BAB 4

13.7K 1.4K 21
                                    


"Kalau ada jalan tol, kenapa pilih jalan biasa?"

Kata Adrian

Ayudya

Seperti yang aku bilang, aku agak sulit akrab dengan orang baru. Dan hari ini pertemuan keduaku dengan Dokter Adrian, bahkan saat pertama kali bertemu kami tidak banyak mengobrol, juga tadi sore saat kami sama-sama di IGD karena selesai mengerjakan pasien, dia langsung pergi untuk bersiap operasi.

Sebenarnya beberapa kali dia tampak ingin mencairkan suasana dengan candaannya, tapi aku masih merasa canggung. Namun, mengingat dia adalah konsulen di sini, tentunya aku harus bersikap baik padanya. Tidak menutup kemungkinan suatu saat aku membutuhkan bantuannya. Maksudku bantuannya secara profesional. Iya, kan? Dan ke parkiran bersama bukan hal yang aneh kan? Apalagi Dokter Adrian ini sepertinya salah satu teman baik Farhan, yang juga temanku.

Kami berjalan bersisian sambil beberapa kali menjawab sapaan dari petugas rumah sakit ini.

"Oiya, lulusan mana, Ay?" Ehm, satu lagi. Aku agak aneh mendengar sapaannya. Orang-orang biasa memanggilku "Yu", tapi bukan masalah besar sebetulnya.

"UI, Dok. Dokter?"

"Oh ya? Kita satu almamater kalau begitu. Tapi saya ambil PPDGS di Unpad. Bosen merantau." Kekehnya.

"Oh, asli Bandung ya, Dok?"

"Iya, orang tua dari Lembang dan Sukajadi. Bisa dibilang aseli Bandung." katanya menekankan kata "aseli" sambil tertawa kecil membuatku tersenyum juga. "Kamu di sini sendiri? Kamu bilang asli Surabaya kan?"

"Iya, Dok. Orang tua saya di Surabaya."

"Ada yang menarik di Bandung? Maksud saya, biasanya kan anak perempuan lebih senang dekat dengan orang tuanya." Okey, pertanyaannya biasa, tapi aku cukup berat menjawabnya.

"Cari suasana baru aja, Dok. Mungkin setelah ini baru balik Surabaya lagi." Elakku.

"Malam, Adri." suara Dokter Elena membuat kami menoleh bersamaan saat tiba di parkiran. "Malam, Ayu." Dokter Elena, dokter kandungan di sini, melirikku sekilas lalu kembali menatap dokter Adrian. Tidak butuh cenayang untuk tahu bahwa dia tertarik pada dokter di sebelahku. Ya, sudah ku bilang kan, sangat wajar jika dokter Adrian banyak fansnya.

"Malam, Len."

"Malam, Dok." Kami menjawab bersamaan.

"Pulang, Dri?"

"Iya. Kamu juga?"

Dokter Elena mengangguk. "Bareng Ayu?" Liriknya dengan tatapan curiga padaku. Aw! Mengerikan.

"Enggak, Dok."

"Iya." Kami berdua saling menoleh dan bertatapan beberapa saat, kemudian mengulum senyum.

"Ehm!" Deheman dokter Elena mengagetkan kami. "Saya duluan kalo gitu." Katanya segera berlalu.

Aku melihat Dokter Adrian meringis.

"Nggak dikejar, Dok?" Tanyaku khawatir.

"Buat apa?"

"Kelihatannya ngambek."

Dokter Adrian mengangkat bahu santai. Aku yang merasa nggak santai.

"Panjang urusannya ini kalo besok-besok ada pasien partus ke IGD." Tanpa sadar aku menggerutu pelan. Ternyata dokter Adrian mendengarnya dan malah tertawa. Dan tawanya.. enak didengar. Apa yang kamu pikirkan, Ayudya!

****

Adrian

Aku tidak bisa menahan tawa mendengar gerutuan Ayu. She's looks so cute with that expression, well, setelah selama ini aku hanya melihat ekspresi datar dan hormatnya. Bukannya Aku tidak paham dengan ekspresi Elena, tapi memang benar kan, untuk apa aku mengejarnya? Ayu terlihat kaget saat melihatku tertawa, namun seperti biasa, dia segera menetralkan ekspresinya. Tidak lama, kami saling pun berpamitan dan menuju mobil masing-masing.

Ehm, ngomong-ngomong untuk ukuran dokter umum yang belum lama selesai internship dan sedang PTT, aku rasa Civic yang dia kendarai menunjukan keluarganya bukan kalangan biasa. Hei, bukannya aku menilai materi, tapi laki-laki dengan egonya tentu akan mempertimbangkan latar belakang keluarga wanita yang membuatnya tertarik, bukan? Ya ya ya, aku terdengar menakutkan sekarang. Aku baru bertemu dengannya dua kali dan sudah menyatakan kalau tertarik padanya. Padahal pertemuan kami berisi obrolan basa-basi yang sangat basi. Kalau Farhan sampai mendengarnya, bisa-bisa aku diledek habis-habisan.

