BAB 28

9.1K 1K 19
                                    


Ayudya

Sudah lewat beberapa hari dari makan siangku dengan Reno yang berakhir dengan Mas Ian menemaniku sampai malam. Saat itu sepertinya jadi kunjungan paling malam Mas Ian karena dia baru pulang dari rumahku jam sebelas. Sebenarnya aku cukup merasa bersalah karena mungkin saja Mas Ian kelelahan setelah bolak-balik dari Buah Batu ke Cileunyi beberapa kali ditambah pasien VIP kemarin. Tapi aku sangat nyaman dengan kehadirannya di rumahku.

Jika mengingat itu, sampai saat ini aku masih butuh menghela nafas dalam. Entahlah perasaan apa saja yang ada saat itu. Yang paling pertama kurasakan tentunya adalah ikut sedih dengan apa yang dia alami. Aku tahu seberapa terencana hidup Reno selama dia kuliah. Di saat teman-temannya banyak menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, Reno sebaliknya. Meskipun tidak melulu berkutat dengan akademik, Reno memiliki rencana yang rapi untuk hidupnya. Sehingga tidak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia. Dia selalu berusaha melakukan yang terbaik. Dan jika itu tidak membuat orang tuanya terkesan, aku tentunya ikut sedih. Karena sebagai anak, aku selalu merasakan apresiasi terhadap sekecil apapun usaha yang aku lakukan, meskipun hasilnya tidak memuaskan.

Aku merasa bersalah, iya. Aku mempertanyakan sikapku selama lima tahun berhubungan dengan Reno. Apakah aku sebegitu abainya sehingga tidak menduga sama sekali dan begitu terkejut setelah mendengar cerita Reno. Kenapa bisa aku sama sekali tidak tertarik bertanya tentang keluarganya, bahkan hingga beberapa minggu sebelum kami berpisah aku hanya berkenalan dengan orang tuanya. Aku tidak pernah mengenal saudaranya, mungkin karena Reno memang jarang membahas mereka ditambah aku yang tidak bertanya.

Aku juga merasa bersalah karena tidak memberikan waktu lebih banyak pada Reno untuk menjelaskan. Well, untuk bagian ini mungkin salah satu yang tidak bisa aku kontrol. Sebagai orang yang selalu butuh waktu jika sedang punya masalah, aku paham kalau tidak bisa mengontrol seberapa banyak waktu yang dibutuhkan Reno untuk siap bercerita, sebelum kejadian 'itu' tentunya. Namun, keraguan Reno tentang kelanjutan hubungan kami seharusnya dapat dia bicarakan padaku sehingga tidak terjadi hal yang tidak kami inginkan dan berakibat fatal pada hubungan kami. Yah, yang sudah terjadi tidak bisa diulang tentunya, hanya mungkin bisa diperbaiki. Sayangnya, sekarang keadaannya sudah berbeda. Aku sudah bersama Mas Ian. Artinya, saat ini tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungan kami sebagai pasangan.

Rasa bersalah itu dalam satu waktu berubah menjadi rasa marah. Marah karena aku jadi mempertanyakan kelayakanku sebagai pasangan. Aku merasa tidak dipercaya. Aku merasa kurang memberi perhatian. Aku merasa terlalu gegabah.

Meskipun makan siangku dan Reno berakhir dengan baik, karena memang dia hanya ingin menjelaskan tanpa menuntut apa-apa dariku, tapi perasaan campur aduk itu membuatku tidak bisa menahan air mataku sejak sampai di rumah. Bahkan saat Mas Ian menelepon di sore hari, aku masih belum bisa menghilangkan rasa sesakku. Sehingga saat Mas Ian datang ke rumah, aku langsung menghambur ke pelukannya. Beruntungnya, entah bagaimana Mas Ian sangat paham kalau aku hanya ingin ditemani, karena kemarin dia sama sekali tidak banyak bertanya. Hanya dengan pelukannya Mas Ian membuatku tenang. Meskipun perasaan tidak nyaman ini pasti butuh waktu untuk menghilang.

"Sore, Dokter." sapaan dari Pak Ismail menyapa pendengaranku saat melewati lobi IGD. "Tumben sore banget, Dok."

"Iya, Pak. Tadi rapat dulu di Puskesmas. Mari, Pak."

Hari ini memang aku terlambat datang ke Dharma Husada, karena tadi tim akreditasi puskesmas mengadakan rapat dadakan untuk evaluasi. Aku juga sudah menghubungi Farhan untuk menunda kepulangannya sebentar. Untungnya dia bersedia. Aku segera masuk untuk mengecek kondisi IGD sebelum nantinya akan berganti baju. Tapi aku sedikit terkejut saat melihat kerumunan tim IGD di salah satu ranjang pasien. Terlihat Dokter Elena sedang berbicara serius dengan Farhan dan Teh Dina dihadapannya, sedang Vika dan beberapa orang yang kalau tidak salah ingat adalah bagian dari tim partus sedang melakukan beberapa tindakan ke pasien di ranjang di dekatnya. Saat aku semakin masuk ke IGD, Dokter Elena yang memang menghadapku langsung mengalihkan pandangan dari Farhan kemudian mengangkat tangan kirinya seperti melihat jam.

Prognosa: Ad BonamWhere stories live. Discover now