulan."

Danuja mengerutkan keningnya. Kebetulan apa yang dimaksud? Danuja curiga.

"Kamu bisa ke restoran biasa, ga?"

"Papa mau makan bareng sama aku?" Danuja sudah berdiri dan melepaskan jas dokternya, menggantung di tempat biasa.

"Papa mau ajak kamu ketemu sama orang penting."

Danuja melihat waktu yang tertera di jam dinding ruangannya. "Bakal lama?"

"Ga akan. Join, ya? Papa tunggu."

HELLO DANUJAWhere stories live. Discover now