****

Dua minggu ini aku benar-benar sibuk, entah kenapa banyak pasien yang membuat jadwal operasiku penuh. Aku hanya keluar ruang operasi saat praktek di poliklinik. Jadi ruteku adalah rumah - ruang operasi - poli - ruang operasi - rumah.

"Sore dokter Adrian."

Aku mendongak dan melihat Farhan cengengesan saat masuk ke ruanganku. Dua minggu ini aku jarang melihatnya.

"Besok jadi ke Surabaya, Mas?"

"Insyaallah, udah masuk flyer nama gue." Yap, dua minggu ini juga aku mempersiapkan bahan untuk menjadi pembicara di seminar kesehatan kamis besok di Surabaya.

"Eh, Mas, kapan hari pas mau balik ada pasien abses mandibula, tapi karna Ayu udah dateng jadi gue kasih dia. Dia hubungin lo nggak?" Tanyanya setelah duduk santai di kursi depan mejaku.

"Kapan? Enggak ada sih kayaknya. Gue lagi gak di sini kali." Aku mencoba mengingat-ngingat.

"Di sini, Mas, cuma nggak tau lagi operasi apa enggak. Padahal gue sengaja tuh bilangin buat ngehubungin lo." Farhan menaik-naikan alisnya sambil menyeringai lebar. Aku berdecak. Si Farhan ini hobinya cengengesan, apalagi kalau menggodaku. "Lo nih, Mas, ada calon potensial gitu nggak lo pepet." Lanjutnya sok menasehati.

"Nah lo sendiri kenapa nggak deketin dia? Lo kan udah bareng-bareng dari jaman internship. Jomblo kan lo?" Elakku mencoba meledeknya balik.

"Ish, biar jomblo tapi dia bukan kelas gue, Mas. Dia terlalu bersinar. Apalah gue ini. Hahaha."

Aku menggelengkan kepalaku. See? Benar kan yang aku bilang tempo hari soal ego lelaki. Kami, para lelaki, pasti akan pikir panjang sebelum mendekati gadis yang kami rasa lebih menonjol dibanding kami. Baik itu secara materi maupun hal lain. Katakanlah aku kolot atau berpikiran sempit, tapi itu pandanganku. Ibaratnya kita memilih jalan tol dan jalan biasa, meskipun jalan biasa belum tentu macet, tapi resiko macetnya lebih tinggi dibanding jalan tol kan? Ya, walaupun hal ini hanya salah satu faktor, tapi menurutku patut dipertimbangkan. Karena nantinya kan kami yang akan bertanggungjawab atas dirinya.

"Yakin lo nggak pernah tertarik sama sekali sama dia?" Mataku memicing melihatnya, well, sudah aku bilang kan, Ayu ini tipe princess yang akan membuat laki-laki menoleh padanya.

Farhan malah terbahak. "Kayak yang lo bilang, sakit mata deh tuh yang nggak lihat segitu cantiknya Ayu. Mana cerdas banget, attitude-nya juga nggak usah ditanya, makin kenal lo pasti bakalan makin penasaran sama dia." Nah, benar kan dugaanku. "Tapi masa-masa itu udah lewat buat gue, ya saat itu nggak pas aja. Pas gue tertarik, Ayu nggak lihat gue, dan akhirnya kami cukup nyaman berteman aja. Thanks to her background yang bikin gue tau diri." Farhan masih terkekeh. "Kalo sama lo, gue liatnya udah pas levelnya, makanya gue dukung, Mas." Ujarnya bersemangat.

"Ck. Apaan sih jadi ngomongin level segala. Lagian nggak segampang itu, anaknya agak dingin gitu. Formal banget kalo sama gue."

"Ya lo ketemunya di RS doang, Mas. Tapi dia cukup friendly sebenernya, aktif juga di beberapa komunitas gitu. Kita-kita temen internshipnya suka diajakin gabung juga kalo ada event. Anaknya emang kalem, apalagi sama orang baru. Kapan-kapan gue ajak nongkrong bareng deh." Farhan menyeringai senang.

"Kenapa jadi lo yang semangat?!"

Farhan kembali tergelak, "gue nggak pernah aja liat lo bengong bego pas liat cewek. kali aja gue bisa liat juga lo jadi bucin kalo jadian sama dia." Lanjutnya sambil terbahak puas yang aku hadiahi lemparan pulpen.

Prognosa: Ad BonamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang